Kementerian PANRB kini sedang merevisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan tujuan menyelesaikan persoalan 2,3 juta honorer sebelum November 2023. "Ini sedang kita beresin pak bupati, honorer-honorer ini. Undang-Undang ASN sedang kita selesaikan. Mudah-mudahan dengan adanya UU ASN kita bisa beresin terkait dengan tata kelola SDM. Nanti mungkin kita ada uji publik," pungkas Anas.
Sebelumnya, Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB Alex Denni memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 2,3 juta honorer.
"Dari awalnya perkiraan jumlah non-ASN itu sekitar 400.000. Ternyata begitu didata ada 2,3 juta mayoritas ada di pemerintahan daerah. Perintah presiden jelas, cari jalan tengah, jangan ada PHK massal," katanya beberapa waktu lalu.
Fenomena "titipan" menghambat investasi
Anes menjelaskan, jika birokrasi tidak berkualitas maka pelayanannya akan buruk. "Selanjutnya akan menghambat investasi dan di ujungnya adalah kelangkaan lapangan pekerjaan,"katanya.
"Sebaliknya, jika birokrasi berkualitas maka akan mengundang banyak investasi yang akan berdampak pada banyaknya lapangan pekerjaan,"sambungnya.
Namun, Anas mengeklaim bahwa fenomena “titipan” dalam rekruitmen tenaga honorer di pemerintahan itu saat ini tidak dapat terjadi lagi dengan diberlakukannya ujian berbasis komputer (CAT) yang lebih transparan sehingga masyarakat dapat mengawasi hasil ujian masuknya.
Lebih jauh, Anas mengungkapkan bahwa pembengkakan jumlah tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintahan terutama pemerintah daerah terjadi dalam 5 tahun terakhir.
Kata Anas, pembengkakan tenaga honorer hampir 6 kali lipat itu justru terjadi setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2018 yang melarang adanya pengangkatan pegawai non-ASN di lingkungan pemerintahan.
“Tahun 2018 ada PP bahwa tidak boleh ada pengangkatan lagi non-ASN. Waktu itu kan (pegawai honorer) tinggal 400.000-an orang,” tuturnya.
PP tersebut, ujarnya, memberi waktu 5 tahun sebagai masa transisi dengan harapan pada November 2023 nanti tidak ada lagi pegawai di pemerintahan berstatus non-ASN kecuali sisa 400.000 tenaga honorer tersebut.
“Nah, ternyata setelah didata bukannya 400.000-an tenaga honorer yang ada tetapi sudah menjadi 2,3 jutaan,” ujarnya.
Namun, mantan Bupati Banyuwangi itu tidak menjelaskan celah peraturan apa yang ada sehingga perekrutan tenaga honorer dan non-ASN lainnya masih dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, bahkan semakin masif.
Dengan menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kata Anas, pihaknya kini tengah melakukan verifikasi lebih detail lagi atas data 2,3 juta tenaga honorer tersebut dengan maksud untuk dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan menjelang tenggat waktu yang diamanatkan PP tersebut hingga November 2023 mendatang.
(*/tribun-medan.com/kompas.com)