Konflik di Rempang

PDIP Kini Gerah Konflik Rempang, Warga Ketakutan, Dugaan Pelanggaran HAM, Ganjar pun Ikut Kritik

PDI Perjuangan kini bicara konflik lahan yang terjadi di Rempang Galang, Batam Kepulauan Riau (Kepri). . .

Editor: Salomo Tarigan
DOk Kompas.com
Warga Pulau Rempang Kepulauan Riau (Kepri) 

TRIBUN-MEDAN,com - PDI Perjuangan kini bicara konflik lahan yang terjadi di Rempang Galang, Batam Kepulauan Riau (Kepri).

Melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan rakyat tidak boleh dikorbankan dalam pembangunan.

Hal ini merespons sengketa proyek strategis nasional (PSN) Eco City di Rempang, Kepulauan Riau (Kepri).

"Prinsipnya rakyat tidak boleh dikorbankan dan hukum harus juga ditegakkan," kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Selasa (19/9/2023).

Menurut Hasto, hal tersebut agar dalam pengelolaan negara termasuk urusan investasi mengedepankan keadilan.

"Kemudian juga kesetaraan ketika menghadapi persoalan-persoalan hukum," ujarnya.

Namun, dosen Universitas Pertahanan (Unhan) ini menyebut pihaknya percaya pada pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut.

"Kita percayakan pemerintah dan kami juga berkomunikasi dengan jajaran partai," ungkap Hasto.

Hasto menuturkan pemerintah melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memiliki perhatian serius terhadap kasus Rempang.

"Kami melihat pemerintah sudah sungguh-sungguh, termasuk dengan Bapak Presiden Jokowi menaruh perhatian yang sangat serius terhadap masalah ini," ucapnya.

Komnas HAM Selidiki Dugaan Pelanggaran HAM 

Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) melihat adanya dugaan pengerahan aparat yang berlebihan dari kepolisian untuk mengatasi bentrok di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian menyebut, pengerahan aparat yang berlebihan merupakan bentuk penyalahgunaan dan kekerasan (abuse).

Ia pun meminta Polri jangan berlebihan menangani konflik tersebut.

"Kita duga memang ada pengerahan aparat yang berlebihan, itu abuse, itu jelas. Hari ini juga diberangkatkan lagi dari Polda sekitar 400 dan saya kira itu kita bisa lihat arahnya. Sepertinya terjadi pengerahan kekuatan yang berlebihan," kata Saurlin dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (15/9/2023).

 Saurlin mengatakan, pihaknya mendalami dugaan tersebut.

Hal ini mengingat Komnas HAM mengirim tim investigasi untuk memantau konflik secara langsung di sana.


Rencananya, tim akan kembali ke Jakarta sekitar 3-4 hari.

Hasil laporan tim investigasi akan dianalisis bersama untuk dibuat rekomendasi Komnas HAM kepada pihak terkait beberapa waktu ke depan.

"Tapi akan kami buktikan nanti, teman-teman di lapangan supaya mereka juga bisa bekerja dengan baik. Saya kira 3-4 hari ini mereka akan pulang untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang akan kami analisis bersama-sama nantinya," tutur dia.

Lebih lanjut ia menilai pengerahan aparat yang berlebihan akan menimbulkan eskalasi.

Padahal dalam penyelesaian kasus, eskalasi perlu diredakan sehingga tercipta pendekatan yang persuasif.

"Aparat tidak perlu terlalu banyak di sana, karena masyarakat posisinya pasif semuanya, tidak aktif. Jadi saya kira lebih bagus seperti apa yang sudah kami sampaikan sebelumnya, dialogis itu bisa menyelesaikan konflik tanah, enggak ada yang enggak bisa selesai," jelas Saurlin.

Sebelumnya diberitakan, Polri mengerahkan personel tambahan sekitar empat satuan setingkat kompi (SSK) untuk kasus Pulau Rempang.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, hal itu dilakukan untuk mengamankan situasi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, secara persuasif. Sebab, sempat terjadi bentrokan di Pulau Rempang karena warga menolak relokasi.

"Tentunya kekuatan personel saat ini terus kita tambah ada kurang lebih empat SSK sampai hari ini yang kita tambahkan dan ini akan terus kita tambah disesuaikan dengan eskalasi ancaman yang terjadi," kata Kapolri di The Tribrata, Jakarta, Kamis (14/9/2023).

Sebagai informasi, aparat gabungan mencakup TNI, Polri, Satpol PP, dan Pengamanan BP Batam terus merangsek masuk ke perkampungan masyarakat di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Kedatangan aparat gabungan ke Pulau Rempang adalah untuk memasang pasok tata batas lahan Rempang Eco City, proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata di lahan pulau seluas 17.000 hektare yang digarap oleh PT Makmur Elok Graha.

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas atau BP Batam yang ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi tersebut berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang yang sudah mendiami 16 kampung adat di Pulau Rempang itu sejak 1834.

Masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan lantas melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Aparat gabungan tersebut mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.

Aparat juga menembaki warga yang menghadang dengan gas air mata, water cannon, dan pentungan. Akibatnya, puluhan orang mengalami luka-luka, 6 orang di antaranya ditangkap, dan ratusan anak Sekolah Dasar mengalami trauma karena proses belajar dihentikan paksa dan dibubarkan.

Selain melakukan penembakan gas air mata ke arah warga, pihak kepolisian juga melakukan penembakan ke arah SDN 24 Galang yang menyebabkan para siswa harus dievakuasi dan diselamatkan oleh warga sekitar.

Akibat dari kejadian ini banyak orang tua siswa yang sibuk mencari anak mereka.

Peristiwa ini juga yang menyebabkan mereka merasakan ketakutan yang amat mendalam.

Polda Bilang Sangat Humanis

Meski demikian, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Kepri) Irjen Tabana Bangun mengatakan tindakan aparat kepolisian selama ini sudah sangat humanis karena sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi kepada warga.

Investigasi yang dilakukan sembilan organisasi masyarakat sipil menemukan "dugaan pelanggaran HAM" di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada Kamis (7/9/2023) saat aparat bentrok dengan warga yang menolak digusur demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan pada 11-13 September 2023, organisasi-organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang ini menyebut aparat telah menggunakan “kekuatan berlebih” dan secara “serampangan” menembakkan gas air mata.

Sedikitnya 20 warga mengalami luka berat maupun ringan akibat kerusuhan tersebut.

“Kami bisa memastikan bahwa kejadian 7 September itu menimbulkan korban dari kalangan anak-anak, perempuan, dan lansia,” kata Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rozy Brilian Sodik, dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu (17/9).

Selain itu, kehadiran posko-posko aparat dan “sosialisasi” untuk membujuk warga mendaftarkan diri dalam program relokasi disebut telah “membuat masyarakat ketakutan”.

Kelompok masyarakat sipil ini pun mendesak Komnas HAM menyelidiki dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Jangan Digusur

Pada Sabtu (16/9), Komnas HAM telah menurunkan tim ke Pulau Rempang untuk memverifikasi peristiwa yang terjadi.


Salah satu komisionernya, Prabianto Mukti Wibowo mengatakan bahwa posisi Komnas HAM saat ini adalah merekomendasikan supaya dipertimbangkan kembali rencana pembangunan industri ini tanpa harus menggusur warga setempat.

Ganjar Kritik Pemerintahan Usul Libatkan Antropolog

Bacapres dari PDIP Ganjar Pranowo menyinggung konflik agraria yang ada di Pulau Rempang, Batam, saat mengisi Kuliah Kebangsaan FISIP UI, pada Senin (19/9/2023).

Menurutnya, pemerintah memang mau memberikan ganti rugi meskipun tanah tersebut belum tersertifikasi.

Akan tetapi menurutnya, ganti rugi saja terkadang tidak cukup menyelesaikan masalah.

Oleh karena itu, Ganjar mengusulkan kepada kementerian terkait untuk tidak hanya merekrut karyawan berlatar belakang pendidikan insinyur.

Ia meminta agar kementerian terkait turut merekrut karyawan dengan latar belakang ilmu humaniora seperti antropologi hingga psikolog.

Hal ini, sambungnya, perlu dilakukan agar dapat terjadi dialog sehingga warga memahami.

Namun, jika tidak dilakukan, Ganjar menilai pemerintah hanya mencari mudahnya saja dengan menggunakan landasan hukum untuk pembebasan lahan lantaran enggan untuk berdialog dengan warga setempat.
 
Selain itu, Ganjar menilai dalam pembebasan lahan, perlu juga pelibatan tokoh masyarakat setempat maupun tokoh agama.

Dia mengatakan cara seperti ini sering dilupakan pemerintah.

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: kompas/bbc/tribunmedan.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved