Sosok

Johnny Iskandar 1959–2024: Sekarang, Apakah Judulnya Masih Judul-judulan, Bang?

Kabar kematiannya mengemuka pada Jumat, 9 Mei 2024. Mereka memutar lagi lagu-lagunya, lalu bersama-sama tertawa dalam tangis, menangis dalam tawa.

|
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
KOMPAS.com/IRA GITA
Jhonny Iskandar dari Orkes Moral Pengantar Minum Racun (OM PMR) berfoto pada sebuah kegiatan di kawasan Tendean, Senin (8/1/2018). 

Johnny Iskandar (1959–2024)

Sekarang, Apakah Judulnya Masih Judul-judulan, Bang?

Malam tadi, kurang lebih satu jam pascapertandingan Indonesia versus Guinea di Kualifikasi Olimpiade Paris 2024 yang berakhir menyesakkan lantaran sungguh menjengkelkan, saya mendengarkan PMR. Lagu pertama, ‘Malam Jumat Kliwon’.

Lagu dibuka dengan solo gendang Harry Muka Kapoor, dilanjutkan intro, lalu Johnny Iskandar mulai menyanyi, ‘Pada malam jumat kliwon aku jalan lewat kuburan’. Awal yang “menjanjikan” untuk satu “kisah seram”. Namun hanya sampai di sini, karena di bait-bait berikutnya keseraman secara memukau berbelok tajam ke komedi, dan tiba pada bait yang selalu membuat saya takjub; ‘merinding bulu jaketku....’

Merinding secara medis disebut ‘piloerection’ yaitu refleks pilomotor yang muncul sebagai reaksi tubuh saat mengalami kejadian-kejadian yang tidak normal, bisa jadi terkejut, sedih, atau senang. Otak mengaktifkan –semacam– mode “siaga” hingga tubuh memproduksi hormon yang menyebabkan otot kecil yang folikel rambut pada kulit akan berkontraksi.

Lantas bagaimana ceritanya bulu jaket bisa merinding? Saya kira ini memang pencapaian tingkat makrifat untuk menggambarkan keseraman saat bertemu mahluk-mahluk tak kasat mata, yang rasa-rasanya belum dicapai oleh Joko Anwar sekali pun.

Iya, tentu saja, Malam Jumat Kliwon adalah lagu komedi. Satu dari puluhan lagu PMR, persisnya OM PMR; Orkes Moral Pengantar Minum Racun, yang sejak kemunculan mereka pertama kali di panggung Aneka Ria Safari TVRI tahun 1987 nyaris secara terus-menerus saya dengarkan sampai hari ini. Sampai Jhonny Madumathikutu, vokalisnya, meninggal dunia, menyusul dua rekannya Budi Padukone dan Yuri Mahippal.

Kenapa nama-nama ini berbau India? Hanya Kasino Hadiwibowo yang bisa menjawab. Tahun 1977, Kasino memberi nama band yang kerap mengiringi Warung Kopi (Warkop) Prambors tiap kali mendapatkan job melawak di panggung. Nama pertama yang diberikan adalah Orkes Kurang Gizi, yang kemudian diubah menjadi Orkes Moral Irama Teler.
Tidak hanya nama band, Kasino juga mengubah nama para personelnya. Selain Johnny Madumathikutu, Harry Muka Kapoor, Budi Padukone, dan Yuri Mahippal, ada juga Adjie Cetti Bahadursyah dan Imma Maranaan.

Dari semua personel PMR, hanya Jhonny Madumathikutu yang dikenal juga dengan nama lahirnya. Ini dikarenakan Jhonny punya panggung yang lain. Ia bersolo karier di luar PMR dengan nama Jhonny Iskandar, nama yang melekat padanya sejak dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 20 Oktober 1959.

Sebagai Jhonny Iskandar namanya tak kalah berkibar. Satu lagunya, ‘Bukan Pengemis Cinta’, bahkan menjadi ikonik dan barangkali sulit untuk dilupa lantaran akan kerap muncul tiap kali ada yang merasa patah hati. Dengan tendensi setengah serius setengah bercanda, lagu ini ditabalkan sebagai lagu patah hati “paling jantan se-jagat raya”.

Mungkin berlebihan, tapi pasti tak sedikit juga yang sepakat. ‘Persetan dengan cinta, persetan dengan janji, kalau harus menyakiti’, demikian liriknya. Belum cukup, Jhonny menyambungnya, ‘patah hati bukan sifatnya lelaki, apalagi sampai nekat bunuh diri, putus cinta itu soal yang biasa, aku tak putus asa’. Jantan sekali, bukan?

Namun, apakah ini berarti Jhonny Iskandar bisa sekaligus disebut sebagai “pahlawan lelaki”, atau setidak-tidaknya “ikon kelelakian sejati”? Di sini masalahnya. Bahwa ternyata ketegarannya yang mengagumkan berhenti di lagu ‘Bukan Pengemis Cinta’. Di lagu-lagu lainnya, Jhonny kembali ke khitah percintaan dalam dangdut yang serba meringis mendayu-dayu –yang walau demikian secara ajaib ternyata memang tetap saja bisa menghadirkan goyang dan joget.

Sebutlah, misalnya lagu ‘Secangkir Kopi’. Jhonny melesatkan lirik seperti ini; ‘Kupulang malam karena tak tahan...’, atau ‘percuma saja kumanja-manja kalau membuat hatiku luka’ dan ‘kalau kau tak suka mengapa tak kau katakan, jangan kau berlari semasih dalam pelukan’ dari ‘Dosa Kau Anggap Madu’ yang sering diduga-duga sebagai lagu yang ditulis Jhonny saat ia berada di titik terendah kehidupan percintaannya di dunia nyata.

Masih banyak lagu lain yang bertipikal serupa. Lagu-lagu yang menjeritkan derita patah hati dengan air mata yang berlinang-linang. Tengoklah judul-judulnya; ‘Hitam Duniamu Putihnya Cintaku’, ‘Di Akhir Penyesalan’, juga satu lagu yang mengisahkan kembali cerita cinta legendaris Qais dan Laila, ‘Laila pergi diasingkan ayahnya, agar mereka tak lagi saling menyinta, kasihan Qais bagai orang gila, setiap hari menyebut nama Laila’. Alamak, sungguh kontradiktif dibanding lirik lagu-lagunya di PMR.

Sampai di sini, mencuat kecurigaan, sebagai penyanyi Jhonny Iskandar agaknya tampil dengan dua sisi pribadi berbeda. Satu sisi melankolis cenderung cengeng, sisi yang lain riang gembira. Ia riang gembira, sedikit banyak menjurus gila, ketika bersama PMR. Namun berbalik murung jika sendiri.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved