Negara Bersikeras Hapus Luka Pemerkosaan Massal, Berpotensi Menghapus Keadilan Bagi Korban

Ketika pemerintah menyangkal fakta berdarah, kebenaran berubah menjadi opini, dan keadilan ambruk bersama ingatan korban.

TRIBUN MEDAN/HUSNA
TUNTUT FADLI ZON-Aksi penolakan dan menuntut permintaan maaf atas pernyataan Fadli Zon mengenai tragedi kekerasan seksual 1998 yang dilakukan Solidaritas Puan Indonesia d di Fly Over Jamin Ginting, Rabu (18/6/2025). 

Kemudian (2) pengakuan dan peparasi. Dalam hal ini, pemerintah harus menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM 2012: mengakui publik bahwa pemerkosaan massal terjadi, memulihkan hak korban, serta menjamin layanan kesehatan fisik-psikis.

Selanjutnya (3) pengadilan dan rekonsiliasi. Dalam hal ini, Kejaksaan Agung harus bergerak menuntaskan berkas Komnas HAM. Tanpa pengadilan, retorika “persatuan” hanya akan memper panjang daftar impunitas.

Dan (4) pendidikan kritis. Artinya kekerasan berbasis gender dan rasial harus diajarkan apa adanya di sekolah, bukan untuk menanamkan kebencian, tetapi agar generasi mendatang paham bahaya intoleransi dan otoritarianisme.

Kristison menambahkan, sejarah bukan dongeng untuk meninabobokan bangsa. Sejarah merupakan peta moral agar tragedi tak terulang. Menyangkal pemerkosaan massal Mei 1998 sama saja menolak kemanusiaan para korban dan menghapus fondasi keadilan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang lupa, melainkan yang berani menatap luka, mengaku salah, lalu bergerak memulihkan.

“Karenanya, seorang menteri  seharusnya berbicara dengan data, suara penyintas, dan tuntutan publik terhadap keadilan. Bila negara bersikeras menghapus luka itu, kita berisiko kehilangan lebih dari sekadar ingatan. Kita kehilangan arah moral sebagai Republik,” pungkasnya. (*/top/Tribun-Medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved