Breaking News

TRIBUN WIKI

Thariq dan Aaliyah Menikah di Bulan Suro, Bagaimana Islam Memandang Hal Ini? Simak Penjelasannya

Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid menikah di bulan Suro. Bagaimana pandangan Islam menikah di bulan Suro ini. Simak penjelasannya

Editor: Array A Argus
Tribunnews.com
Pasangan selebriti Thariq dan Aaliyah menikah di bulan Suro 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Pasangan selebriti Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid baru saja meresmikan pernikahannya pada 26 Juli 2024 kemarin.

Acaranya pun berlangsung cukup meriah, hingga dihadiri kalangan artis Indonesia.

Namun, di tengah kemeriahan pernikahan itu, warganet justru menyoroti soal tanggal pernikahan Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid tersebut.

Pasalnya, pasangan yang sebentar lagi akan bulan madu itu menikah di bulan Suro.

Seperti diketahui, 26 Juli 2024 bertepatan dengan tanggal 20 Muharram 1446 Hijriah, atau tanggal 20 Suro pada penanggalan Jawa.

Baca juga: 11 Weton Tulang Wangi, dan 4 Weton yang Dilarang Keluar Rumah saat Malam Satu Suro

Sorotan warganet soal penanggalan tersebut lantaran Aaliyah sendiri garis keturunan keraton Jawa.

Lantas, bagaimana sih pandangan Islam soal pernikahan di bulan Suro?

Dikutip dari Kompas.com, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas mengatakan, anjuran untuk tidak menggelar pernikahan selama Muharram tidak memiliki dasar yang kuat.

"Ada orang yang mengatakan bahwa di bulan ini sebaiknya kita jangan mengadakan resepsi pernikahan. Pandangan seperti demikian tidak memiliki dasar yang kuat, baik dari ayat Al Quran maupun dari hadis," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/7/2024).

Anwar menjelaskan, Muharram adalah bulan yang sarat peristiwa penting, seperti lolosnya Nabi Nuh AS dari bahaya banjir, serta selamatnya Nabi Musa AS dari kejaran Firaun.

Bulan pertama dalam penanggalan Islam ini juga menjadi awal peristiwa hijrah atau perpindahan Nabi Muhammad SAW dan sebagian muslim dari Mekkah ke Madinah.

Baca juga: Apa Sih Weton Tulang Wangi? Kenapa Dihubungkan dengan Satu Suro

Perjalanan bersejarah pada 622 Masehi tersebut salah satunya bertujuan untuk menyelamatkan diri dari tekanan kaum kafir Quraisy.

Oleh karena itu, Anwar berujar, umat Islam tetap diperbolehkan untuk melangsungkan acara pernikahan selama bulan Muharram.

"Tidak masalah (menikah di bulan Muharam)," kata dia.

Bukan larangan menikah, menurut Anwar, umat Islam justru dianjurkan untuk meningkatkan amal kebaikan, seperti berpuasa.

Anjuran tersebut termaktub dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang memiliki arti sebagai berikut:

"Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharam, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam." (HR Muslim).

Ibadah puasa sunah pada bulan pertama Hijriah ini kerap disebut sebagai puasa Asyura atau hari ke-10 Muharam.

"Puasa sunah di bulan Muharam ini dikenal dengan nama puasa Asyura yang dilakukan pada tanggal 10 Muharam," imbuh Anwar.

Baca juga: Gelar Acara Bulan Suro, Warga Kecamatan Binjai Doakan Syah Afandin Terus Pimpin Langkat

Larangan nikah di bulan Suro menurut masyarakat Jawa

Berbeda, menurut kepercayaan orang Jawa, sebaiknya tidak melangsungkan acara pernikahan sepanjang bulan Suro.

Dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Depok, Sunu Wasono menjelaskan, bagi masyarakat Jawa, anjuran tersebut berkaitan dengan perhitungan baik atau buruknya bulan ini.

"Ada kepercayaan tentang waktu yang baik dan kurang baik untuk melakukan kegiatan tertentu. Hal itu diatur dalam primbon," kata Sunu, saat dihubungi Kompas.com secara terpisah, Jumat.

Waktu yang dinilai kurang baik untuk mengadakan pesta hajatan tersebut, salah satunya sepanjang bulan Suro yang dianggap sebagai bulan penuh keprihatinan.

Sunu melanjutkan, pernikahan yang digelar selama bulan ini dipercaya dapat tertimpa sejumlah gangguan, seperti rumah tangga tidak langgeng.

Hal itu serupa dengan petuah untuk tidak menikahkan dua anak dalam kurun waktu satu tahun.

"Dalam setahun menikahkan dua anak juga kurang baik, bisa salah satu tidak langgeng hubungannya," paparnya.

Suro bulan yang diagungkan keraton

Terpisah, dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tundjung Wahadi Sutirto mengungkapkan, keyakinan tidak menggelar pesta pernikahan selama Suro masih dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Jawa.

Tidak heran, jika ada penyimpangan di bulan Suro, seperti mengadakan pesta pernikahan, akan dianggap sebagai wong ora njowo.

"Walaupun dalam satu dua kasus ada juga yang menggelar pernikahan di bulan Suro, tetapi hanya pesta resepsinya saja. Karena akad nikahnya biasanya dilaksanakan sebelum bulan Suro," terang Tundjung, saat dihubungi Kompas.com, Jumat.

Pemerhati budaya ini menjelaskan, Suro dianggap bulan untuk berkontemplasi atau merenungkan diri agar mendapat hidayah dari Tuhan.

Petunjuk atau bimbingan dari Tuhan tersebut diperlukan dalam menjalani hari-hari selama satu tahun agar senantiasa mendapat keselamatan.

Namun, bagi kalangan keraton, pernikahan yang sakral justru banyak digelar pada bulan Suro atau Muharam.

"Masyarakat menganggap tidak pantas menggelar pernikahan dengan waktu yang diagungkan oleh kalangan keraton, yaitu di bulan Suro," tandasnya.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved