TRIBUNWIKI

SOSOK Agam Wispi, Penulis Sastra Eksil Asal Langkat yang Belajar Jurnalistik hingga ke Berlin

Selama hidup sebagai orang eksilan, ia baru menerbitkan satu buku kumpulan sajak Kronologi in Memoriam 1953-1954.

Penulis: Satia | Editor: Ayu Prasandi
Wikipedia
Agam Wispi   

TRIBUN MEDAN.COM, LANGKAT -  Agam Wispi, seorang penulis Indonesia dan termasuk sebagai salah seorang penulis sastra eksil Indonesia. 

Ia mulai menjadi eksil, orang yang hidup di pengasingan, di Belanda sejak tahun 1988.  

Dirinya juga seorang penyair, banyak menulis sajak, juga cerpen dan drama.

Baca juga: Sosok RO Pengusaha Suruh Ayu Aulia Aborsi, Fotonya Akan Dirilis Keluarga Jika Tak Minta Maaf

Dilansir dari Wikipedia, Agam Wispi lahir 31 Desember 1930 dan wafat 1 Januari 2003. Agam merupakan salah satu tokoh dari Kabupaten Langkat. 

Agam Wispi memulai kariernya sebagai wartawan dan redaktur kebudayaan pada harian Kerakyatan dan Pendorong Medan (1952-1957).

Pindah ke Jakarta (1957), Agam menduduki kedudukan yang sama sebagai redaktur kebudayaan di Harian Rakyat sampai tahun 1962 (terseling antara 1958-1959, Agam belajar jurnalistik di Berlin). 

Antara tahun 1962-1965, ia tercatat sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sekaligus dikenal sebagai wartawan dan penyair.

 Ia pernah menjadi aggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965).

Pada bulan Mei 1965, Agam diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu dengan Ho Chi Minh. Namun sejak itulah Agam tak bisa kembali ke tanah air karena arus balik politik di Indonesia. 

Dari bulan September 1965 sampai Desember 1970, ia bermukim di Republik Rakyat Tiongkok. Dari tahun 1973 sampai 1978 tinggal di Leipzig, Jerman. 

Baca juga: Sosok Selebgram Ayu Aulia Ditemukan Bersimbah Darah Coba Akhiri Hidup, Ternyata Model & Kader Partai

Di kota itu, Agam sempat belajar sastra di Institut fur Literatur dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. 

Kemudian sejak tahun 1988 Agam tinggal di Amsterdam, Belanda.

Pada tahun 50-60an, Agam Wispi dikenal sebagai penyair.

Salah satu sajaknya yang terkenal, Matinya Seorang Petani tak saja dilarang oleh pemerintahan Soeharto tetapi juga pemerintahan Soekarno. 

Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di majalah Tempo, menulis tentang puisi ini:

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved