Berita Viral

CARA BERPIKIR Mahasiswi ITB Ini Dipertanyakan, Bikin Meme Prabowo-Jokowi Ciuman, Ayahnya Minta Maaf

Mahasiswi ITB ditangkap karena membuat dan mengunggah meme bergambar Jokowi dan Presiden Prabowo berciuman.

Editor: AbdiTumanggor
ISTIMEWA
MEME PRABOWO DAN JOKOWI - Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo (kanan) sedang berbincang pada 2018. Foto kanan seorang mahasiswi ITB berinisial SSS ditangkap karena mengunggah meme buatan AI Prabowo-Jokowi berciuman, Jumat (9/5/2025). (Istimewa) 

TRIBUN-MEDAN.COM - Cara berpikir seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS dipertanyakan karena nekat membuat dan mengunggah meme bergambar Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto berciuman.

Kini mahasiswi SSS telah ditangkap dan ditahan Berskrim Polri. 

“Membenarkan bahwa seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (9/5/2025). 

Truno mengatakan, saat ini penyidik masih mendalami rangkaian peristiwa yang terjadi.

“Saat ini masih dalam proses penyidikan,” lanjutnya.

Atas tindakannya ini, SSS diduga melanggar Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

MAHASISWI ITB DITANGKAP- Polisi menangkap seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) lantaran membuat sebuah meme mirip Presiden Prabowo Subianto saling berhadapan dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan informasi dari Pengurus Himpunan Seni Rupa ITB, penangkapan itu terjadi di kos SSS di Jatinangor, Sumedang, pada Selasa (6/5).
MAHASISWI ITB DITANGKAP- Polisi menangkap seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) lantaran membuat sebuah meme mirip Presiden Prabowo Subianto saling berhadapan dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Berdasarkan informasi dari Pengurus Himpunan Seni Rupa ITB, penangkapan itu terjadi di kos SSS di Jatinangor, Sumedang, pada Selasa (6/5). (HO)

Apa tanggapan pihak kampus ITB?

Pihak kampus ITB membenarkan bahwa SSS merupakan mahasiswinya.

"Institut Teknologi Bandung menanggapi pemberitaan mengenai penangkapan mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) oleh kepolisian, terkait pengunggahan meme melalui media sosial.

Dengan ini kami sampaikan: ITB telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak," ujar Direktur Komunikasi & Humas Institut Teknologi Bandung Nurlaela Arief dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (9/5/2025).

Nurlaela Arief mengatakan orang tua mahasiswi tersebut sudah datang ke ITB dan meminta maaf.

"Kami juga telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM), pihak kampus tetap memberikan pendampingan bagi mahasiswi," lanjutnya.

Viral di Media Sosial

Mahasiswi SSS mengunggah meme Prabowo-Jokowi berciuman di akun Twitter-nya (saat ini X), @reiayanyami.

Meme itu merupakan buatan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.

Buntut meme tersebut, SSS menjadi korban doxing oleh sejumlah akun Twitter lainnya.

Bahkan, sejumlah akun turut mempertanyakan cara berpikir sang mahasiswi.

Karena umumnya, yang bisa masuk ke perguruan tinggi ternama, merupakan orang-orang pilihan.

Sang mahasiswi juga mendapat banyak komentar tak pantas.

Ekspresi kebebasan berpendapat dalam bentuk meme yang disampaikan SSS dianggap berlebihan.

Memenya dianggap sudah melampui batas dan etika budaya Nusantara. 

Beberapa akun yang mengunggah fotonya di antaranya adalah @bengkeldodo dan @gtobing2903 pada 20 dan 22 Maret 2025.

Selain dua akun tersebut, SSS juga sempat menyebutkan akun-akun lain yang men-doxing-nya buntut meme Prabowo-Jokowi.

Merujuk dari unggahan doxing dua akun tersebut, meme AI Prabowo-Jokowi diduga diunggah SSS pada Maret 2025.

Namun, saat Tribunnews.com melakukan penelusuran cuitan-cuitan lawas di akun SSS, meme tersebut tidak ditemukan lagi.

Tak hanya menjadi korban doxing, SSS juga dituduh akun @tadja25 sebagai PKI.

"Rakyat harus waspada terhadap perempuan-perempuan model begini, mereka indikasi kebangkitan PKI," cuit @tadja25 pada 22 Maret 2025.

Dituding sedemikian rupa, SSS menyebut cuitan @tadja25 tak sesuai konteks.

"Buset, tiba-tiba PKI. Udah lah gausah geser-geser konteks, gw yakin lu paham sejarah PKI aja ngga," balas SSS di akun @reiayanyami miliknya.

Dalam beberapa unggahannya, SSS beberapa kali mempromosikan acara Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Tak hanya itu, SSS juga termasuk vokal dalam menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap melemahkan rakyat, termasuk mengenai RUU TNI.

Ia juga sempat mengkritik keras aksi pengiriman kepala babi kepada seorang jurnalis TEMPO.

Sebelum dikabarkan ditangkap, SSS terakhir kali membuat unggahan di akun Twitternya pada 6 Mei 2025.

Unggahan tersebut mendapat banyak komentar dari warganet yang mencoba memastikan apakah @reiayanyami baik-baik saja.

"Kay, are you okay? May God save you."

"Kak Kay, we got ur back."

"Kay lu ga diangkut kan?"

"Girl, are you okay? Haven't posted for days."

Amnesty International Indonesia Minta Polri Bebaskan SSS.

Terkait penangkapan ini, Amnesty International Indonesia meminta agar Polri membebaskan SSS.

“Polri harus segera membebaskan mahasiswi tersebut karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan MK,” ujar Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya dikutip dari Kompas.com, Jumat (9/5/2025). 

Usman mengatakan, penangkapan terhadap mahasiswi berinisial SSS ini bertentangan dengan semangat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang menyatakan keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.

“Penangkapan mahasiswi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa polisi terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital,” lanjut Usman.

Ia menegaskan, negara tidak boleh anti-kritik, alih-alih menggunakan hukum untuk membungkam masyarakat.

“Penyalahgunaan UU ITE ini merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik,” imbuhnya.

Penangkapan terhadap SSS disebut sebagai bentuk kriminalisasi oleh Polri yang berusaha mengekang kebebasan berekspresi di ruang digital.

“Pembangkangan Polri atas putusan MK tersebut mencerminkan sikap otoriter aparat yang menerapkan respons yang represif di ruang publik,” katanya.

Usman menegaskan, kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional maupun nasional, termasuk UUD 1945.

“Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan,” tutur Usman.

Ia menilai, lembaga negara, termasuk Presiden, bukan suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.

“Kriminalisasi di ruang ekspresi semacam ini justru akan menciptakan iklim ketakutan di masyarakat dan merupakan bentuk taktik kejam untuk membungkam kritik di ruang publik,” kata Usman.

Orangtua Mahasiswi SSS Minta Maaf

Kepala Biro Hubungan Masyarakat ITB, Nurlaela Arief mengatakan orangtua SSS sudah datang ke ITB hari Jumat (9/5/2025). Dalam pertemuan bersama pihak kampus, orangtua SSS menyatakan permintaan maaf.

"Pihak orangtua dari mahasiswi sudah datang ke ITB hari ini dan menyatakan permintaan maaf," ucapnya.

Pihak ITB pun telah berkoordinasi secara intensif dan bekerja sama dengan berbagai pihak atas kasus yang menimpa mahasiswinya.

"Kami juga telah berkoordinasi dengan Ikatan Orang Tua Mahasiswa (IOM), serta pihak kampus tetap memberikan pendampingan bagi mahasiswi," ucapnya.

Polri Tak Gubris Putusan MK

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan SSS seharusnya tidak bisa dipidana dalam kasus ini. Pasalnya, sudah ada rujukan terbaru terkait penjeratan UU ITE, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 terkait judicial review UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibacakan pada Selasa (29/4/2025) lalu.

Dia mengatakan, mengacu pada putusan tersebut, Prabowo merupakan perwujudan dari lembaga negara yaitu Kepresidenan. Sementara, Jokowi adalah seorang mantan presiden.

"Justru MK baru saja mengeluarkan putusan bahwa pemberlakuan UU ITE terutama penghinaan dan pencemaran nama baik itu tidak bisa diajukan oleh lembaga."

"Prabowo itu mewakili lembaga Kepresidenan. Demikian juga Jokowi diasumsikan presiden masa lalu. Jadi gambar itu sebenarnya menggambarkan dua institusi kepresidenan yang merupakan institusi atau lembaga," kata Abdul Fickar ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat.

Dengan penangkapan ini, Abdul Fickar menilai Polri tidak menggubris putusan MK. 

Dia justru menganggap penangkapan terhadap mahasiswi ITB tersebut lebih banyak mengandung unsur politis ketimbang penegakan hukum. 

"Jadi kepolisian itu lebay (berlebihan), tidak bisa menafsirkan putusan MK, jadi keliru. Penangkapan dan penetapan tersangka ini lebih banyak unsur politis atau cari mukanya," jelasnya.

Ketika ditanya pendapatnya terkait banyak anggapan terduga pelaku semata-mata menyerang pribadi Prabowo dan Jokowi alih-alih kebijakannya sebagai Presiden RI, Abdul Fickar tak sependapat.

Dia mengatakan SSS tidak mungkin membuat meme tersebut ketika Prabowo dan Jokowi bukan Presiden RI.

"Prabowo dan Jokowi belum tentu digambar oleh mahasiswa (SSS) jika bukan melekat dari lembaga kepresidenan. Tidak mungkin Prabowo atau Jokowi dihina atau dicemarkan kalau bukan Presiden," tuturnya.

Di sisi lain, Abdul Fickar menegaskan, jika memang Prabowo dan Jokowi merasa terhina atau nama baiknya tercemar, maka seharusnya membuat laporan secara pribadi.

Pasalnya, kasus pidana seperti pencemaran nama baik, masuk dalam delik aduan.

"Jika tidak ada pengaduan dari Prabowo dan Jokowi, maka itu lebay," tuturnya.

Detail Putusan MK soal Judicial Review UU ITE

MK sebelumnya telah mengabulkan sebagian terkait judicial review UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Selasa (29/4/2025) lalu.

Dalam amar putusannya, MK menegaskan pasal yang mengatur pencemaran baik yang tertuang dalam Pasal 27 A UU ITE hanya berlaku bagi individu atau perseorangan.

Sehingga, pasal tersebut tidak bisa ditujukan bagi kelompok dengan identitas khusus, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.

"Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU ITE, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan," ucap Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Sementara, dalam pertimbangannya, MK menganggap frasa 'orang lain' yang tertuang dalam Pasal 27 A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum secara bersyarat apabila tidak dimaknai secara terbatas hanya untuk individu.

Alhasil, MK menambahkan frasa 'kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.'

Lalu, MK juga menganggap Pasal 45 ayat (4) UU ITE yang mengatur tentang ketentuan atas Pasal 27A tidak jelas dalam batas penggunaan istilah 'orang lain' yang memunculkan kemungkinan penyalahgunaan hukum.

Padahal, Mahkamah mengatakan pada Pasal 433 ayat (1) KUHP yang mulai berlaku tahun depan, ditegaskan bahwa pihak yang tidak bisa dianggap menjadi korban adalah pemerintah atau sekelompok orang.

Pasal 27A UU ITE juga berkaitan dengan Pasal Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyebutkan bahwa tindakan yang menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana apabila dilakukan demi kepentingan umum atau sebagai bentuk pembelaan diri.

MK menganggap dalam sistem demokrasi, kritik adalah elemen terpenting dari kebebasan berekspresi yang idealnya bersifat membangun, meski bisa dalam bentuk tidak setuju dengan tindakan pihak lain.

Hakim konstitusi, Arief Hidayat mengingatkan, membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi justru akan melemahkan fungsi pengawasan publik, yang sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

"Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan," ujarnya.

Terakhir, MK menekankan bahwa pelanggaran yang tertuang dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (5) UU ITE adalah delik aduan sehingga proses hukum bisa berjalan jika laporan dilayangkan langsung oleh individu yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya.

(*/Tribun-medan.com)  (Tribunnews.com/Pravitri Retno W, Abdi Ryanda Shakti, Adi Suhendi, Yohanes Liestyo Poerwoto) (Tribunjabar.id/Nandri Prilatama)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

Artikel ini sebagian telah tayang di Kompas.com dengan judul "Amnesty Indonesia Desak Polisi Bebaskan Mahasiswi ITB yang Buat Meme Prabowo-Jokowi" : https://nasional.kompas.com/read/2025/05/10/11081071/amnesty-indonesia-desak-polisi-bebaskan-mahasiswi-itb-yang-buat-meme-prabowo?page=all#page2.

Dan artikel ini telah tayang di BangkaPos.com dengan judul Sosok SSS Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo dan Jokowi Ciuman, Fotonya Dibanjiri Komen Tak Pantas, https://bangka.tribunnews.com/2025/05/10/sosok-sss-mahasiswi-itb-pembuat-meme-prabowo-dan-jokowi-ciuman-fotonya-dibanjiri-komen-tak-pantas?page=all.

 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved