Inspiratif
SOSOK Irene Bersepeda Seorang Diri dari Singapura Kunjungi Bagansiapiapi, Danau Toba, hingga Aceh
Sosok Irene Tan, perempuan warga negara Singapura yang saat ini berusia 50 tahun.
TRIBUN-MEDAN.COM - Sosok Irene Tan, perempuan warga negara Singapura yang saat ini berusia 50 tahun.
Irene seorang pendidik anak usia dini yang cinta bersepeda dan sejarah.
Mendiang kakeknya dari pihak ayah lahir di Bagansiapiapi, Provinsi Riau.
Kala itu, kakek buyut Irene pindah dari China ke Bagansiapiapi.
Di sanalah ia membangun keluarga hingga lahirlah kakek Irene.
Dilansir dari media Singapura CNA, Irena mengatakan, saat dirinya tumbuh besar, ia sering mendengar beraneka ragam cerita tentang masa kecilnya di Indonesia sebelum ia diboyong pindah ke Singapura.
Potongan-potongan cerita hingga perang Dunia II didengarnya begitu memukau.
Ia lantas membaca apa pun yang bisa ditemukan di internet tentang keluarga-keluarga Tionghoa yang tinggal di Sumatera, Indonesia, pada awal tahun 1900-an.
Irene juga bertanya kepada keluarga besarnya tentang seperti apa keluarga mereka di Indonesia. Dan, ia pun menemukan berbagai hal yang menarik.
"Kedua buyut saya berasal dari China dan menetap di Indonesia. Mereka fasih bahasa Indonesia maupun dialek Hokkien. Penghasilan utama mereka bersumber dari perkebunan karet yang mereka miliki, selain dari hasil laut,"kata Irene pada CNA.
Semua cerita itu membuat Irene semakin ingin mengunjungi daerah tersebut. Tetapi, ia tidak pernah benar-benar melakukannya.
Sampai suatu hari ia terpikir bagaimana kalau dirinya bersepeda sendiri dari Singapura ke Sumatera untuk mengunjungi tanah kelahiran kakeknya.
Gagasan itu pun terus berkembang dalam benaknya dan semakin bersemangat tiap kali memikirkannya.
Akhirnya, Irene pun memutuskannya untuk bersepeda sekalian melintasi daratan dan menuju ujung paling utara Indonesia sampai Pulau Sabang di Aceh.

Irene menggunakan Google Maps
Karena ini perjalanan solo pertama Irene di Indonesia, ia pun memastikan semua terencana dengan baik.
Irene pun mengambil cuti sebulan dari pekerjaan, dari September sampai Oktober 2023.
"Jadi saya punya waktu tiga pekan untuk trip bersepeda satu arah dari Singapura ke Aceh. Kemudian, pulangnya terbang dari Aceh via Kuala Lumpur, Malaysia,"katanya.
"Saya pelajari lagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dasar yang saya kuasai dan saya petakan beberapa rute alternatif di Google Maps – aplikasi yang sangat membantu – sebagai Rencana A, B, dan C,"sambungnya.
Adapun rute bersepeda dibagi Irene menjadi lima tahap utama:
1. Singapura ke Melaka, Malaysia (250 km), lalu naik feri dari Dermaga Parameswara ke Dumai, Sumatra, Indonesia (120 km)
2. Dumai ke Bagansiapiapi (120 km)
3. Bagansiapiapi ke Danau Toba, danau luas yang mengelilingi gunung berapi aktif yang tengah dorman (530 km)
4. Danau Toba ke Medan, ibu kota Sumatra Utara (120 km)
5. Medan ke Aceh (450 km), kemudian naik feri ke Pulau Sabang, dan lanjut bersepeda ke ujung utara Indonesia (40 km)
"Keseluruhan perjalanan saya menempuh lebih dari 1.600 km. Saya menargetkan bersepeda sekitar 100–140 km, yakni sekitar empat hingga enam jam, per hari,"ujarnya.
Irene juga memperhitungkan kemungkinan kerusakan sepeda, kecelakaan, hingga kemungkinan merasa terlalu lelah.
"Meski saya memesan sebagian besar akomodasi di awal, saya juga mencatat beberapa hostel dan akomodasi potensial yang akan menerima penginapan mendadak, kalau-kalau saya butuh istirahat," pungkasnya.
Irene hanya membawa satu tas untuk pakaian dan satu lagi untuk vitamin, alat-alat sepeda, botol minum, dan sedikit ruang ekstra untuk oleh-oleh.
Ia juga membeli kartu SIM lokal dan menandai toko-toko kecil di sepanjang jalan agar bisa beli pulsa untuk panggilan internasional.
Apa yang ditemukan Irene di Bagansiapiapi?
Sesampainya di Bagansiapiapi, Irene tidak ragu untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang sejarah kota terkait komunitas besar Tionghoa di sana.
Berkeliling pun tidak terlalu sulit karena sebagian besar penduduknya orang Tionghoa, dan Hokkien jamak digunakan.
Ketika ia tiba di Bagansiapiapi, ia merasakan gelombang rasa syukur kepada leluhurnya.
"Saya jadi tahu bahwa Bagansiapiapi awalnya dihuni terutama oleh para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,"ujarnya kepada CNA.
Sayangnya, ia tidak berhasil menemukan atau mengidentifikasi nama kakek buyutnya.
Namun, ia sangat gembira melihat satu jalan yang diberi nama sesuai dengan nama keluarga Tionghoa yang juga bermarga Tan.
"Saya mengetahui bahwa mereka juga memiliki perkebunan karet. Penduduk setempat ingat ada satu keluarga Tionghoa yang pernah tinggal di Bagansiapiapi pada tahun 1920-an hingga 1940-an, lantas bermigrasi ke bagian lain Asia Tenggara,"ujarnya.
"Mereka tidak ingat namanya dan saya tidak menemukan dokumen tertulis apa pun, jadi saya tidak yakin 100 persen kalau itu memang kakek saya,"sambungnya.
Irene merasa bersemangat dan puas karena semua kepingan kecil sejarah mengingatkannya akan pengorbanan dan kerja keras leluhur dari pihak ayahnya demi kehidupan yang lebih baik bagi keturunannya.
Sempat tersesat di Danau Toba
Setelah meninggalkan Bagansiapiapi, Irene mengayuh sepedanya menuju Danau Toba.
"Saya tersesat saat bersepeda ke Danau Toba. Saya hampir masuk hutan karena di peta ada semacam jalan pintas kecil menuju Danau Toba. Namun sebelum saya masuk hutan, satu keluarga beranggotakan tiga orang – perempuan bernama Midah, suaminya, dan anaknya – melewati saya naik skuter dan menyetop saya,"ujarnya.
"Syukurlah mereka melakukan itu, karena entah apa yang mungkin terjadi pada saya di hutan tersebut,"sambungnya.
Midah dan keluarganya dengan ramah mengajak Irene ke rumah mereka untuk bermalam.
"Saya ikut makan malam dan sarapan dengan keluarganya, mencuci pakaian, mengisi kembali persediaan makanan dan minuman, dan menyesuaikan sepeda saya seperlunya,"ujarnya.
"Saya akan selalu berterima kasih kepada mereka karena telah menjaga saya ketika tersesat,"pungkas Irene.
Irene mengaku, mereka tidak selalu paham bahasa satu sama lain, tetapi mereka berbagi kehangatan yang tidak akan pernah terlupakannya.
Esoknya, keluarga itu bahkan menemani Irene dengan skuter mereka sejauh 15 km sembari saya bersepeda.
Mereka tidak pergi sampai mereka yakin Irene paham arah ke Danau Toba, meskipun ada hambatan bahasa.
"Kami berpelukan dan bertukar nomor telepon. Saya sesekali masih kirim pesan kepada Midah lewat WhatsApp,"kata Irene.
Apakah pernah dilecehkan di jalan?
Irene mengaku, perjalanan bersepeda banyak tantangan, bukan hanya soal kecelakaan atau kerusakan sepedanya, tetapi pernah dilecehkan secara verbal dan fisik oleh sejumlah laki-laki.
Pada insiden-insiden tersebut, dirinya tidak bisa bereaksi, karena saat terjadi pelakunya cepat-cepat kabur.
"Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan untuk menenangkan diri,"ujarnya.
Irene mencontohkan, dalam perjalanan bersepedanya menuju Danau Toba, ada satu sepeda motor melambat di sampingnya dan salah satu pria di motor itu memegang pahanya.
Insiden lain terjadi di Pulau Sabang, ada sekelompok pria bersiul-siul dan memanggil-manggil dirinya saat bersepeda.
"Syukurlah ada beberapa pria setempat lain yang membantu memastikan saya baik-baik saja,"ujarnya.
"Contohnya, setelah saya berhenti di pinggir jalan untuk mencerna insiden pertama, satu pengemudi yang menyaksikan kejadiannya lantas berhenti dan bertanya apakah saya baik-baik saja. Dia bahkan memberi saya sebotol air yang membuat saya merasa lebih tenang,"jelasnya kemudian.
Ketika dirinya mencapai Tugu 0 Kilometer, ujung utara Indonesia di Pulau Sabang, Irene nyaris tidak percaya.
"Saya terus berpikir, 'Wow, saya berhasil menyelesaikannya!'. Itu pengalaman yang tidak terlupakan dan di akhir perjalanan sejauh 1.630 km, kaki saya rasanya seperti mau copot,"ujarnya.
Setelah beberapa hari menjelajahi Aceh, Irene terbang kembali ke Singapura dari Aceh via Kuala Lumpur.
"Sungguh petualangan yang luar biasa dan saya sangat bangga pada diri sendiri karena berhasil mewujudkannya,"pungkas Irene.
Awal jatuh cinta bersepeda
Irene cinta bersepeda berawal dari mengikuti trip bersepeda santai di Taiwan pada tahun 2014.
"Dari situ yang membuat saya merasa begitu bebas dan bergairah. Saya jatuh cinta dengan olahraga ini,"tuturnya pada CNA.
Tak lama, ia pun bergabung dengan klub bersepeda lokal dan berkawan dengan para penggemar lain.
Mereka berbagi tips pemilihan rute-rute bersepeda terbaik di Singapura dan apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat saat sendirian di jalan.
Meski makin mantap bersepeda, ia tetap merasa bukan petualang.
"Saya lebih suka rute yang saya akrabi, dan kalaupun melenceng dari jalur biasa atau bersepeda sampai ke luar negeri, saya lakukan berkelompok dengan kawan-kawan pesepeda lain atau ke tempat-tempat yang bisa saya pahami bahasanya,"ujarnya.
Baru ke Sumatera ini, pengalaman pertama dirinya berpetualang solo dari Singapura dengan jarak tempuh 1.600 kilometer.
(*/Tribun-medan.com/CNA)
SOSOK Bob Henry Panggabean Naik Pangkat Jenderal Bintang Dua, Hingga Peran Istri Imelda Hutabarat |
![]() |
---|
SOSOK Reda Manthovani, Guru Besar Hukum dan Jamintel, 'Mata dan Telinga' Jaksa Agung ST Burhanuddin |
![]() |
---|
Kapolda Sumut Irjen Pol Martuani Kenang Masa Kecilnya, Ingusan dan Berlari-lari Mengejar Heli |
![]() |
---|
Inilah 2 Sosok Wanita Pertama Papua dalam Sejarah yang Baru Direkrut Jadi Pilot Garuda Indonesia |
![]() |
---|
Mahasiswi Semester 4 Ini Miliki Bisnis Getuk Singkong Bernama 'Oh My Gethuk (OMG)' Beromzet Miliaran |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.