Tribun Wiki

Tradisi Magido Bantu Suku Mandailing, Bukti Gotong Royong dan Eratnya Silaturahmi

Tradisi Magido Bantu adalah tradisi yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat suku Mandailing

Editor: Array A Argus
ANTARA
Ilustrasi gotong royong perkawinan 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Gotong royong dalam sebuah pernikahan merupakan bentuk sebuah solidaritas di antara sesama masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan dengan sukarela.

Di beberapa wilayah Indonesia, masih banyak kelompok masyarakat yang melaksanakan praktik gotong royong tersebut.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap saling tolong-menolong di antara sesama masyarakat.

Baca juga: Tradisi Takko Binoto pada Suku Mandailing yang Berhubungan dengan Adat dalam Perkawinan

Di Jorong Tamiang-Ampalu, Kecamatan Koto Balingka, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, masyarakat suku Mandailing yang tinggal di sana memiliki tradisi bernama Magido Bantu.

Tradisi Magido Bantu ini diartikan sebagai bentuk untuk meminta bantuan kepada keluarga maupun masyarakat dalam melaksanakan pernikahan.

Tradisi Magido Bantu merupakan suatu adat yang dilaksanakan sebelum kegiatan pernikaham.

Baca juga: Tradisi Marsidudu pada Suku Mandailing Bagi Ibu yang Baru Melahirkan

Dalam tradisi Magido Bantu, pihak penyelenggara kegiatan, khususnya keluarga yang akan menikahkan anaknya akan menemui Ninik Mamak atau para tetua adat.

Tujuannya, untuk menyampaikan informasi, bahwa pihak keluarga akan mengadakan pesta perkawinan.

Namun, dalam pelaksanaan pesta perkawinan, pihak penyelenggara butuh bantuan semua masyarakat.

Sehingga, perlu bantuan dari berbagai pihak, tidak hanya menyangkut tenaga, tapi juga pendanaan. 

Baca juga: Tradisi Markobar pada Suku Mandailing yang Masih Terjaga Hingga saat Ini

Setelah menyampaikan hal ini kepada Ninik Mamak dan tetua adat, maka warga pun berkumpul.

Mereka akan memberikan berbagai sumbangan, yang tidak boleh dihitung-hitung atau dijumlahkan.

Semua bantuan itu akan dipakai untuk kegiatan acara pernikahan si pemilik hajat. 

Di wilayah Tapanuli Selatan, tradisi Magido Bantu biasa dikenal dengan nama martahi.

Penyebutan ini berasal dari kata tahi, yang bermakna musyawarah (Hasian Romadon Tanjung, 2015).

Baca juga: Tradisi Marari Sabtu, Hari Penyucian Bagi Agama Parmalim

Walaupun bermakna musyawarah, namun sebagain besar masyarakat hanya mengenal tradisi ini sebagai sebuah acara sosial yang biasa dilaksanakan sebelum pesta pernikahan.

Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengumpulkan dana dari para solkot (sanak famili), orang-orang kampung, dan lainnya yang diperkirakan akan hadir dalam acara pernikahan nanti.

Dana yang berhasil dikumpulkan dalam acara martahi akan diserahkan kepada keluarga pengantin yang akan melangsungkan pesta
pernikahan.

Dana tersebut dimaksudkan untuk membantu dan meringankan beban keluarga yang akan melaksanakan pernikahan (Siregar Baumi,1984:79).

Baca juga: Tradisi Gondang Naposo pada Batak Toba, Ajang Silaturahmi dan Pencarian Jodoh

Sementara di wilayah lainnya, tepatnya di daerah Padangsidimpuan, tradisi Magido Bantu biasa dikenal dengan nama marpege-pege, yang merupakan acara adat yang dilangsungkan sebelum acara penikahan.

Saking seringnya tradisi ini dilaksanakan, sehingga sudah menjadi semboyan bagi masyarakat sekitar, yaitu: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”.

Di wilayah Padangsidimpuan, tradisi ini masih dipraktikkan dengan sangat baik oleh masyarakat sekitar.

Tujuan tradisi ini sama dengan tradisi martahi, yakni untuk membantu pemilik hajatan dalam hal dana.

Kegiatan ini juga dilaksanakan sebelum dilangsungkannya acara pernikahan.

Pada dasarnya, martahi dilaksanakan sebagai sarana silaturahmi dan membantu anggota masyarakat yang hendak ingin melangsungkan pesta pernikahan anaknya.

Martahi dilaksanakan dengan cara mengundang seluruh keluarga besar untuk datang ke rumah sang tuan rumah untuk bermusyawarah terkait berbagi hal.

Dalam pepatahnya, tradisi ini bermakna magido gogo ningna digaja, magido sora dionggan, magido bisuk dilanduk (meminta tenaga kepada gajah, meminta suara kepada enggang, dan meminta kebijakan dari kancil).

Hal-hal tersebutlah yang akan dimusyawarahkan oleh seluruh keluarga besar ketika sedang melaksanakan makan sipulutu (ketan), yang dilangsungkan di kediaman calon pengantin.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter  

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved