Berita Medan
Divonis 10 Tahun Ganti Rugi Rp 797 Milliar Kasus Kuasai Kawasan Hutan Langkat, Akuang Ajukan Banding
Dedi Suheri kuasa hukum Akuang menyampaikan pihak keberatan dengan vonis yang dijatuhkan hakim dan akan mengajukan banding.
Penulis: Anugrah Nasution | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN. com, MEDAN- Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, yang merupakan pemilik Koperasi Sinar Tani Makmur mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim yang memvonisnya 10 tahun penjara.
Akuang divonis 10 tahun penjara atas kasus korupsi penguasaan dan pengalihan fungsi kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.
Sebelumnya, bersama Imran, mantan Kepala Desa Tapak Kuda dia divonis masing-masing 10 tahun penjara oleh hakim pengadilan negeri Medan.
Selain itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan kepada Akuang berupa kewajiban membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp797,6 miliar, sebagai kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Dedi Suheri kuasa hukum Akuang menyampaikan pihak keberatan dengan vonis yang dijatuhkan hakim dan akan mengajukan banding.
"Yang pertama kami akan mengajukan banding atas keputusan hakim ini," kata Dedi kepada Tribun Medan, Selasa (12/8/2025).
Dedi merasa bingung dengan keputusan hakim perihal penguasaan lahan yang disebut lahan hutan.
Padahal menurutnya, kliennya membeli tanah yang telah memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertahanan Nasional.
"Nah dalam putusan itu disebut oknum notaris dan yang kami sesalkan sampai saat ini oknum BPN tidak ada yang ditarik jelas jelas sertifikat 60 yang didakwakan kepada klien kami adalah prodak BPN. Awal mereka yang ukur dan keluarkan sertifikat, kemudian sekarang BPN juga yang mengatakan itu hutan," kata Dedi.
Dedi menilai dalam kasus ini Akuang menjadi korban, sebab dirinya hanya membeli lahan yang kemudian diterbitkan surat kepemilikan tanah. Namun belakangan lahan yang dibeli Akuang disebut kawasan hutan.
"Sebenarnya klien kami ini korban, karena dia membeli tanah yang sudah menjadi sertifikat, jadi bukan beli saat itu dalam kondisi lahan hutan, tapi kenapa sampai saat ini tidak diungkap siapa sebenarnya perambah hutannya. Jadi dalam hal ini klien kami hanya pembeli yang baik, bukan perambah hutan," lanjut Dedi.
Dedi mengatakan, Akuang membeli lahan tersebut dari grub Sitanggang. Namun dia bingung mengapa pada akhirnya Akuang ditetapkan sebagai perambah hutan.
"Jadi pak Akuang membeli dari grub Sitanggang, dalam bentuk sertifikat kepemilikan. Yang melakukan segala proses adalah notaris, jadi dia membeli lahan itu dalam kondisi tidak lahan hutan, namun kenapa pihak yang memperjual belikan tidak diproses," ujar Dedi.
Dedi juga memandang vonis 10 tahun terhadap Akung tidak adil. Sebab, Akuang adalah pembeli lahan tidak sepantasnya dia dijerat pada kasus korupsi penguasaan lahan.
"Ini menurut kami sangat tidak adil, karena klien kami hanya salah melakukan administrasi bukan korupsi, dan harusnya kesalahan itu diberikan kepada pihak yang melakukan proses administrasi yakni notaris dan PPATK. Karena klien kami adalah pembeli bertindak baik," ujar Dedi.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim M Nazir menyatakan bahwa keduanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun kepada terdakwa Alexander Halim alias Akuang dan terdakwa Imran. Memerintahkan agar para terdakwa tetap ditahan," ujar hakim.
Keduanya juga dijatuhi hukuman denda masing-masing sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, akan digantikan dengan kurungan selama tiga bulan.
Sementara itu, terdakwa Akuang, majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp797,6 miliar, sebagai kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara.
"Apabila uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan inkrah, maka jaksa dapat menyita dan melelang harta bendanya. Bila harta tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama lima tahun," tutur hakim.
Sementara itu, terdakwa Imran tidak dibebankan membayar uang pengganti, karena dinilai tidak ikut menikmati keuntungan dari kejahatan tersebut.
Majelis hakim juga menilai bahwa perhitungan kerugian negara oleh jaksa, yakni sebesar Rp856,8 miliar, dianggap terlalu tinggi.
Putusan hakim ini lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut keduanya 15 tahun penjara.
"Hal yang memberatkan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah. Menyebabkan kerusakan pada kawasan hutan lindung. Mengakibatkan kerugian besar terhadap negara dan perekonomian nasional," kata hakim.
Kasus ini bermula pada tahun 2013, ketika Akuang menghubungi Imran yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Tapak Kuda. Akuang meminta agar dibuatkan surat keterangan tanah untuk lahan di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut.
Lahan tersebut kemudian dipecah dan dimanipulasi menjadi dokumen kepemilikan tanah yang akan ditingkatkan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui notaris, meskipun kawasan tersebut seharusnya tidak dapat dimiliki karena merupakan kawasan konservasi hutan lindung dan tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari pemerintah.
(cr17/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Delipark Akan Meriahkan HUT ke-80 RI dengan Pesta Kemerdekaan dan Lomba Rakyat |
![]() |
---|
Promo Tiket Merdeka, Naik KA Srilelawangsa Cukup Bayar Rp1.945 Sampai Kualanamu |
![]() |
---|
Satwa Dilindungi jadi Barang Dagangan, Warga Medan Dituntut 6 Tahun 6 Bulan Penjara |
![]() |
---|
Kerap Was-was Bencana, Warga Sunggal Lega Potensi Banjir Berkurang Usai Perbaikan U-Ditch |
![]() |
---|
DPRD Medan Soroti Kebutuhan Dokter Spesialis, Alat Medis Canggih Terkesan Sia-sia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.