Konser Sheila on 7 di Medan

Satu Kisah Klasik Lain untuk Masa Depan

Dari yang sedikit ini, lebih minim lagi yang bertahan sekaligus mampu menjaring penggemar-penggemar baru.

|
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
HO/Dok Antara Suara
Band Sheila on 7 beraksi dalam konser ‘Tunggu Aku di Medan’ yang berlangsung di Lanud Soewondo, Medan, Sabtu (14/9). Dalam konser ini Sheila on 7 melantunkan sejumlah lagu hits dari album-album mereka sepanjang 28 tahun berkarier di belantika musik Indonesia. 

TRIBUN-MEDAN.com- Tidak terlalu banyak band yang dapat bertahan lama. Katakanlah di atas 25 tahun.

Egoisme antar personel yang meruncingkan friksi, tekanan psikologis ketenaran, atau jerat narkotika, menjadi pemicu perpisahan.

Dari yang sedikit ini, lebih minim lagi yang bertahan sekaligus mampu menjaring penggemar-penggemar baru.

Penggemar dari generasi yang lebih muda. Kebanyakan bertahan dengan penggemar lamanya yang setia, dan makin ke sini bertransformasi jadi sebangsa band nostalgia.

Yang tidak begini, memang terbilang langka, dan Sheila on 7 jadi satu di antaranya.

Konser ‘Tunggu Aku’ di Medan, persisnya di Lapangan Udara (Lanud) Soewondo, Sabtu malam, 14 September 2024, disesaki kurang lebih 20 ribu penonton. 

Sebagian besar anak muda dari kelompok usia atawa Generasi Z, bahkan Alpha. Generasi yang belum lahir ketika Sheilagank, cikal-bakal Sheila on 7, dibentuk pada Mei 1996 di Yogyakarta.

Tiga dari lima anggota awal yang tersisa; Akhdiyat Duta Modjo, Eross Candra, dan Adam Muhammad Subarkah, kurang lebih sepantaran ayah dan ibu mereka.

Namun di Soewondo yang malam itu berubah gemerlap (walau kemudian disapu hujan menjelang akhir konser), para penonton belia ini menyanyi dengan kencang.

Mereka hapal betul tiap-tiap bait lagu Sheila On 7. Paham benar lekuk-belok tempo.

Hampir tidak ada yang meleset.

Mereka seperti benar-benar dekat, seperti teman yang akrab, sahabat sejati, sebagaimana para penonton Generasi Millenials (Y), dan Generasi Z, generasi kaset pita yang 25 tahun lalu menyerbu toko-toko kaset untuk mendapatkan album perdana Sheila on 7 yang memuat hits besar pertama mereka, ‘Kita’.

Menangkap gelagat ini, Sheila membuka konser dengan ‘Film Favorit’, nomor single produksi 2018 yang populer dan menjadi satu mata rantai yang menautkan mereka dengan generasi terkini.

‘Sama seperti di film favoritmu/semua cara akan kucoba/walau peran yang aku mainkan/bukan pemeran utamanya.’

Sheila sama sekali tidak berusaha untuk “lebih muda” di lagu ini. Liriknya masih senapas dengan ‘Seberapa Pantas’, lagu yang dilepas dalam album ketiga ‘07 Des’ pada tahun 2002.

‘Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu?/Cukup indahkah dirimu untuk selalu kunantikan?’
Memang, lagu ‘Seberapa Pantas’, sebagaimana ‘Film Favorit’, melejit lagi sebagai hits lantaran masuk ke ruang-ruang personal Generasi Z, dan Alpha, lewat media sosial, terutama platform video pendek TikTok.

Dari TikTok mereka [lazimnya] menyeberang ke platform-platform musik dan video macam YouTube, Spotify,  Apple Music, atau SoundCloud –dan lagu yang tadinya lawas dan tersimpan dalam kotak kenangan, melejit lagi seolah-olah baru terdengar pertama kali kemarin sore.

Namun kita juga tahu betapa ruang mewah ini tidak hanya terbuka bagi Sheila On 7.

Banyak band lain, penyanyi lain, yang juga memperoleh kesempatan, tapi tak semua berhasil. Boleh dikata justru lebih banyak yang gagal. Populer sebentar lantas redup lagi.

Sheila tidak. Barangkali juga seperti Dewa, mereka betul-betul hadir sebagai favorit baru bagi generasi anyar, mengidolakan dengan fanatik seperti dua dekade lalu ayah dan ibunya memasang poster-poster Sheila On 7 di dinding-dinding kamar mereka.

Pertanyaannya, kenapa bisa? Mendengarkan Sheila On 7 serupa tidur di atas kasur di bawah selimut, dalam ruangan yang sejuk oleh embusan AC.

Satu keadaan, satu situasi kondisi yang menghadirkan perasan aman dan –barangkali saja– tak dihakimi.

Nyaman. Adem.

Sheila menyajikan kisah-kisah yang sudah menjadi klasik perihal cinta dan kehilangan, yang disampaikan dengan jujur dan apa adanya.

Tidak ada misalnya air mata yang membuncah apalagi rengekan atau ratapan yang serba mendayu-dayu, meski menghadapi kenyataan bahwa cinta yang telah diupayakan dengan keras dan akbar ternyata tidak punya harga di hadapan mereka yang menjadi tempat perasaan hendak dilabuhkan.

Anak-anak sekarang menyukai ketegaran yang melankolis begini.

Mereka juga tidak neko-neko. 

Menderita bukanlah satu takdir untuk digugat dan dikutuk, tapi dihadapi dan dipandang sebagai jalan mengapresiasi bahagia.

Sheila On 7; Duta, Eros, Adam, juga Saktia Ari Seno atau Salman al-Jugjawy dan Anton Widiastanto, adalah pemuda-pemuda Yogya yang dalam kesederhanaan hidup di tengah arus pop culture dan di lain sisi tetap setia menjalankan hidup dengan filosofi Jawa, kawruh beja. Jalan kebahagiaan.

Hidup tidak akan berat jika melangkah dengan pikiran yang ringan dan bersangka baik.

Tidak iri, tidak dengki, tidak memelihara kebencian dalam hati. Sheila On 7 mengajarkan bahwa ‘maaf’ bukanlah kata yang berat untuk diucap. ‘Tak seharusnya kita terpisah. Tak semestinya kita bertengkar. Karna diriku masih butuh kau...’

Maka di Soewondo, di bawah angin malam yang mulai mendesau mengabarkan dingin, mereka sepenuh hati mengikuti Duta menyanyikan lagu-lagu semacam ‘Bila Kau Tak di Sampingku’, ‘Jadikan Aku Pacarmu’, ‘Sephia’, ‘Anugrah Terindah yang Pernah Ku Miliki’, dan ‘Lapang Dada’. 

Rasa sesak di dada, napas yang tersengal, bisa dijelaskan secara medis. Dokter bisa memberi resep untuk hati yang berdebar-debar.

Namun patah hati adalah psikologis, dan Sheila On 7, dengan berani mengatakan bahwa ‘kau harus bisa berlapang dada dan mengambil hikmahnya, karena semua tak lagi sama, walau kau tahu dia pun merasakannya’. Atau ‘Dan’, yang dengan perkasa memberi jalan keluar aduhai: betapa ketimbang berlama-lama bertahan dengan hubungan tak sehat, hubungan toxic, mending diakhiri saja. Relakanlah cinta yang memang tidak lagi bisa diselamatkan.

Seorang penonton, Eggy, datang jauh dari Aceh. Dia menempuh perjalanan selama delapan jam dengan harapan dapat mendengar Sheila On 7 memainkan ‘Hari Bersamanya’. Lagu yang memberi kesan mendalam baginya, menjadi semacam simpul check point di masa remaja yang penuh warna meski tidak semua berujung bahagia.

“Sejak SMA suka Sheila on 7, karena pas SMA pernah mau nembak kakak kelas pakai lagu itu,” katanya sembari tersenyum simpul.

Penonton lain, Al, juga terlempar ke masa penuh kenangan. Di masa SMA, tatkala bersama kawan-kawan menyanyikan Kita, lagu yang kala itu jadi hymne wajib. Jika kau rindukan gelak tawa yang warnai lembar jalan kita...

“Lucu juga jadinya, pas mendengarkan lagi lagu-lagu Sheila kayak nostalgia, karena memang lagunya menemani kita masa itu,” katanya.

Sheila On 7 adalah kisah klasik, dan di Medan, mereka telah mencatatkan lagi satu kisah klasik lain untuk diceritakan oleh orang-orang yang menonton konser ini, kepada orang-orang terkasih di masa depan.

(t agus khaidir/husna fadillah)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved