Ngopi Sore

Macam-macam Teh untuk Gus Miftah

Penulis: T. Agus Khaidir
Editor: Ayu Prasandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gus Miftah

TRIBUN-MEDAN.com- Sungguh, walau bertahun-tahun mengakrabi teh botol, saya belum lama tahu betapa minuman racikan ini berkaitpaut dengan banyak filosofi.

Dalam mitologi Tiongkok, misalnya, teh merupakan perlambang kesuburan.

Maka dari itu, dalam tiap-tiap pernikahan terdapat ritual yang disebut teh pai; keluarga mempelai laki-laki menghormati keluarga mempelai perempuan, sekaligus berharap pasangan yang baru disahkan sebagai suami-istri segera memperoleh keturunan.

Kemudian, dari seorang kawan yang memiliki tingkat kegemaran membaca lebih aduhai, saya diberitahu pula bahwa perkara teh dan serba-serbinya pernah terekam dalam satu kitab klasik Tiongkok, berjudul ‘Cha Jing’, ditulis (dan diselesaikan) oleh Lu Yu antara tahun 760 sampai 780.

Di sini dipapar secara detail mengenai jenis-jenis tanaman teh, bagaimana cara membudidayakan, bagaimana cara mengolahnya menjadi minuman, dan bagaimana pula tata cara menghidangkannya.

Kau tahu, kata kawan itu, jika dilakukan dengan baik dan benar, runut bagian per-bagian, maka untuk menuntaskan minum secangkir teh saja memang bisa jauh lebih ribet urusannya dari menetapkan hati untuk mencoblos orang-orang yang mengincar kursi dan jabatan di TPS.

Teh menurut Lu Yu dibagi ke dalam empat jenis yakni teh hijau (lu cha), teh merah (hong cha), teh wulung (wu long cha), dan teh bunga (hua cha). Pada masa Dinasti Tang (618-907), teh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat Jalur Sutra.

Tak terkecuali ke tanah Nusantara. Lidah pembawanya, meneer-meneer VOC, mengubah sebutan asli ‘te’ (dialek Fujian) dan ‘cha’ (dialek Tiongkok Utara), terutama ‘te’, menjadi ‘thee’.
Namun Belanda, mula-mula, tidak membawa teh masuk sebagai tradisi yang akan diasimilasi. Mereka punya tujuan lain.

Tujuan bisnis. Teh ditanam, secara paksa, dan hasilnya sebagian besar diekspor ke Inggris untuk dikonsumsi para bangsawan yang gemar meminumnya sore-sore, sambil menunggu senja.

Jadi berabad lalu, “anak-anak senja” ternyata ngeteh, bukan ngopi.

Sekarang, atas nama segmentasi pasar, teh tidak ditempatkan hanya di ruang-ruang dan momentum eksklusif. Teh menjadi bagian dari kebudayaan massa yang begitu fleksibel.

Dari cangkir-cangkir keramik, poci-poci tanah liat yang eksotis, teh kini bisa dengan mudah didapati di balik kaca-kaca lemari pendingin supermarket yang berembun, dalam kemasan-kemasan plastik.

Dengan beragam varian rasa pula. 

Ada teh rasa leci, anggur, apel, markisa, peach, dan entah apa lagi.

Ada yang beraroma jasmine, ada yang dicampur madu, atau daun mint untuk memberikan kesan segar.

Halaman
123

Berita Terkini