TRIBUN MEDAN.com - Gejolak di era reformasi 1998 memunculkan kisah menegangkan di kawasan Jalan Cendana, Jakarta Pusat, kediaman mantan Presiden RI Soeharto.
Suasana mencekam menyelimuti rumah Soeharto tepat setelah presiden ke-2 RI itu lengser dari jabatannya.
Massa yang berjumlah sekitar 8.000 orang bergerak ke Cendana untuk melakukan 'pengadilan rakyat'. 'Pengadilan rakyat' yang dimaksud ketika itu yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara yang diingankan massa.
Beruntung, Panglima ABRI sudah memetakan lokasi dengan memerintahkan pasukan dari Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya, melakukan penjagaan superketat. Wiranto juga menginstruksikan blokade kawat berduri untuk mencegah pergerakan massa.
Alhasil, tidak ada satu elemen mahasiswa atau massa pun yang bisa menembus barikade aparat keamanan.
Dilansir dari Kompas.com, suasana di rumah Soeharto diceritakan oleh Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI. Cerita itu tertuang dalam artikel 'Kisah Wiranto Cegah "Pengadilan Rakyat" terhadap Soeharto dan Keluarga'.
Wiranto yang menjadi sosok sentral di tengah situasi gejolak tersebut, menyadari gelombang kemarahan elemen mahasiswa atau massa terhadap Soeharto. Karena itulah, ia memutuskan untuk melakukan pengamanan superketat di jalur-jalur menuju Cendana.
Pasukan dari Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota/Jaya Sakti (Brigif-1 PIK/JS) Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya, dikerahkan untuk berjaga-jaga di lima titik persimpangan jalan yang langsung mengarah ke Jalan Cendana.
Menurut Wiranto, ketika itu hampir setiap hari ada aksi unjuk rasa yang menuntut Soeharto diadili. Massa berkumpul di sekitar Taman Surapati dan Tugu Tani.
"Bahkan, tidak jarang saya mendengar ada di antaranya yang menuntut dilakukannya 'pengadilan rakyat' atas mantan Presiden RI, Soeharto," kata Wiranto.
Wiranto mengakui demonstrasi merupakan hak setiap orang. Namun, ia meminta aksi itu dilakukan dengan damai.
Sebab, ia khawatir gelombang demonstrasi dapat mengarah kepada tindakan anarkisme dan brutalisme, yang dianggapnya akan menodai reformasi.
Ia merasa langkah pengamanan superketat tersebut untuk menyelamatkan Indonesia dari sebutan "bangsa barbar".
"Coba bayangkan, pada waktu itu ribuan massa bergerak ke Cendana untuk melakukan apa yang disebut 'pengadilan rakyat', yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara mereka, pasti akan sangat keji dan brutal," kata Wiranto.
Di tengah situasi itu, Wiranto mendapat informasi dari wartawan asing bahwa akan timbul lagi korban tewas pada saat bentrok dengan aparat di sekitar Cendana. Hal itu untuk membangkitkan amarah massa.
Wiranto pun langsung meminta Kapolda Metro Jaya menggelar barikade kawat berduri untuk mencegah bentrokan langsung.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, Jalan Cendana ketika itu tertutup untuk umum, dan penjagaan masih sangat ketat sampai November 1998.
Para petugas keamanan itu berjaga-jaga di lima titik persimpangan jalan yang langsung mengarah ke Jalan Cendana.
Kelima titik itu adalah Jalan Tanjung, Jalan Yusuf Adiwinata, Jalan Kamboja, Jalan Rasamala, dan Jalan Suwiryo.
Petugas yang berjaga-jaga berasal dari Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota/Jaya Sakti (Brigif-1 PIK/JS) Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya.
Pada Kamis, 19 November 1998, sekitar 8.000 mahasiswa sempat bergerak menuju kediaman Soeharto. Namun, mereka gagal mencapai Jalan Cendana karena ketatnya blokade.
Dalam bukunya yang berjudul Bersaksi di Tengah Badai, Wiranto membantah bahwa penjagaan tersebut dilakukan atas instruksi dari Cendana kepada ABRI.
Wiranto mengatakan, semenjak Soeharto berhenti sebagai Presiden, maka tidak ada lagi hubungan struktural antara ABRI dan Soeharto.
"Dengan demikian, pasti beliau tidak akan mau memberi perintah kepada saya selaku pejabat negara," kata Wiranto.
"Saat itu, saya sungguh khawatir karena kemarahan dan dendam yang demikian mendalam membuat kita lupa untuk menjaga martabat bangsa kita yang dikenal berbudaya, memiliki toleransi, dan sangat kental dengan sikap religius," ujar Wiranto.
Hingga kini, selalu muncul pertanyaan di benak Wiranto, bagaimana jika Soeharto ketika itu tidak dijaga dan kemudian terjadi hukum rimba atau pengadilan rakyat.
"Bagaimana martabat bangsa Indonesia di mata dunia? Apakah dengan cara seperti itu lantas semua tuntutan dan keinginan dari semua pihak sudah terpuaskan?" kata Wiranto.
Penolakan 14 Menteri
Sebelumnya, nasib miris menimpa Soeharto di akhir kekuasaannya setelah kurang lebih 32 tahun memimpin Indonesia
Dilansir dari Kompas.com dalam artikel 'VIK "Kejatuhan Soeharto", Kisah Soeharto pada Pengujung Kekuasaan', hal miris itu menimpa Soeharto pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri dari jabatan presiden.
Saat itu, tergambar sosok Soeharto yang tak berdaya saat situasi politik semakin menyudutkan posisinya. Bermacam cara Soeharto untuk bertahan terlihat sia-sia karena desakan mundur yang semakin kuat.
Soeharto bahkan digambarkan begitu bimbang dan nelangsa saat "ditinggalkan" 14 menteri yang enggan dilibatkan dalam Komite Reformasi.
Ketika itu, Presiden Soeharto masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan, Kolonel Sumardjono.
Surat yang diterima pukul 20.00 WIB itu berisi penolakan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin). Mereka tidak mau terlibat dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle nantinya.
Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita.
Betapa tidak, Komite Reformasi dan reshuffle memang dipersiapkan Soeharto sebagai solusi atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk menuntut pergantian kepemimpinan nasional.
Selain itu, alinea pertama surat itu secara implisit juga meminta "Jenderal yang Tersenyum" itu untuk mundur.
Penolakan 14 menteri itu menambah deretan penolakan. Sebelumnya, tokoh seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid juga tidak bersedia terlibat dalam Komite Reformasi.
Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto.
Aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi berubah menjadi tragedi setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada 12 Mei 1998.
Kerusuhan bernuansa rasial pun meletus pada 13-15 Mei 1998, yang membuat Jakarta terasa lumpuh.
Aksi demonstrasi mahasiswa juga semakin besar hingga bergerak masuk dan menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998.
Kondisi ini menyebabkan Harmoko, yang beberapa bulan sebelumnya meminta Soeharto jadi presiden, kini malah meminta Soeharto mundur.
Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi. Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.
"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.
"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan ‘tinggal gelanggang colong playu’. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.
Adik Soeharto, Probosutedjo, mengungkapkan bahwa Bapak Pembangunan itu terlihat gugup dan bimbang pada Rabu malam itu.
"Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujar Probosutedjo.
Jelang tengah malam, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadilah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto berbulat hati untuk mundur esok hari, 21 Mei 1998. Kekuasaan akan diserahkan kepada Wapres BJ Habibie.(*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Kisah Mencekam Seusai Soeharto Lengser, Wiranto Kerahkan Pasukan dan Barikade ke Rumah Cendana