Sosok

Dari Montana ke Medan, Cerita Nikita Shaqilla Peserta YSEALI soal Perlindungan Satwa dan Lingkungan

Nikita Shaqilla ktif mengelola relawan yang mempelajari satwa dan habitatnya di Sumatera Utara, melalui Yayasan Orangutan Sumatera Lestari.

DOK/Nikita Shaqilla
PROGRAM LUAR NEGERI: Nikita Shaqilla terpilih sebagai peserta YSEALI (Young Southeast Asian Leaders Initiative) Academic Fellowship 2025, program pemerintah AS untuk pemuda ASEAN. Dari 34 peserta, ia masuk kelompok Natural Resources di University of Montana. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – "Awalnya saya pikir tidak relevan dengan latar belakang pendidikan saya," ujar Nikita Shaqilla (23) sambil tertawa ketika menceritakan perjalanannya dari lulusan hukum menjadi pegiat konservasi. 

Pemudi asal Medan ini kini aktif mengelola relawan yang mempelajari satwa dan habitatnya di Sumatera Utara, melalui Yayasan Orangutan Sumatera Lestari atau Orangutan Information Centre.

Lulusan Universitas Sumatera Utara (USU) ini mengaku ketertarikannya pada konservasi bermula saat dipercaya membahas policy dan advokasi lingkungan semasa kuliah. "Saya ditempatkan di bagian environment, di situlah saya banyak belajar konservasi. Kecintaan terhadap satwa pun tumbuh," kenangnya.  

Yang unik, justru latar belakang hukumnya menjadi nilai tambah. "Sebagai anak hukum, saya jadi lebih paham batasan legal untuk wilayah konservasi. Kedepannya malah ingin mendalami Hukum Lingkungan," tutur wanita kelahiran 27 Oktober 2001 ini.  

Pengalaman di YSEALI: Belajar Konservasi ke Amerika

Perjalannya di dunia konservasi, membawa Nikita terpilih sebagai peserta YSEALI (Young Southeast Asian Leaders Initiative) Academic Fellowship 2025, program pemerintah AS untuk pemuda ASEAN. Dari 34 peserta, ia masuk kelompok Natural Resources di University of Montana.  

"Kita bahas penjualan satwa ilegal yang di Indonesia hanya ramai di kalangan pegiat, tapi tidak diketahui publik," ujarnya. 

Program ini juga memberinya pelajaran kepemimpinan dan etika lingkungan. "Kita belajar cara menjaga bumi tidak hanya secara teknis, tapi juga dengan moral."  

Belajar dari Taman Nasional Pertama di Dunia

Salah satu highlight program adalah kunjungan ke Yellowstone National Park. "Areanya sangat terjaga. Kita lihat langsung beruang grizzly dan satwa endemik Montana hidup bebas," ceritanya dengan semangat.  

Pengalaman ini membuatnya membandingkan dengan kondisi di Indonesia. "Di Asia Tenggara, termasuk di Batang Toru, menjaga habitat masih challenging karena tekanan pembangunan," ucapnya.  
 
Menurut Nikita, tantangan terbesar adalah edukasi masyarakat. "Di Montana, kami diskusi dengan staff pemerintah. Mereka sangat paham ekosistem. Sedang di Indonesia, masih sedikit yang mengerti mengapa orangutan penting sebagai penabur biji untuk hutan," jelasnya.  

Ia juga terkesan dengan pengelolaan tambang di Montana yang tetap menjaga lingkungan. "Mereka punya sistem pengelolaan air yang baik. Ini yang ingin saya adaptasi ke Indonesia."  

Dengan semangatnya, Nikita membuktikan passion bisa membawa seseorang melampaui latar belakang pendidikannya. "Montana mengajarkan kita bahwa harmonisasi antara manusia dan alam mungkin dilakukan. Saya yakin Indonesia bisa menerapkannya," jelasnya.

Nikita mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Konsulat Amerika Serikat di Medan, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari atau Orangutan Information Centre yang telah mendukung dan menjembataninya hingga bisa mendapatkan pengalaman belajar langsung tentang isu-isu lingkungan di Amerika Serikat.

“Bagi banyak orang, belajar ke luar negeri sering kali terdengar mahal dan tidak terjangkau. Namun sebenarnya, ada banyak program yang bisa diikuti secara gratis, salah satunya adalah YSEALI (Young Southeast Asian Leaders Initiative) dari pemerintah Amerika Serikat,” ungkapnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved