Berita Medan

Kadin Sumut Sarankan Masalah Pangan Diselesaikan, Komit Tanggulangi Stunting

Beberapa waktu lalu Kadin Sumut juga sudah meneken komitmen keikutsertaan dalam pengentasan stunting di Musrembang pemprov.

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
HO
Ketua Kadin Sumut, Firsal Dida Mutyara 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Kamar dagang dan industri (kadin) Sumut berkomitmen untuk menanggulangi stunting.

Ketua Kadin Sumut, Firsal Dida Mutyara, mengatakan, dunia usaha komit untuk berperan aktif menanggulangi stunting yang menjadi program pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Sumatera Utara.

Beberapa waktu lalu Kadin Sumut juga sudah meneken komitmen keikutsertaan dalam pengentasan stunting di Sumatera Utara saat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang Provsu).

Firsal Dida Mutyara mengatakan hal itu sebagai bentuk penguatan dan kontribusi membangun Sumatera Utara.

“Karena kalau lihat data berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting nasional pada tahun 2022 sebesar 21,6 persen. Untuk mencapai target 14 persen, maka pemerintah menargetkan untuk dapat menurunkan prevalensi stunting 3,8 persen per tahunnya sampai tahun 2024," ujarnya.

Menurut Firsal, persoalan stunting ini harus ada korelasi antara kesiapan kebutuhan pangan dengan upaya mengatasi gizi buruk.

“Kenapa stunting itu bisa terjadi. Banyak penyebabnya. Apakah karena produk yang kita konsumsi memang sudah kurang gizi dan tidak berkualitas seperti beras, daging dan komoditas lain.

Dari hulu harus kita pelajari. Atau apakah stunting karena distribusi sumber pangan yang sulit didapat. Karena tidak semua masyarakat yang di pelosok yang kurang gizi. Yang di perkotaan juga banyak.

Jangan-jangan karena harga pangan lebih mahal sehingga mereka tak mampu beli beras atau tak punya biaya yang layak untuk makan,” jelasnya.

Firsal mengatakan, prinsipnya mengatasi stunting ini harus memperhatikan kebutuhan bahan pokok yang terjamin, distribusinya bagus dan harga tidak mahal.

"Kalau harga pangan mahal orang tak sanggup beli. Harusnya dia makan nasi tiga kali akhirnya cuma makan sekali, yang dua lagi bisa saja tak makan atau diganti yang lain. Banyak masalah di distribusi sehingga harga pangan naik,” tuturnya.

Firsal juga menyoroti harusnya juga ada kajian pola konsumsi rumah tangga dalam pemanfaatan gaji/upah yang diterima.

Dari gaji yang Rp3 juta misalnya berapa persen diserap untuk belanja pangan. Sehingga pola penentuan subsidi untuk pangan pun bisa dilakukan pemerintah.

"Jangan tuntutannya naik gaji terus, karena harus dilihat struktur pemanfaatan gaji digunakan untuk pangan berapa banyak," katanya.

“Coba kita lihat Singapura misalnya sepanjang 20 tahun inflasi mereka tak pernah tinggi kecuali covid. Artinya harga pangan pasti terjangkau.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved