Dedi Iskandar Batubara

Dedi Iskandar Batubara Minta Jalan Berlubang di Sekitar Kebun Sawit Diperbaiki: Pakai PP DBH Terbaru

Ustaz Dedi Iskandar Batubara meminta pemerintah memperhatikan kondisi jalan umum di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit.

Editor: Jefri Susetio
istimewa
Anggota DPD asal Sumatera Utara, Ustaz Dedi Iskandar Batubara meminta pemerintah memperhatikan kondisi jalan umum di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit. 

TRIBUNMEDAN.COM, MEDAN - Anggota DPD asal Sumatera Utara, Ustaz Dedi Iskandar Batubara meminta pemerintah memperhatikan kondisi jalan umum di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah memaksimalkan anggaran sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38/2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan sawit.

"Sumut masuk dalam 10 besar provinsi dengan luas lahan terbesar di Indonesia. Setelah Riau yang jumlahnya mencapai 3,49 juta hektar. Kemudian, Kalteng 2, 03 juta hektar," ujarnya kepada media, Selasa (30/1/2024)

Baca juga: Dedi Iskandar Batubara Hadiri Syukuran Penabalan Pendiri Al Washliyah Jadi Nama Jalan di Kota Medan

 

Lebih lanjut ia bilang berdasarkan data laporan statistik perkebunan unggulan nasional pada 2021 sampai 2023.

"Beberapa kali melintasi jalan yang berada di sekitar kawasan perkebunan, baik milik negara maupun swasta. Kita mendapati bahwa kondisinya mengalami rusak parah," katanya.

Menurutnya, jalan itu terhubung satu desa dengan desa lainnya atau antar kecamatan hingga antar kabupaten di Sumut.

Pekan lalu, lanjut dia, berkunjung ke Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun yang berhubung dengan Kabupaten Serdangbedagai.

Tidak hanya itu, ia menyinggung tentang keberadaan PP nomor 38/2023 tentang DBH Perkebunan Sawit, dimana dari aturan tersebut, 20 persennya diberikan kepada Pemerintah Provinsi.

Kemudian 60 persen kepada Pemerintah Kabupaten dan 20 persen untuk Pemerintah kabupaten/kta yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sawit.

Dengan pagu DBH Sawit ditetapkan paling rendah sebesar 4 persen dari penerimaan negara yang ditetapkan dalam peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

“Sebenarnya PP ini terbilang baru, diundangkan dan berlaku efektif 24 Juli 2023. Tentu harus dilaksanakan secara maksimal. Soal kemudian akan ada evaluasi, apakah ini efektif atau tidak itu belakangan. Tetapi memang yang menjadi masalah sebenarnya, jumlah besaran yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk transfer ke daerah (TKD) oleh pemerintah pusat,” jelas Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI ini.

Selain itu, kata dia, sebagaimana berdasarkan PP tersebut di provinsi ini terdapat lahan perkebunan kelapa sawit yang luas.

Sehingga bisa mendapatkan DBH yang lebih besar untuk bisa menyelesaikan infrastruktur jalan, sebagai indikator penentuan besaran rincian alokasi.

Termasuk juga produktivitas lahan serta yang ditetapkan oleh menteri.

“Saya juga melihat bahwa perlu ada komitmen antara PTPN dan pemerintah daerah termasuk provinsi, untuk sama-sama memikirkan. Karena yang menggunakan jalan itukan bukan hanya pihak perkebunan, tetapi masyarakat yang tinggal di wilayah seputar perkebunan yang menggunakan jalan itu sebagai akses mobilitas mereka membawa hasil bumi/pertanian dari kampungnya,” ujar calon DPD RI dapil Sumut nomor urut 7 pada Pemilu 2024 ini.

Selain itu, Dedi Iskandar Batubara mengungkapkan fakta bahwa banyak kendaraan yang melewati batas muatan atau tonase melintasi jalan di sekitaran perkebunan.

Akibatnya jalan yang sudah diaspal, menjadi rusak akibat beban berlebih atau tidak berimbang dengan kekuatan jalan.

Baca juga: Terima Audiensi IGRA Kota Medan, Dedi Iskandar Batubara Dengar Aspirasi Guru RA: Saya Perjuangkan

 

“Karenanya saya fikir, perlu dikoordinasikan secara komprehensif, antara pihak perkebunan dengan pemerintah daerah agar akses jalan yang digunakan oleh orang banyak, termasuk perusahaan perkebunan, itu dalam kondisi yang laik. Kan lucu, misalnya jalur yang harusnya bisa kita tempuh dengan waktu singkat, menjadi lama karena jalannya rusak parah,” terang Dedi.

Ia pun mengibaratkan kerusakan jalan yang mengganggu mobilitas masyarakat. Seperti pepatah ‘Tikus Mati di Lumbung Padi’, dimana hasil perkebunan sawit oleh para pemiliknya, baik swasta maupun milik negara, mendapatkan keuntungan besar.

Sementara rakyat yang hidup di sekitar perkebunan itu, justru jalan yang menjadi akses utama bagi mereka, kondisinya tidak baik.

(*)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved