TRIBUNWIKI
SOSOK Siska E. Yunita, Anak Muda Asal Sumut yang Getol Suarakan Isu Lingkungan
Sejak tahun 2018, Siska sudah mulai mengikuti berbagai kegiatan pelestarian lingkungan, baik dari skala kecil maupun berskala besar.
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Sosok pegiat lingkungan asal Sumatera Utara, Siska E. Yunita, satu diantara sejumlah wanita Indonesia yang berani mengambil peran dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Tak tanggung-tanggung, wanita yang akrab disapa Siska ini menyuarakan isu lingkungan hingga ke taraf Internasional.
Sejak tahun 2018, Siska sudah mulai mengikuti berbagai kegiatan pelestarian lingkungan, baik dari skala kecil maupun berskala besar.
Siska juga aktif mengkampanyekan kepada masyarakat mengenai keadilan lingkungan, mengkonservasi, dan melestarikan hutan.
Berbagai prestasi hingga terpilih menjadi delegasi pernah diraih Siska sejak dirinya memutuskan untuk menjadi seorang pegiat lingkungan.
Baru-baru ini Siska terpilih sebagai Nominated Youth untuk mewakili Children and Youth Major Group to United Nation Environment Program (UNEP) in The 3 rd Asia Pacific Environmental Human Rights Defenders Forum 2023, oleh UNEP, OHCHR, UN ESCAP di Bangkok, Thailand.
Di Sana, Siska mempelajari mengenai strategi bagaimana cara mempertahankan sebuah lahan atau ekosistem, kemudian mengumpulkan data dan strategi lainnya.
Kemudian, Siska juga terpilih sebagai salah satu dari 120 Changemakers dari 10 negara-negara ASEAN pada program eMpowering Youths Across ASEAN (EYAA): Cohort 3 oleh ASEAN Foundation x Maybank Foundation di Bangkok, Thailand dan pelaksanaan projek di Kuala Lumpur, Malaysia.
Siska juga pernah terpilih sebagai salah satu Changemakers dari 30 anak muda di Indonesia pada program “We Create Change Vol. 1” oleh Change.org untuk menyuarakan isu krisis iklim dan perlindungan alam.
Upaya-upaya tersebut dilakukan Siska semata-mata hanya ingin melawan eksploitasi dan ekspansi yang mengancam ekosistem di sejumlah daerah di Sumut.
Satu diantaranya adalah konflik agraria di kawasan pemukiman Kampung halamannya yaitu Labuhanbatu Selatan, dimana sejak tahun 2010 hingga saat ini belum menemukan titik terang.
"13 tahun sudah berlalu, tapi wilayah kami masih belum masuk kedalam peta, saat ini masyarakat yang tinggal di pemukiman Kampung Halaman ku hanya memiliki rumah tidak dengan tanah, dan hidup dengan ketakutan akan adanya penggusuran lahan karena kepentingan sebuah PT," katanya kepada Tribun Medan.
Konflik itulah yang membuat sosok gadis pendiam itu mulai berfikir untuk terjun menjadi seorang aktivis lingkungan.
Tidak hanya itu, kebakaran hutan hebat yang terjadi di Riau juga menjadi alasan Siska untuk getol menyuarakan isu lingkungan yang tidak hanya dipelajarinya di Indonesia tetapi hingga ke tingkat global.
"Di Tahun 2010 aku melihat langsung ada konflik hebat di kampung ku dimana seluruh masyarakat tidak ingin rumah, hutan dan ekosistem dirusak serta digusur yang menyebabkan trauma hingga saat ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.