Berita Viral
Viral Video Suku Pedalaman Asli Halmahera Hadang Buldoser, Lawan Pakai Sajam dan Anak Panah
Viral sebuah video yang memperlihatkan suku pedalaman Ohongana Manyawa di wilayah Halmahera, Maluku Utara melawan buldoser dengan mengacungkan
TRIBUN-MEDAN.COM – Viral sebuah video yang memperlihatkan suku pedalaman Ohongana Manyawa di wilayah Halmahera, Maluku Utara melawan buldoser.
Video suku pedalaman Ohongana Manyawa di wilayah Halmahera, Maluku Utara itupun viral di media sosial setelah diunggah akun X @Survival.
Dalam rekaman video yang diunggah itu menunjukkan dua orang suku pedalaman sedang mendekati buldoser di dekat tambang nikel.
Keduanya berusaha menghalau dengan memanah alat berat itu agar tidak memasuki wilayah mereka.
Dilansir dari situs resmi Survival International, video dramatis itu menunjukkan anggota suku asli yang tertutup memperingatkan orang luar untuk menjauhi kawasan mereka.
Keduanya tampak bersiaga dengan panah hanya beberapa meter dari bulodser yang siap menghancurkan hutan tempat tinggal salah satu suku asli Indonesia itu.
Bahkan salah seorangnya memanah buldoser yang siap membabat hutan mereka.
Survival International menyatakan para pegiat sudah memperingatkan bahwa bencana hak asasi manusia sedang terjadi di Pulau Halmahera.
Operasi penebangan kayu dan penambangan nikel menembus hutan hujan tempat suku Hongana Manyawa tinggal.
Direktur Survival International Caroline Pearce menyatakan, tahun lalu pihaknya sudah sudah berkampanye terkait potensi bencana hak asasi manusia yang dialami suku pedalaman di Pulau Halmahera.
Pearce menyebut bencana itu dengan istilah genosida.
"Survival telah berkampanye melawan potensi genosida ini sejak tahun lalu, dan video ini adalah bukti nyata dari apa yang telah kami katakan--bahwa operasi penambangan di Halmahera kini merambah jauh ke dalam hutan hujan di wilayah tersebut. Hongana Manyawa," kata Pearce dalam situs Survival International.
Baca juga: Ada Aja Ulahnya, Pria ini Nyamar Wanita, Agar Bisa Ngintip Gadis Mandi, Belagak Bisu Saat Ketangkap
Baca juga: Eryta Ambarita Gugat Ibu Tiri dan Gereja Rp 1 Triliun ke Pengadilan, Sebut Pernikahan Ayahnya Palsu
Siapa Suku Ohongana ?
Wakil Rektor Universitas Halmahera (Uniera) Dr. Sirayandris J Botara MSi Teol yang dihubungi Kompas.com, Selasa (1/11/2023), menjelaskan, bahwa salah satu komunitas yang masih mendiami pedalaman Halmahera adalah etnis Tobelo Dalam.
Umumnya, masyarakat mengenal mereka sebagai suku Togutil, tetapi sesungguhnya sebutan ini sendiri tidak sesuai dengan status kultural dari komunitas ini.
“Suku Togutil berkaitan dengan pelabelan terhadap komunitas, ini yang diwarisi sejak lama. Masyarakat lokal mengenal ini dengan Tugo Tukil, maka jadilah Togutil, sering dikaitkan dengan naluri berburu dari komunitas ini,” kata Sirayandris.
Komunitas ini katanya lebih memilih disebut Ohongana Manyawa, yang jika diterjemahkan, ohangana bisa diartikan orang hutan, dan manyawa itu manusia atau orang.
“Tapi bukan itu arti sebenarnya. Ohongana Manyawa lebih tepat diartikan sebagai orang yang mendiami belantara hutan Halmahera, maknanya orang yang hidup bersama alam. Ohangana Manyawa menggunakan Bahasa Tobelo sehingga disebut Tobelo Dalam,” tuturnya.

Namun, ini berbeda lafalnya di beberapa tempat seperti di Kabupaten Halmahera Tengah, yang mana bahasa Tobelo pada komunitas ini sudah dipengaruhi oleh bahasa sub etnis Tabaru, yakni salah satu subetnis yang ada di Halmahera khususnya di Kabupaten Halmahera Barat.
Anggota komunitas ini yang sudah berbaur dengan masyarakat juga sangat jarang atau tidak lagi disebut lagi Ohangana Manyawa.
Mereka ini masih dapat dijumpai di Sebagian wilayah Kabupaten Halmahera Timur, seperti Miaf, Maba Tengah, Tanjung Lili, Dorosago, Maba Utara, Waya, dan Wasilei Utara.
Sementara itu disampaikan oleh Saiful Majid dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang melakukan penelitian khusus kelompok O Hongana Manyawa selama 4 tahun mengatakan O Hongana Manyawa menjaga bumi dan hutan Halmahera itu nyata.
Dalam mengelola hutan saja membagi hutan untuk industri (Kongana), hutan lindung (Hongana) dan hutan yang disakralkan (raja maamoko).
Baca juga: Otak Mesum ! Oknum Pramugara Diam-diam Foto Selangkangan Wanita, Aksinya Ketahuan dan Disanksi
Baca juga: Suami Sibuk Kerja, Wanita Ini Malah Asyik Bercumbu dengan Pria Lain, Video 54 Detik Viral di Medsos
Dalam pandangan Ohongana Manyawa hutan itu rumah.
Karena itu merawat hutan sama dengan merawat rumah.
Di situ sumber makanan, air dan tempat melanjutkan kehidupan turun temurun.
Dalam kosmologi orang Ohongana Manyawa penghargaan mereka terhadap hutan sungai dan bambu begitu tinggi.
Dikatakannya, bagi suku O Hongana hutan sebagai rumah kehidupan menjadi tempat mencari makanan.
Hutan juga jadi tempat hidup dan mati mereka karena itu dalam pembagian hutan ada untuk urusan hidup dan mati, ada hutan untuk pangan atau industri, ada hutan lindung dan hutan disakralkan.
Hutan yang disakralkan itu menurut Saiful karena di hutan itu menjadi tempat roh para leluhur bersemayam.
Di hutan itulah ketika mereka meninggal ditempatkan mayatnya.
Hutan yang disakralkan itu juga tidak bisa dimasuki.
Sementara sungai menjadi tempat menjalani hidup. Orang O Hongana Manyawa mengatur tempat tinggal, tetap sementara atau nomaden, selalu memilih daerah dekat sungai karena menjadi sumber air untuk kebutuhan.
Sungai juga menjadi tempat penting proses melahirkan turunan ayau bersalin.
Kosmologi O Hongana Manyawa juga sangat menghargai hutan bambu symbol alat kehidupan.
Bambu adalah bahan penting alat makan, masak dan papan. Bambu juga berfungsi untuk membagun rumah. Karena itu O Hongana Manyawa begitu menghargai bambu air.
“Ketika ekstraksi tambang masuk tiga sumber kehidupan mereka ini ikut dirusak, hutan digusur sungai dirusak, bambu juga tergusur yang sama artinya membunuh kehidupan mereka secara tidak langsung,” imbuhnya.
O Hongana Manyawa juga tidak mengenal kepala suku atau kepala adat. Yang ada adalah orang yang dituakan atau dihormati dikenal dengan dimono. karena tidak ada ketua adat rasa memiliki hutan mereka lemah.
Ketika masuk orang luar atau korporasi menggusur, mereka tidak berlawan dan lebih memilih berpindah atau menghindar.
(*/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.