Berita Internasional

Pria Ceraikan Istri saat Mabuk, Kini Menyesal Memohon agar Istri Kembali usai Kesulitan Urus 7 Anak

Kisah seorang pria baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah dirinya membagikan kisah rumah tangganya.

TRIBUN MEDAN/ISTIMEWA
ISTRI DICERAIAKAN - Ilustrasi pria menyesal. Pria menyesal setelah menceraikan istrinya, kini kesulitan mengurus tujuh anak dan orang tua. 

TRIBUN-MEDAN.com - Kisah seorang pria baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah dirinya membagikan kisah rumah tangganya.

Kisah itu bermula ketika seorang pria bernama Li, warga Zhengzhou, Provinsi Henan, Tiongkok, tampil di sebuah acara televisi untuk meminta maaf secara terbuka kepada mantan istrinya.

Aksinya itu langsung menimbulkan gelombang komentar dan kritik di media sosial.

Dikutip dari Eva.vn Rabu (12/11/2025), Li diketahui telah menikah selama 15 tahun dan dikaruniai tujuh orang anak.

Namun, dalam keadaan mabuk dan terbawa emosi, ia secara gegabah mengajukan perceraian. Tak disangka, sang istri menyetujui keputusan tersebut tanpa menuntut harta apa pun.

Setelah perceraian, Li harus mengurus tujuh anak dan dua orang tua lanjut usia seorang diri, hingga akhirnya ia merasa terpuruk dan menyesal atas perbuatannya.

Dalam acara televisi itu, Li menahan tangis sambil memohon agar mantan istrinya mau kembali.

“Aku salah, tolong pulanglah. Kembalilah ke rumah,” ujarnya di depan kamera dengan suara bergetar.

Ia juga mengaku hidupnya berubah drastis sejak perceraian.

“Ada tujuh anak dan dua orang tua yang harus dirawat. Aku juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga, rasanya hampir tak sanggup menjalani semuanya,” ungkapnya dengan nada sedih.

Ayah Li turut memberikan kesaksian. Ia mengatakan bahwa mantan menantunya merupakan perempuan baik yang tak pernah memiliki cela. Sementara itu, ketujuh anak Li menangis di depan kamera dan mengaku sangat merindukan sang ibu hingga sulit tidur setiap malam.

Meski begitu, reaksi warganet justru mengejutkan. Mereka tidak merasa kasihan terhadap Li, bahkan menudingnya hanya mencari simpati publik.

Banyak yang menduga bahwa keinginan Li untuk rujuk bukan didasari cinta, melainkan karena ia membutuhkan pembantu gratis yang bisa mengurus rumah dan anak-anaknya.

Dalam berbagai komentar di media sosial, warganet menyebut Li tidak benar-benar menyesali perbuatannya, melainkan menyesali kehilangan kenyamanan yang dulu diberikan istrinya.

Mereka menilai Li hanya ingin mantan istrinya kembali agar ada yang mengurus rumah tangga dan merawat anak-anak, bukan karena ia ingin memperbaiki hubungan dengan tulus.

Berdasarkan penuturan dari lingkungan sekitar, selama 15 tahun menikah, sang istri bukan hanya melahirkan tujuh anak, tetapi juga ikut bekerja mencari nafkah. Sejak kelahiran anak pertama hingga anak ketujuh, hidupnya terus berada dalam lingkaran kehamilan, melahirkan, dan menyusui tanpa jeda.

Dalam keseharian, Li memperlakukan istrinya seperti alat serba guna. Saat dibutuhkan bekerja di luar rumah, ia harus bekerja.

Ketika diminta membantu di restoran keluarga, ia harus berhenti dari pekerjaannya. Namun, semua pekerjaan rumah dan pengasuhan anak tetap menjadi tanggung jawab sang istri seorang diri.

Ironisnya, Li tidak pernah benar-benar menghargai perjuangan dan pengorbanan istrinya. Baru setelah sang istri pergi, ia mulai menyadari beratnya beban yang selama ini dipikul istrinya sendirian. Kisah ini menjadi cerminan bahwa banyak orang baru mengerti arti pasangan setelah kehilangan.

Kasus ini juga memunculkan perdebatan di kalangan warganet mengenai makna sejati sebuah pernikahan. Pernikahan bukanlah kontrak yang mengikat dua orang dalam kewajiban semata, melainkan perjalanan hidup bersama untuk saling memahami dan menghargai.

Ketika hubungan hanya berisi pemberian sepihak sementara pihak lain hanya menerima tanpa memberi, maka cinta akan berubah menjadi beban.

Menurut warganet, esensi pernikahan terletak pada kesetaraan dan saling menghormati. Keharmonisan tidak lahir dari kata-kata manis, melainkan dari tindakan kecil sehari-hari, seperti berbagi pekerjaan rumah, membesarkan anak bersama, menanggung beban ekonomi, serta saling menopang secara emosional.

Jika kedua belah pihak berjuang bersama, seberat apa pun kehidupan, mereka akan tetap merasa dicintai dan dihargai.

Namun, jika salah satu pihak menganggap bahwa tanggung jawab keluarga sepenuhnya berada di pundak pasangannya, maka itu bukan lagi pernikahan, melainkan bentuk eksploitasi emosional yang dibungkus dengan label cinta.

(cr31/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved