Berita Viral

SOSOK Tomy Winata alias TW Bos Artha Graha Network dan SCBD

Sosok Tomy Winata (TW) bos Artha Graha Network dan Sudirman Central Busines District (SCBD).

|
Editor: AbdiTumanggor
tribunnews/herudin
Tomy Winata (TW). 

TRIBUN-MEDAN.COM - Sosok Tomy Winata (TW) bos Artha Graha Network dan Sudirman Central Busines District (SCBD).

Melansir Tribunnewswiki.com, Tomy Winata bernama Tionghoa Oe Suat Hong.

Sejak kecil, Tomy Winata adalah seorang anak yatim piatu.

Berbagai sumber menyebut, ia dikenal sebagai seorang anak yang lahir di tengah keluarga serba kekurangan secara materi.

Dalam mencapai kesuksesannya, Tomy Winata mengalami banyak rintangan dan cobaan hingga akhirnya ia bisa masuk ke jajaran nama besar pebisnis Indonesia yang dikenal dengan sebutan 9 naga.

Salah satu miliknya ialah Sudirman Central Business District (SCBD) atau Kawasan Niaga Terpadu Sudirman adalah sebuah kawasan bisnis yang terletak di Jakarta Selatan, Indonesia, yang terdiri dari kondominium, gedung perkantoran, hotel, serta pusat perbelanjaan dan hiburan.

Tomy Winata yang biasa dipanggil TW ini lahir di Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Juli 1958.

Hingga saat ini, ia diketahui memiliki lima orang anak, dua di antaranya adalah Panji Winata dan Andi Winata.

Pada 1972, ketika usianya baru 15 tahun, Tomy Winata dikenalkan dengan seorang pejabat militer di Singkawang.

Setelah perkenalan itu, Tomy Winata kemudian mendapat proyek untuk membangun kantor Koramil di Singkawang.

Selain itu, dikutip dari Bangkapos.com, Tomy Winata juga menjadi penyalur barang ke tangsi-tangsi tentara di Indonesia.

Tomy Winata pernah mendapat proyek dari militer di Papua, Makassar, dan Ambon.

Di Papua, Tomy Winata berkenalan dengan Yorrys Raweyai.

Mengutip Tribunnews.com, Tomy Winata juga dikenal sebagai pengusaha yang dekat dengan kalangan militer, dua diantaranya adalah Letjen TNI (Purn) Tiopan Bernard Silalahi dan Jenderal Edy Sudrajat.

Tomy Winata juga akrab dengan beberapa jenderal lain.

Pada 1988, Tomy Winata bersama Yayasan Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat) menyelamatkan sebuah Bank Propelat.

Bank yang semula dimiliki Yayasan Siliwangi ini hanya memiliki aset sebesar Rp 8 miliar.

Namun setelah diambil alih dan diubah namanya menjadi Bank Artha Graha, hanya dalam kurun waktu 1,5 tahun bank itu sehat kembali.

Saat masa krisis 1998, Tomy Winata juga menyelamatkan Arta Pusara yang kemudian diganti namanya menjadi Artha Pratama.

Pada 1989, Tomy Winata kemudian mendirikan PT Danayasa Arthatama.

Tomy kemudian ikut serta dalam proyek raksasa senilai US$ 3,25 miliar di kawasan bisnis Sudirman Central Business Distric (SCBD) yang memiliki luas 45 hektar di jantung DKI Jakarta.

Tomy Winata juga telah mengambil alih Bank Inter-Pacific pada 2003.

Pada 2005, Bank Inter-Pacific melalui Pasar Modal kemudian mengambil alih kepemilikan Bank Artha Graha melalui Pasar Modal.

Namanya kemudian menjadi Bank Artha Graha Internasional.

Tidak hanya itu, Tomy Winata juga memiliki saham di Hotel Borobudur melalui PT Jakarta Internasional Hotels and Development.

Kontroversi TW

Selain terkenal dengan gurita usahanya, TW juga aktif dalam kegiatan amal melalui anak perusahaan yang dimilikinya, Artha Graha Peduli Foundation.

Tomy juga mendirikan lembaga konservasi alam, Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) di Sumatera.

Selain itu, Tomy juga pernah tersangkut beberapa masalah hukum.

Dikutip dari artikel Tagar.id 19 Juli 2019, berikut ini sejumlah kasus yang pernah melibatkan nama pria asal Pontianak tersebut.

1. Pengacaranya Libas Dua Hakim dengan Ikat Pinggang

Dua orang majelis hakim berinisial HS dan DB mengalami luka memar lantaran dipukul dengan tali pinggang oleh Kuasa Hukum Tomy Winata yang bernama Desrizal Chaniago di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2019).

Peristiwa itu terjadi pada pukul 16.00 WIB saat sidang gugat perdata. Kepala Humas PN Jakarta Pusat Makmur mengatakan peristiwa itu bermula saat majelis hakim membacakan putusan sidang di Ruang Subekti PN Jakpus.

Saat pertimbangan hakim mengarah penolakan gugatan, Desrizal geram dan berdiri dari kursinya menuju kursi majelis hakim.

Pelaku melepaskan tali pinggangnya lalu menyerang kedua hakim. Keduanya mengalami luka memar. 

Atas kejadian ini, Tommy Winata mengakui bahwa Desrizal adalah pengacaranya.

Tomy Winata pun menyesali peristiwa kekerasan yang terjadi di ruang pengadilan.

Juru bicara Tomy Winata kala itu, Hanna Lilies, mengatakan, Tomy terkejut dan menyesalkan kejadian tersebut.

Menurut dia, selama ini Desrizal dikenal bukan orang yang temperamental.

Ia pun tidak mengetahui insiden yang terjadi saat itu. 

"Oleh karena itu, Tomy minta maaf kepada semua pihak, khususnya pihak yang menjadi korban atas terjadinya hal tersebut. Kami pun heran apa yang menyebabkan dia gelap mata," ucap Hanna.

2. Dituduh Jalankan Bisnis Judi

Pada medio tahun 2000, TW disebut-sebut pernah menjalankan bisnis perjudian di sebuah pulau kawasan Kepulauan Seribu. Bahkan, isu tersebut kemudian membuat presiden saat itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyerukan agar menangkap Tomy.

Tidak jelas siapa yang pertama kali mengembuskan isu tersebut hingga sampai kepada istana pada saat itu.

Pemprov DKI dan aparat melakukan inspeksi mendadak mendatangi pulau yang diisukan menjadi tempat Tomy menjalankan bisnis judi tersebut. Namun setelah dicek hasilnya nihil.

3. Dituding Dalangi Sejumlah Peristiwa Kekerasan

Tomy banyak disebut-sebut terlibat mendalangi beberapa kasus kekerasan terhadap beberapa lembaga dan kantor.

Tomy dikatakan terlibat mendalangi kasus penyerangan terhadap kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996. Tudingan ini dialamatkan kepada Tomy karena malam sebelum pecah bentrokan, diketahui kumpulan massa penentang Megawati berkumpul di kawasan yang dibangun Tomy, Sudirman Central Business District (SCBD). Namun tudingan tersebut tidak pernah terbukti.

Kemudian, Kantor majalah Forum Keadilan didatangi sekitar 20 preman yang tidak senang dengan pemberitaan yang dimuat dalam majalah tersebut. Majalah Forum Keadilan menuding TW melakukan bisnis ekstasi dan perjudian. Artikel tersebut memuat keterangan Hans Philip, tersangka bandar ekstasi yang sedang diburu polisi. Hans menuding Tomy terlibat dalam mengelola pabrik ekstasi di Tangerang, Banten, bersama Ang Kiem Soei.

Pada tahun 2002, Tomy kembali disebut-sebut mendalangi aksi kekerasan. Saat itu sekumpulan preman simpatisan Tomy menyerbu kantor Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) di Jakarta. 

Tudingan tersebut muncul karena beberapa waktu sebelumnya Humanika menyebarkan poster anti narkoba dan perjudian dengan wajah TW. Selebaran tersebut didasarkan atas artikel dalam majalah Forum Keadilan yang sebelumnya disatroni sekelompok orang.

Kantor di kawasan Tandean Jakarta Selatan diserang sekitar 30 preman bersenjata golok dan pedang samurai, dini hari menjelang subuh. Orang-orang yang menyerbu kantor tersebut memporak-porandakan isi kantor dan membawa seluruh sisa poster yang belum dibagikan kepada masyarakat. Tudingan ini kemudian tidak ada tindak lanjutnya.

TW kembali dituding menyuruh orang untuk sengaja membakar pasar Tanah Abang. Keterlibatan Tomy dalam kebakaran yang terjadi pada Februari 2003 tersebut dimuat dalam Majalah Tempo yang terbit pada 9 Maret 2003.

Akibatnya, sejumlah preman mendemo kantor Tempo. Unjuk rasa tersebut berbuntut pada tindak kekerasan terhadap tiga wartawan Tempo dan pemimpin redaksinya serta perusakan gedung media Tempo. Kasus tersebut kemudian diusut kepolisian. Para pelaku kemudian ditahan pihak kepolisian.

Tomy tidak pernah bereaksi keras atas semua tudingan yang dialamatkan kepadanya. Namun Tomy mengaku ia tidak bisa melarang simpatisannya yang marah dan tersinggung jika ada pemberitaan miring mengenai dirinya.

Selain kasus kekerasan yang melibatkan preman, pada tahun 2002, Tomy dituduh pernah menyuruh orang-orangnya di Artha Graha untuk menyekap dua orang pegawai perusahaan rekanannya yang terlibat masalah perdata dengan Artha Graha.

Dua pegawai warga negara India tersebut kemudian diantar ke Mabes Polri.

Tidak lama kemudian, dua WN India tersebut dipulangkan ke negaranya setelah dijemput pihak kemenlu India.

Dikutip dari Gatra, pihak Artha Graha menampik kabar penyekapan tersebut.

4. Kasus Perdata

Pada tahun 1997, Tomy pernah terlibat masalah perdata dengan rekan bisnisnya, Hartono saat mereka memiliki proyek membangun tempat hiburan di Nusa Dua Bali.

Kesepakatan bisnis tersebut dimulai ketika Hartono meminjam uang sebesar 8,5 miliar dolar Amerika dari Bank Artha Graha untuk membangun gedung hotel dan hiburan bernama Planet Bali. 

Namun tidak lama, tempat itu ditutup karena difungsikan untuk tempat mesum.

Perseteruan tersebut kemudian membuat Hartono menjual sejumlah aset untuk menutupi utangnya yang membengkak dari hasil kesepakatan investasi tersebut.

Terakhir, pengadilan kemudian menjadi ramai akibat insiden kuasa hukum Tomy Winata memukul hakim di PN Jakarta Pusat yang sedang membacakan putusan persidangan tentang kasus perdata. 

Seperti dilansir dari dari situs PN Jakarta Pusat, Tomy menggugat beberapa pihak, yaitu PT Geria Wijaya Prestige, Harijanto Karjadi, Hermanto Karjadi, Hartono Karjadi, PT Sakautama Dewata dan Fireworks Ventures Limited. Dalam persidangan tersebut, majelis hukum menolak seluruh permohonan Tomy.

5. Diperiksa KPK 

Tommy Winata dan rekannya, David Tjioe, Direktur Utama PT Maritim Timur Jaya, Rabu (29/11/2006), diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.

Tommy Winata ditanya tentang dugaan adanya aliran dana dari koceknya ke Departemen Kelautan dan Perikanan.

Selain memeriksa Tommy Winata dan David Tjioe, KPK juga memeriksa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri kembali.

Usai pemeriksaan Rohkmin membantah kalau pemeriksaan Tommy tekait dengan pemeriksaan dirinya. Tak ada kaitannya, katanya.

Sementara kuasa hukum Rokhmin, Herman Kadir, mengatakan, kebijakan pengumpulan dana nonbudgeter sudah ada sejak menteri sebelumnya. Bahkan, yang sekarang pun masih menjalankan, kata Herman,

Tommy diperiksa sebagai saksi dari rangkaian tuduhan lain yang disangkakan kepada Rokhmin.

Tommy yang datang ke KPK pukul 12.00 baru selesai diperiksa pukul 17.00. Sementara itu, David Tjioe yang juga diperiksa sebagai saksi sudah selesai menjalani pemeriksaan terlebih dahulu.

Tommy mengaku dimintai keterangan soal apakah proyek-proyeknya di Tual, Maluku Tenggara, atau proyek yang ia biayai terkait dengan Rokhmin Dahuri.

Tommy membenarkan bahwa dirinya juga ditanyai soal aliran dana ke DKP.

"Tidak ada. Dari kami tidak ada (aliran dana). Kami juga ditanya sangkut paut dengan Pak Rokhmin," ujarnya.

David Tjioe kepada wartawan menjelaskan dirinya diperiksa atas dugaan adanya aliran dana ke yayasan di DKP.

Di BAP, tulisannya perkara pemotongan hak gaji karyawan DKP.

"Saya ditanya, apakah pernah memberikan atau menyerahkan sesuatu ke DKP. Katanya, ada aliran dana ke yayasan yang ada di DKP. Dalam catatan keuangan yayasan itu katanya ada aliran dana pada tahun 2003,"ujarnya.

David mengaku, diperiksa sebagai Direktur Utama PT Maritim Timur Jaya yang bergerak bidang industri perikanan di Tual, Maluku Tenggara. Perusahaan itu sebelumnya bernama PT Ting Sin Bandasejahtera yang didirikan tahun 1996. PT Ting Sin adalah perusahaan patungan dengan Taiwan yang sebelumnya dipimpin Kemal, Ferry Yen, dan Hendi Ong. Setelah nama perusahaan diganti baru, David menjadi direktur utama, Juni 2006.

Sementara Tommy mengatakan, selama Rokhmin menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, perusahaan miliknya dalam kondisi tidur hingga keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan soal penangkapan ikan. Saat ditanya apakah perusahaannya mendapat izin pada masa itu, Tommy menjawab, Tidak ada izin. Izin bangunan saja, izin operasional sekarang masih dalam proses. Selama Pak Rokhmin jadi menteri, proyek di Tual mati suri, Kompas, 30 November 2006.

(*/Tribun-Medan.com/ Bangkapos.com/Tribunnews.com/Tribunnewswiki.com)

Sumber: Bangka Pos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved