Berita Viral
RESMI PENAMAAN KKB Papua Menjadi OPM, Ini Alasan Panglima TNI dan Dampaknya terhadap Masyarakat
TNI resmi mengganti penamaan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau kelompok separatis teroris (KST) menjadi organisasi Papua Merdeka (OPM).
TRIBUN-MEDAN.COM - TNI resmi mengganti penamaan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau kelompok separatis teroris (KST) menjadi organisasi Papua Merdeka (OPM).
Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April 2024.
Surat ini ditandatangani oleh As Intel Panglima TNI, Mayjen TNI Djaka Budi Utama dan ditujukan untuk Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangdam XVIII/Kasuari.
Dalam surat telegram tersebut, penyebutan OPM bagi kelompok kriminal di Papua mulai berlaku saat ini hingga waktu yang tak ditentukan.
Kapuspen TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar membenarkan perubahan penyebutan nama tersebut.
"Ya benar," ucap Nugraha dalam keterangannya, Kamis (11/4/2024).
Nugraha menambahkan, penggantian penyebutan nama tersebut lantaran KKB bertindak kriminal yang tak segan membunuh.
"Penyebutan OPM dikarenakan mereka adalah suatu organisasi yg menyatakan dirinya tentara atau combatan (TPNPB)," katanya.
"Dalam aksinya selalu mengancam/mengganggu/membunuh tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada prajurit TNI yang sedang melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan dan guru,"jelasnya kemudian.
Penjelasan Panglima TNI
Sementara, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjelaskan alasan pihaknya mengubah penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua kembali menjadi Organisasi Papua Mardeka (OPM). Menurut dia, kelompok separatis di sana menamakannya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sehingga pantas bila mereka disebut OPM.
Diketahui dalam Rapat Koordinasi Kementerian Polhukam 29 April 2021 disepakati, penyebutan OPM menjadi KKB atau Kelompok Separatis Teroris (KST). Namun, tertanggal 5 April 2024, TNI mengembalikan status dan penyebutan KKB menjadi OPM.
"Mereka sendiri menamakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sama dengan OPM," kata Agus seperti dikutip dari Antara, Rabu (10/4/2024).
"Sekarang mereka (OPM) sudah melakukan teror, pemerkosaan kepada guru, tenaga kesehatan dan pembunuhan kepada TNI, Polri dan masyarakat," ujarnya.
Ia menyatakan, pihaknya tak akan mendiamkan tindakan mereka yang terus mengganggu aktivitas masyarakat sipil di sana.
"Saya akan tindak tegas untuk apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara," katanya menegaskan.
Jenderal TNI Agus menambahkan, TNI mempunyai metode tersendiri untuk penyelesaian masalah di Papua.
Meski pihaknya akan melakukan operasi bersenjata, tetapi TNI juga mengedepankan pendekatan teritorial untuk membantu percepatan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat.
"Tentara kita di sana ngajar, memberikan pelayanan kesehatan masyarakat, selalu diganggu. Padahal kita akan memberikan bantuan pelayanan masyarakat, masa harus didiamkan," katanya.
Perubahan OPM ke KKB Menyuburkan Kekerasan
Diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi I DPR RI Hasanuddin menilai perubahan nama OPM ke KKB/KST di Papua justru menyuburkan kekerasan itu sendiri.
Kelompok/Organisasi separatis ini memang sejak dulu ingin merdeka. Apalagi, mereka juga punya kenangan trauma yang cukup lama di era Orde Baru.
"Ada trauma yang dalam pada masyarakat Papua di era Orba tanpa memperhatikan HAM. Ada 11 kali operasi militer yang pernah dilakukan. Inilah yang menimbulkan trauma masyarakat Papua,” kata Hasanuddin ketika perubahan nama OPM menjadi KKB.
Hasanuddin bercerita, ketika dirinya masih menjabat ajudan Presiden Habibie, pernah diminta untuk mengundang 100 tokoh Papua ke Jakarta. Terjadi perdebatan dalam pertemuan tersebut.
Para tokoh Papua ini minta referendum, karena ada keinginan lepas dari NKRI. Akhirnya, ketika itu diambil kebijakan berupa pemberian Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua.
Lalu, digelontorkanlah anggaran besar ke Papua. Namun, kata dia, anggaran Otsus hanya dinikmati kaum elit Papua. Anggaran seperti tak mengalir ke lapisan rakyat paling bawah.
"Masyarakat di bawah tetap sulit mendapatkan ubi jalar, sulit mendapatkan akses kesehatan, dan pendidikan juga tidak tersentuh," ungkapnya ketika itu.
Purnawirawan Mayjen TNI itu pun menyesalkan mengapa istilah OPM diubah menjadu KKB.
Dalam pandangannya KKB hanyalah kelompok kriminal biasa. Padahal, lanjut Hasanuddin, mereka yang kebetulan tertangkap selalu menyuarakan Papua merdeka.
Mereka tidak sekadar melakukan kriminal biasa. Menurut Hasanudddin, ada keinginan besar di balik setiap aksi kriminalnya selama ini.
Perubahan istilah OPM ke KKB tersebut juga mengubah paradigma penanganan kaum separatis di Papua.
Bila ada salah satu kelompok ini tertangkap, mereka lalu ditahan karena alasan kriminalitas. Tampak sekali, sambung dia, ada penanganan yang tidak menyentuh akarnya.
Ini bukan masalah kriminal, melainkan kedaulatan. Paradigma penanganannya pun harus diubah.
"Yang saya sesalkan, OPM berubah menjadi KKB. Ini, kan, sekadar kelompok kriminal. Mereka berbuat kriminal lalu ditahan selesai. Padahal, di masa OPM, mereka yang tertangkap tetap saja ingin merdeka. Mereka tidak sekadar berkelompok untuk berbuat jahat. Justru dii masa KKB, kelompok bersenjata ini semakin besar,"jelasnya.
Menurut Hasanuddin, kelompok bersenjata di Papua justru semakin bagus persenjataannya. Mereka mendapatkannya dari hasil selundupan atau rampasan.
"Kelompok ini memiliki tiga bagian penting, yaitu kampanye politik di dalam negeri untuk meminta dukungan ASN dan TNI/Polri. Kampanye politik luar negeri yang menyuarakan kemerdekaan Papua kepada kedutaan-kedutaan asing. Dan bagian terakhir, kekuatan senjata," jelas dia.
"Bagaimana pun mereka adalah saudara kita. Ini tanggung jawab kita bersama menyelesaikan masalah Papua," pungkas Hasanuddin ketika itu.
Dikritik Kontras ketika perubahan nama dari OPM ke KKB
Ketika itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik pemerintah yang mengkategorikan OPM sebagai Kelompok Separatis Teroris (KST).
Pelabelan itu dikhawatirkan akan berdampak psiko-sosial pada masyarakat Papua. Sebab, tidak menutup kemungkinan pelabelan serupa akan dialami oleh orang Papua yang berada di daerah perantauan. "Dampak pelabelan teroris terhadap TPN-OPM cepat atau lambat juga akan membawa dampak psiko-sosial di masyarakat.
Orang yang berasal dari Papua yang menetap di daerah lain di Indonesia juga berpotensi dilabeli sebagai KST oleh masyarakat setempat," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, Kamis (8/4/2021) lalu.
Fatia mengatakan, pemerintah seharusnya belajar dari beberapa peristiwa kekerasan yang pernah terjadi. Misalnya, peristiwa rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dan Surabaya pada tahun 2019. Peristiwa tersebut telah menimbulkan gejolak sosial, terutama bagi masyarakat Papua.
Menurut Fatia, wacana redefinisi KKB sebagai teroris justru akan membuat situasi di Papua semakin memburuk.
Ia juga menilai, wacana mengelompokkan KKB dalam klasifikasi organisasi teroris adalah langkah yang terburu-buru serta berpotensi abuse of power.
"Kami melihat pelabelan nama tersebut hanya menjadi celah bagi negara untuk melegitimasi langkah TNI dalam keamanan domestik melalui UU Terorisme yang berakibat pada makin buruknya situasi di Papua," kata Fatia.
Untuk itu, Kontras mendesak pemerintah supaya melakukan pendekatan humanis dalam menyelesaikan konflik di Papua.
"Melakukan pendekatan yang lebih humanis, bukan dengan pendekatan keamanan maupun dengan cara-cara militeristik dan kental akan kekerasan. Hal ini bisa dimulai dengan menarik pasukan dari beberapa daerah di Papua," imbuh dia.

Menghadapi OPM dengan Perang Gerilya
Menghadapi perang gerilya dengan merebut hati rakyat, smart power, operasi dan pembinaan teritorial, komunikasi sosial, hingga merangkul kelompok bersenjata adalah istilah-istilah yang muncul dalam upaya TNI menjaga keamanan di Papua.Namun, hingga kini pendekatan itu disebut tidak menyelesaikan konflik yang justru semakin banyak korban di Papua.
Anggota Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth mengatakan pendekatan keamanan dengan beragam istilah itu dan ditambah pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah pusat di Papua tidak berkorelasi positif dengan berkurangnya konflik yang terjadi.
“Cuma ganti orang, ganti nama, tapi yang dilakukan sama. Kalau berharap hasil berbeda dengan pendekatan yang sama itu tidak mungkin,” kata Adriana kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis (30/11/2023) lalu.
Adriana mengatakan, militer adalah simbol kekuatan negara yang bertugas untuk mempertahankan negara, wilayah, dan kedaulatan. Jika, tindakan separatisme di Papua dikategorikan sebagai ancaman terhadap negara maka doktri pelaksanaannya akan tetap sama, yaitu dengan operasi senjata.
“Itu akan efektif kalau konfliknya antarnegara. Tapi Papua itu kan rakyat Indonesia yang tinggal di Papua, masa mau diperlakukan seperti itu,“ ujarnya yang juga menjadi peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus melakukan cara lain, yaitu dengan pendekatan resolusi konflik guna menjembatani konflik yang meluas di Papua.
“Pendekatan ini untuk mencari gap selama ini dimana, sekaligus juga bernegosiasi dengan kelompok-kelompok yang selalu berpikiran untuk memisahkan diri dari Indonesia,“ ujarnya.
Melalui pendekatan resolusi konflik, ujarnya, maka akan terjalin dialog dan komunikasi yang saling mendengarkan antara pemerintah pusat, masyarakat dan juga kelompok bersenjata di Papua.
“Pendekatan resolusi konflik ini bisa membantu penyelesaian pilot Selandia Baru yang disandera, dan mencegah aksi kekerasan lain. Kini kita sulit menemukan orang yang bisa bernegosiasi untuk membebaskan pilot karena pendekatan ini tidak pernah dirancang,“ katanya.
Senada, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua dan juga anggota Dewan Gereja Papua Socratez S Yoman menilai pernyataan itu adalah “jargon yang diulang-ulang, tanpa pesan, tanpa makna dan tanpa arti”.
Usai pelantikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Maruli Simanjuntak mengatakan akan meningkatkan pendekatan gerilya dalam merebut hati masyarakat Papua.
“Jadi sebetulnya di dunia ini yang sudah membuat pembelajaran tentang lawan gerilya itu, kita Indonesia termasuk hebat. Tapi hal-hal tersebut mungkin sedikit terlupakan dengan perkembangan zaman dan sebagainya. Intinya dari perang gerilya adalah merebut hati rakyat. Jadi ini yang memang harus kita tingkatkan terus untuk khususnya di Papua,”ujar Maruli pada Rabu (29/11/2023).
Sementara itu, seusai upacara serah terima jabatan Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto mengatakan akan menggunakan cara smart power yang merupakan kombinasi dari operasi teritorial dan penggunaan senjata dalam menangani masalah keamanan di Papua.
"Harus smart power. Jadi smart power, menggunakan soft power, kita akan kedepankan operasi teritorial," kata Agus di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (22/11/2023).
Kemudian, kata Agus, dengan menggunakan senjata atau hard power terhadap KKB atau kombatan.
Panglima TNI sebelumnya, Jenderal (Purn) Yudo Margono menggunakan tiga pendekatan dalam melaksanakan operasi di Papua, yaitu soft approach melalui pembinaan teritorial dan komunikasi sosial. Kemudian culture approach melalui tokoh agama, masyarakat dan pemuda. Terakhir, dengan hard approach yaitu operasi senjata di wilayah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.
Lalu, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa juga sempat mengungkapkan kebijakan pengamanan di Papua dengan pola pendekatan teritorial dan sosial, yaitu lebih mengdepankan tugas Kodim dan Babinsa yang bisa langsung menyentuh masyarakat.
Selain itu, mantan KSAD Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman juga pernah memberi instruksi ke prajurit untuk merangkul KKB.
"Satgas tidak harus memerangi KKB, namun mereka perlu dirangkul dengan hati yang suci dan tulus karena mereka adalah saudara kita. Keberhasilan dalam tugas bukan diukur dengan dapat senjata namun bagaimana saudara kita bisa sadar dan kembali ke pangkuan NKRI," ujar Dudung.
Sementara, Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, menilai persoalan Papua adalah masalah yang pelik, panjang, dan rumit.
Dave melihat pendekatan represif telah terbukti gagal, sementara pendekatan lunak hingga kini belum membuahkan hasil. “Jadi harus ada counterbalance-nya, pendekatan-pendekatan humanis harus dikedepankan walaupun juga pendekatan secara represif terhadap mereka yang bersenjata tidak boleh lengah,” katanya.
“Jadi kalau pendekatan seperti apa, kita masih tunggu dulu seperti apa yang dirancang oleh Pak Maruli sembari kita melihat perkembangan seperti apa, sehingga kita tetap berharap ada pendekatan yang long-lasting,” ujar Dave.
Apa kata TPNPB OPM?
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom mengeklaim bahwa tidak mungkin aparat keamanan dapat merebut hati masyarakat Papua.
“Jadi dia mau gerilya rebut hati rakyat, sama sekali tidak mungkin itu terjadi. Orang Papua sudah tidak percaya dengan istilah-istilah itu,” ujar Sebby.
Sementara itu saat ditanya mengapa pilot asal Selandia Baru, Philip Martens, tak kunjung dibebaskan, Sebby mengatakan karena pemerintah Indonesia maupun Selandia Baru tidak mau melakukan negosiasi.
“Pemerintah Jakarta maupun Selandia Baru keliru. Sejak awal penyanderaan TPNPB sampaikan bahwa siap bebaskan pilot asalkan Selandia Baru berniat bicara dengan TPNPB. Tapi karena tidak diindahkan, maka menjadi lama prosesnya.” Ujarnya.
“Bicara sandera ini bukan bicara tentara kah, polisi kah, tapi penyelesaian melalui negosiasi. Pemerintah tidak berniat negosiasi dan tentara yang ditugaskan yang tangani. Penyelesaian melalui operasi militer tidak menyambung, tapi melalui negosiasi. Masa tidak ada orang sipil yang bisa ditugaskan,” ujar Sebby.
Baca juga: Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto Kembalikan Penyebutan KKB Menjadi Organisasi Papua Mardeka/OPM
Baca juga: KRONOLOGI 2 Anak Kecil Ditembak KKB Papua, Satu Tewas dan Satu Luka Berat, Berawal dari Baku Tembak
Baca juga: LETJEN TNI Richard Tampubolon Buktikan Ultimatumnya, Tokoh KKB Abubakar Kogoya Tewas Ditembak
(*/tribun-medan.com)
SILFESTER Matutina Buron atau Dilindungi? Drama Hukum yang Membusuk, Mahfud MD: Jebloskan Dulu! |
![]() |
---|
Viral Anggota DPRD Ngaku Habiskan Uang Negara Bareng Selingkuhan, PDIP Bersikap Tegas Langsung Pecat |
![]() |
---|
Kapolsek N Resmi Dicopot Jabatannya, Nyelinap ke Rumah Janda dan Digerebek |
![]() |
---|
PNS Asal Cirebon Gugat UU ASN, Tuntut Kesetaraan Batas Usia Pensiun Agar Berpeluang Promosi Jabatan |
![]() |
---|
VADEL Senang Ketemu Nikita Mirzani di Ruang Tunggu PN Jaksel: Alhamdulillah Bisa Sidang Bareng |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.