Sumut Terkni

Rumah Sakit di Sumut Diduga Nakal, KPK Temukan Klaim BPJS Fiktif 35 Miliar, Ini Tanggapan ARSSI

Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus dugaan kecurangan terkait klaim fiktif (phantom billing) melibatkan tiga rumah sakit RS,

|
Kolase Tribunnews.com
KPK temukan indikasi tagihan fiktif ke BPJS Kesehatan. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Sumatera Utara menanggapi temuan dugaan kecurangan (freud), klaim atau tagihan fiktif modus manipulation diagnosis dari rumah sakit ke BPJS Kesehatan.

Ada dugaan penyelewengan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang dikelola BPJS Kesehatan tersebut.

Kecurangan melibatkan oknum 'rumah sakit nakal' dalam pelayanan kesehatan.

Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus dugaan kecurangan terkait klaim fiktif (phantom billing) melibatkan tiga rumah sakit (RS).

Termasuk di antaranya RS di Sumatera Utara (Sumut).

Namun, ARSSI Sumut berhadap dugaan freud tidak direspons berlebihan dengan lebih mengedepankan prinsip praduga tak bersalah.

Hal tersebut disampaikan Ketua Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (ARSSI) Cabang Sumatera Utara, Dr. dr. Beni Satria.

Dikatakannya, penyelesaian dugaan fraud seharusnya dilakukan terlebih dahulu secara internal dengan melibatkan Tim Pertimbangan Klinis Provinsi, sesuai dengan Permenkes No. 17 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pertimbangan Klinis.

 Beni Satria menegaskan, tuduhan kecurangan terhadap rumah sakit harus ditangani dengan prinsip keadilan dan transparansi.

"Proses investigasi dugaan fraud harus melibatkan pihak internal rumah sakit dan Tim Pertimbangan Klinis Provinsi. Ini penting untuk memastikan proses yang fair bagi semua pihak," ujar Beni kepada media, Kamis (25/7/2024).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan mengatur bagaimana pencegahan, penanganan, serta pengenaan sanksi administrasi terhadap pelaku kecurangan dalam pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.

Peraturan ini bertujuan agar pelaksanaan program Jaminan Kesehatan berjalan efektif dan efisien serta mencegah kerugian dana jaminan sosial nasional.

"Fraud pada JKN tidak hanya dilakukan oleh rumah sakit, tetapi juga bisa melibatkan peserta, puskesmas, klinik, penyedia obat dan alat kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, bahkan BPJS Kesehatan itu sendiri," ungkapnya.

Peraturan ini memberikan panduan bagi peserta, BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan, penyedia obat dan alat kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanganan kecurangan secara sistematis dan komprehensif.

Pasal 3 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2019 menugaskan pembentukan Tim Pencegahan Fraud yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kab/Kota, BPJS Kesehatan, dan FKRTL.

"Jika benar terjadi kecurangan di rumah sakit, perlu dipertanyakan fungsi dan kinerja Tim Pencegahan Fraud di rumah sakit yang merupakan tanggung jawab bersama Dinas Kesehatan Kab/Kota, rumah sakit, dan BPJS Kesehatan," tambah Beni.

Beni mengatakan bahwa tuduhan kecurangan yang disampaikan secara terbuka tanpa proses investigasi yang memadai dapat berdampak serius pada reputasi rumah sakit.

"Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, kami menyerukan agar BPJS Kesehatan mengedepankan prinsip praduga tak bersalah dan melibatkan pihak terkait dalam menyelesaikan dugaan fraud di rumah sakit," tegasnya.

Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan merupakan interaksi antara peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan yang memerlukan penguatan bertahap. Dalam prosesnya, bisa terjadi permasalahan yang menyebabkan sengketa.

“Oleh karena itu, diperlukan sistem dan mekanisme untuk memberikan pertimbangan dalam penyelesaian sengketa, pendapat medis, serta konsultasi untuk pertimbangan klinis agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta efektif dan sesuai kebutuhan,” terangnya.

Dasar pembentukan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) dan Tim Pertimbangan Klinis (TPK) sesuai Pasal 91 ayat (4) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah untuk menyelesaikan sengketa yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah.

Selanjutnya, berdasarkan pasal 91 ayat (6), Menteri mengatur pembentukan tugas, fungsi, dan kewenangan DPK serta tata cara penyelesaian sengketa klinis dalam Program Jaminan Kesehatan.

Penyelesaian sengketa klinis dalam Program JKN dilakukan secara berjenjang dari tingkat provinsi hingga pusat.

“Jika TPK provinsi tidak mampu menyelesaikan kasus yang disengketakan, maka wajib meneruskan kepada DPK untuk menyelesaikan sengketa tersebut,” pungkasnya.

 Temuan KPK Freud 35 Capai 35 Miliar

Seperti diberitakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kecurangan sejumlah rumah sakit dalam mengeruk uang dari Program JKN.

Kasus dugaan kecurangan atau fraud terkait klaim fiktif (phantom billing) melibatkan tiga rumah sakit RS, termasuk di antaranya RS di Sumatera Utara (Sumut).

Nilai total kerugian negara cukup fantastis dari kecurangan ini, fraud-nya mencapai sekitar Rp35 miliar.

KPK yang tergabung dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (PK-JKN) mengungkap temuan kecurangan (fraud) senilai Rp35 miliar dari klaim JKN pada tiga rumah sakit yang menjadi piloting di tiga provinsi di Indonesia.

Deputi Pencegahan KPK Daftar Capim KPK Pahala Nainggolan
Deputi Pencegahan KPK  Pahala Nainggolan (tribunnews)


“Ada dua layanan yang kita lihat sampai detail yaitu fisioterapi dan katarak. Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim fisioterapi sebanyak 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.072 kasus di buku catatan medis. Jadi 3.269 kasus diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya tidak ada di catatan medis.

Nilainya mencapai Rp501,27 juta,” ungkap Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Kamis (25/7/2024).


Selain itu, dalam layanan katarak, Tim PK-JKN juga menemukan adanya fraud dengan modus manipulation diagsosis yakni rumah sakit mencatatkan operasi katarak fiktif.


Pahala memberikan contoh, dari sampel 39 pasien katarak, hanya 14 pasien yang membutuhkan operasi.


Namun, rumah sakit mengklaim seluruh pasien tersebut pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.


Lebih parah lagi, beberapa rumah sakit membuat dokumen fiktif meskipun pasien dan catatan medisnya tidak ada.


Dalam temuan ini, tim menyoroti setidaknya dua modus fraud di lingkup fasilitas kesehatan, yaitu phantom billing dan manipulation diagnose.


“Fraud-nya macam-macam, tapi kita ambil cuma dua, phantom billing dan manipulation diagnose. Bedanya, phantom billing, orangnya tidak ada, terapinya tidak ada, catatannya ada. Manipulation diagnose, orangnya ada, terapinya ada, klaimnya kegedean,” jelasnya.


Lebih lanjut, saat ini Tim PK-JKN tengah fokus melakukan penanganan fraud pada modus yang paling riskan yakni phantom billing.


Hasil audit dengan pihak BPJS Kesehatan menunjukkan setidaknya ada tiga rumah sakit yang diketahui terlibat phantom billing yakni salah satu RS di Jawa Tengah dengan dugaan fraud sebesar Rp29,4 miliar dari 22.550 kasus; RS di Sumatra Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp4,2 miliar dari 1620 kasus; serta RS di Sumatra Utara dengan dugaan fraud sebesar Rp1,5 miliar dari 841 kasus.

Jika dihitung, nilai fraud-nya mencapai sekitar Rp35 miliar.


Tim PK-JKN juga sudah berkoordinasi dengan pimpinan KPK terkait tindak lanjut dari temuan tersebut.


Hasilnya, pimpinan KPK memutuskan agar kasus fraud ketiga rumah sakit yang terlibat phantom billing itu dibawa ke ranah penindakan karena indikasi tindak pidana korupsinya sudah cukup.


“Selanjutnya kalau kita sudah tahu tiga rumah sakit ini melakukan fraud, seharusnya pasti ada yang lain lagi. Makanya, tim sepakat dalam waktu 6 bulan ke depan untuk semua rumah sakit yang klaim, kalau ada yang melakukan phantom billing atau manipulation diagnose yang tidak tepat, itu ngaku saja, silahkan koreksi klaimnya. Setelah 6 bulan, nanti Tim PK-JKN melakukan secara masif audit klaim, audit dari BPJS Kesehatan dan BPKP Indonesia. Tim ini ada sampai level provinsi soalnya,” kata Pahala.


Sebagai informasi, Tim PK-JKN terbentuk sejak tahun 2017 melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, pimpinan KPK, dan dirut BPJS Kesehatan untuk memastikan dana JKN dapat digunakan secara tepat dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia.


Hal ini juga diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).


Terdiri dari berbagai pihak strategis, mulai KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta BPJS Kesehatan, keberadaan Tim PK-JKN juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.


Tugasnya sendiri meliputi, menyosialisasikan regulasi dan budaya kendali mutu dan kendali biaya; meningkatkan budaya pencegahan kecurangan (fraud); mendorong tata kelola organisasi dan/atau tata kelola klinis yang baik; melakukan deteksi dan penyelesaian kecurangan (fraud); melakukan monitoring dan evaluasi; serta melakukan pelaporan.

Pelaku Freud


Inspektur Jenderal Kemenkes, Murti Utami, sebagai ketua Tim PK-JKN di kesempatan yang sama menuturkan selain phantom billing dan manipulation diagnosis, pihaknya menemukan modus fraud lain seperti self-referrals, upcoding, repeat billing, fragmentation, suap/gratifikasi, hingga iur biaya.

Pelakunya sendiri meliputi peserta, BPJS Kesehatan, fasyankes, penyedia obat dan alkes, serta pemangku kepentingan lainnya.


“Dalam fraud JKN ini, tidak hanya faskes tapi individunya juga akan dikenakan sanksi. Jadi kami sedang melakukan pengolahan jenis-jenis sanksi terhadap pelaku-pelaku dari fraud JKN ini. Di Kemenkes kami sudah memiliki sistem informasi SDM kesehatan, jadi siapa kerja di mana kemudian SIP-nya juga ada. Kami juga ada rekam jejaknya,” ucap Murti.


Murti menambahkan, saat ini Tim PK-JKN sudah membuat rencana tindak lanjut dalam pencegahan dan penanganan fraud JKN seperti pemutusan kerjasama RS-BPJS hingga ada upaya pengembalian kerugian negara ke BPJS Kesehatan (jangka waktu 6 bulan); individu/pelaku terinput di rekam jejak SISDMK dan pemberian sanksi mulai penundaan pengumpulan SKP selama 6 bulan sampai pencabutan izin praktek.


Lalu, Tim PK-JKN Provinsi akan diperkuat dalam proses verifikasi fraud; serta memberikan kesempatan jangka waktu selama 6 bulan kepada faskes yang diduga melakukan phantom billing dan manipulasi diagnosa untuk melakukan koreksi dan pengembalian kerugian negara ke BPJS Kesehatan.


Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan, Lily Kresnowati, menjelaskan dalam proses klaim JKN, pihaknya melakukan 5 tahapan verifikasi dengan melibatkan stakeholder.


Pertama, pengajuan klaim dilakukan di level rumah sakit dengan elegibilitas melalui biometric validation dan diajukan ke Sistem Informasi (pcare, eclaim-vclaim) dengan surat tanggung jawab mutlak yang diklaim oleh faskes lengkap dengan surat pemeriksaan klaim oleh Tim PK-JKN faskes.


“Kedua adalah pemeriksaan administratif terhadap kelengkapan dokumen syarat dalam pembayaran klaim, ketiga pengujian secara uji petik terhadap validitas dan akurasi klaim yang sudah dibayarkan, keempat dan kelima yakni audit,” tutur Lily.


Audit ini meliputi administrasi klaim dan audit oleh Satuan Pengawasan Internal, eksternal, serta audit medis oleh Tim Kendali Mutu Kendali Biaya.


Hal ini juga dikuatkan oleh Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar-Lembaga BPJS Kesehatan, Mundiharno.


Menurutnya, fraud ini harus diawasi dan ditangani karena pelakunya bisa dari berbagai pihak, bukan hanya lingkup rumah sakit saja.


Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Agustina Arumsari, menyebut pihaknya memberikan dukungan penuh pada Tim PK-JKN dalam hal pencegahan dan penanganan fraud dana JKN yang menjadi temuan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


“Kami dalam tim sudah melakukan penelaah juga atas tiga kejadian di tiga rumah sakit, kami sependapat bahwa ada phantom billing. Sehingga kami mendukung upaya menjaga dana jaminan masyarakat ini,” kata Agustina.


Lebih lanjut, KPK mengimbau agar masyarakat juga bisa aktif berpartisipasi dalam pengawasan dan pelaporan kasus fraud JKN ini.


Pelaporan bisa dilakukan melalui laman Jaga.id dengan menyampaikan kasus kecurangan yang terjadi pada layanan kesehatan.


“Tidak usah yang besar-besar. Laporan kecil juga kita terima, misalnya pasien diminta bayar kasa dan obat lain karena di rumah sakit katanya habis, padahal RS-nya melakukan klaim untuk keseluruhan, kan rugi,” kata Pahala.


Laporan melalui Jaga.id terhubung langsung dengan BPJS Kesehatan.

Dalam kurun waktu 7 hari, laporan akan diproses dan ditindaklanjuti.

Baca juga: Lolos ke Semifinal Tumbangkan Persib, Persis Solo akan Hadapi Juara Grub B Persija atau Arema FC

(cr26/tribun-medan.com/Tribunnews.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan  

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved