Politik

Mundurnya Airlangga Sebagai Ketum Golkar Diduga Karena Tekanan: ini Mengejutkan Alam Semesta

Dewan Pakar Golkar Ridwan Hisjam telah meminta Airlangga untuk mundur dan mengusulkan segera menggelar Munaslub. 

Editor: Satia
HO
Airlangga Hartarto secara resmi menyatakan mundur dari jabatan Ketua Umum Golkar. Pengunduran diri Airlangga terhitung sejak Sabtu (10/8/2024) malam. 

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketua Umum Golkar mengundang tanda tanya khalayak banyak, terkhusus kader dan simpatisan.

Pasalnya, Airlangga mengundurkan diri secara sepontan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu.

Diketahui, Airlangga mundur sebagai Ketum Partai Golkar pada Sabtu (10/8/2024).

Melalui rekaman video, Airlangga mengatakan keputusannya untuk mundur diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan, salah satunya menjaga keutuhan partai berlambang pohon beringin itu.

Baca juga: DAFTAR NAMA 11 Jenderal Bintang 2 Lulusan Akpol 1994, Ada Irjen Suwondo Nainggolan dan Irjen Whisnu

Sebelum mundur, Airlangga telah digoyang sejak pertengahan tahun lalu. 

Dewan Pakar Golkar Ridwan Hisjam telah meminta Airlangga untuk mundur dan mengusulkan segera menggelar Munaslub. 

Alasannya, Airlangga dianggap gagal membawa mandat partai untuk diusung pada Pilpres 2024. 

Golkar memberi mandat kepada Airlangga untuk menjadi calon presiden dari partai berlambang pohon beringin itu.

Namun, Airlangga dianggap tidak bisa menyodorkan dirinya untuk berlaga di Pilpres 2024.

Ujang Komarudin menilai, mundurnya Airlangga dari jabatannya mungkin saja terjadi karena ada tekanan tertentu. 

Dengan tekanan tersebut, maka akan membuka peluang agar pihak tertentu masuk.

"Ya, boleh jadi kalau Airlangga mundur, karena ada tekanan. Bisa masuk Joko Widodo atau anaknya Gribran, karena arahnya memang ke sana," kata Ujang kepada awak media, Senin (12/8/2024).

Baca juga: Kasus Pembunuhan Ketua PAC IPK Batang Serangan Temui Titik Terang, Satu Orang DPO Diringkus

Ujang tidak menjelaskan tekanan seperti apa yang membuat Airlangga mundur. 

"Jadi saya melihatnya, bahwa tidak mungkin Airlangga mundur jika tidak ada tekanan," ucap Ujang.

"Bisa jadi tekanan itu dilakukan agar Airlangga mundur, sehingga memberikan ruang gerak Jokowi atau Gibran untuk menggantikannya sebagai ketua umum, walaupun harus menabrak aturan atau AD/ART partai," tutur Ujang.

Sementara itu, pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan bahwa keputusan Airlangga itu menambah deretan peristiwa di luar nalar atau tak logis yang terjadi di Golkar dalam sepekan terakhir.

"Hanya berbilang satu minggu, tiga peristiwa menggunjang Golkar. Dan merupakan peristiwa yang sulit dinalar," kata Ray.

Peristiwa di luar nalar yang pertama, ujar Ray, yakni perihal keputusan Golkar mengusung mantan kadernya yang kini berseragam Gerindra, Dedi Mulyadi untuk maju di Jawa Barat.

Padahal, Golkar memiliki kader berstatus petahana yang memiliki elektabilitas kuat di Jawa Barat yakni Ridwan Kamil.

Peristiwa di luar nalar kedua yakni Golkar justru menugaskan RK di Jakarta yang elektabilitasnya kalah jauh dari Anies Baswedan.

Kemudian yang terbaru yakni soal pengunduran diri dari Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar.

"Pernyataan mundur Airlangga ini jelas sangat mengejutkan alam semesta politik Indonesia. Bukan saja karena ia merupakan ketum salah satu parpol besar di Indonesia, tapi juga karena tidak ada alasan yang terdengar logis, jelas dan konstitusional untuk mundur. Oleh karena itu, pengunduran diri AH itu terdengar aneh, tiba-tiba dan tentu saja mengejutkan," ungkap Ray.

Ray menjelaskan, beberapa analisanya terkait mengapa pengunduran diri Airlangga ini dirasa sangat di luar nalar.

"Umumnya ketum mundur atau dimundurkan karena tiga hal. Pertama, melakukan tindakan yang melanggar hukum. Kedua, dinyatakan tidak sukses dalam program dan kinerja serta yang ketiga melakukan tindakan yang melanggar aturan partai," jelas Ray.

Menurut Ray, ketiga hal ini tidak ditemukan dalam pemunduran diri Airlangga.

"Alih-alih terjadi seperti di atas, yang ada malah sebaliknya. Airlangga sukses membawa Golkar meningkatkan perolehan suara pada pileg 2024 lalu. Saat yang sama, sukses pula memenangkan Presiden dan Wakil Presiden," ucap Ray.

Ray menyebut analisanya ini diperkuat oleh pernyataan Airlangga dalam pidato pemunduran dirinya.

"Pidato AH hampir seluruhnya pidato sukses. Pidato yang lebih patut diungkapkan sebagai alasan tidak mundur dari pada mundur. Dengan isi pidato seperti itu, sejatinya, kesimpulannya bukanlah mundur tapi tetap terus memimpin Golkar," tutur Ray.

Selanjutnya, Ray juga merasa tidak terdengar suara apapun, di level manapun dari kepengurusan maupun anggota Gollar yang menuntut Airlangga untuk mundur. 

"Maka, jika tidak ditemukan hal-hal yang bersifat logis dan konstitusional, tentu saja, harus dilihat dari aspek lain. Misalnya dari aspek usia, kesehatan atau ada persoalan hukum. Dan kesemuanya, hanya Airlangga yang tahu," paparnya.

Baca juga: 45 Nama dan Asal Sekolah Paskibra Terpilih Pemko Tanjungbalai di Perayaan HUT ke-79 RI

Dampak Terhadap Pilkada Bogor 2024

Mundurnya Airlangga sebagai Ketum Partai Golkar memunculkan berbagai spekulasi merebak di tengah masyarakat.

Salah satunya terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Pengamat Politik dari Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (LS Vinus), Yusfitriadi, mengatakan bahwa mundurnya Airlangga dilatarbelakangi oleh hal yang sangat dahsyat.

"Saya melihatnya isu yang sedang menjadi fokus semua partai politik saat ini adalah usungan calon dalam Pilkada 2024," kata Yusfitriadi di Cibinong, Senin (12/8/2024).

Yusfitriadi menjelaskan bahwa pendaftaran pasangan calon dalam Pilkada 2034 hanya tinggal menunggu hari, sehingga kemunduran Airlangga secara mendadak erat kaitannya dengan Pilkada.

"Pembicaraan replikasi KIM (Koalisi Indonesia Maju) pada Pilkada di hampir semua propinsi dan kabupaten/kota menjadi potensi monopopli kekuatan politik," ujar Yusfitriadi.

Yusfitriadi mengungkapkan, kemunduran Airlangga secara mendadak kemungkinanya dilatarbelakngi 2 faktor.

Pertama, Airlangga dipaksa mundur oleh oligarki kekuasaan.

Ada indikasi partai pemilik presiden terpilih Prabowo Subianto (Partai Gerindra-Red) dengan suporting Presiden Jokowi memaksakan untuk mengusung dan memenangkan kadernya di semua daerah.

"Walaupun kader yang diusung tidak memiliki elektabilitas yang cukup, namun tetap dipaksakan. Tentu saja Partai Gerindra tidak bisa sendiri, partner koalisi yang paling diperhituhgkan Gerindra adalah Partai Golkar," jelasnya.

Sementara, Partai Golkar juga memiliki kader-kader yang cukup kuat, matang dan rata-rata memiliki elektabilitas yang tinggi.

"Airlangga sebagai ketua umum Partai Golkar sangat rasional berpihak kepada kader partai. Dia merasa sudah mengorbankan banyak hal untuk Jokowi dan Prabowo, termasuk mengusung Gibran dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2034," tuturnya.

Kedua, Airlangga dipaksa mundur oleh tokoh dan elite Partai Golkar.

"Airlangga mungkin sangat tunduk dan patuh terhadap Jokowi dan Prabowo dalam mengusung siapa yang dikehendaki oleh olikargi kekuasaan, dan mengorbankan kader-kader partai sendiri," papar Yusfitriadi.

Jika kemungkinan ini yang terjadi, lanjut Yusfitriadi, Airlangga dipandang oleh tokoh-tokoh dan elit partai telah menjatuhkan wibawa Partai Golkar.

"Kebijakan Airlangga ini dianggap sebagai upaya memberangus kader sendiri dan berpotensi meruntuhkan masa depan Partai Golkar," terangnya.

Dalam konteks kemungkinan mundur karena dipaksa oleh oligarki kekuasaan, Yusfitriadi melihat ada banyak instrumen yang menjadi alat memaksa Airlangga mundur.

"Instrumennya bisa dengan jabatan negara, kasus-kasus hukum dan lain-lain. Hal inipun kemungkinan terjadi pada kekuatan partai yang lain, dalam rangka mengajak bergabung dengan koalisi partai oligarki," ungkapnya.

Lalu apa pengaruh mundurnya Airlangga terhadap terhadap Pilkada di Kabupaten dan Kota Bogor?

Menurut Yusfitriadi, dampak mundurnya Airlangga ini pasti sangat besar terhadap pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Bogor serta Walikota dan Wakil Wali Kota Bogor.

"Jika spekulasi pertama yang terjadi, tentu semua partai, termasuk Partai Golkar akan diminta oligarki untuk merapat kepada partai penguasa dan berpotensi monopoli kekuatan partai," ucapnya.

Kondisi ini akan berpotensi menciptakan adanya pasangan calon tunggal di Kabupaten Bogor dengan mengusung Waekjen Partai Gerindra, Rudi Susmanto.

"Siapapun pasangannya, Rudy Susmanto berpotensi akan melawan kotak kosong," kata Yusfitriadi.

Namun jika kemungkinan yang kedua yang terjadi, maka Partai Golkar dan partai lain akan berkoalisi dan melawan oligarki seperti yang terjadi di propinsi Banten.

"Dalam kondisi ini, tentu saja bakal calon bupati dari Partai Goljar Jaro Ade di Kabupaten Bogor dan Rusli Prihatevy di Kota Bogor akan menguat dan berpotensi menang," tandas Yusfitriadi.

 

Artikel ini Tayang di Wartakota

Baca Berita Tribun Medan Lainnya di Google News

Ikuti Berita Lainnya di Facebook, Instagram, Wa Channel dan Twitter

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved