Berita Viral

Mahfud Soroti Sikap Pemerintah Tanggapi Demo, Tak Peka Realitas Masyarakat, Tak Sentuh Akar Masalah

Pidato-pidato yang terkesan tinggi dan penuh optimisme, menurutnya, sering kali tidak diikuti dengan kepekaan terhadap realitas masyarakat.

Editor: Juang Naibaho
Tribunnnews/Heruddin
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan pesan mendalam kepada pemerintah dalam merespons aksi demonstrasi yang terus meluas. Menurutnya, langkah pemerintah sejauh ini masih bersifat sementara dan belum menyentuh akar persoalan. 

TRIBUN-MEDAN.com - Aksi demonstrasi masih bergulir di sejumlah daerah di Indonesia.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menyoroti langkah-langkah pemerintah dalam menangani aksi unjuk rasa yang meluas saat ini.

Mahfud mengingatkan bahwa situasi sosial-politik di Indonesia belum sepenuhnya tenang, meski demonstrasi skala besar sudah mereda. 

Menurutnya, langkah pemerintah sejauh ini masih bersifat sementara dan belum menyentuh akar persoalan.

“Tapi saya katakan itu baru tahap langkah 1 karena tentu masih mencekam api dalam sekam bisa suatu saat timbul, kalau tidak ada perubahan pola," ujar Mahfud dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (2/9/2025). 

Ia menilai pemerintah memang sudah menindak tegas kekerasan yang terjadi saat aksi massa, baik dari masyarakat maupun aparat. 

Namun, menurutnya, masalah substansial justru belum disentuh, yakni kebijakan dan pola komunikasi yang memicu ketidakpuasan publik.

Mahfud menegaskan, keresahan masyarakat tidak lahir dari hal-hal seperti aksi menyanyi di DPR atau polemik tunjangan semata, melainkan dari akumulasi persoalan yang sudah lama tak terselesaikan.

“Masalah utamanya yang belum itu, yaitu menjawab dengan kebijakan dan perubahan langkah-langkah pemerintah terhadap masalah-masalah yang menjadi penyebab terhadap terjadinya peristiwa demo yang sangat mengerikan itu, masif dan mengerikan itu,” jelasnya.

Dalam pandangan Mahfud, ada dua sektor utama yang menjadi sorotan publik, yakni ekonomi dan hukum.

Di bidang ekonomi, ia menyoroti kesenjangan antara klaim pemerintah dengan realitas di lapangan. 

Meski dikatakan ekonomi membaik, faktanya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran tetap tinggi. 

Pajak dinilai mencekik, harga beras terus melambung meski pemerintah menyebut cadangan cukup.

Sementara di bidang hukum, Mahfud menilai masih banyak kasus yang menimbulkan tanda tanya. 

Ia menyinggung soal eksekusi putusan pengadilan yang tertunda, politisasi hukum, hingga tindak pidana pencucian uang yang belum tuntas diusut. 

Baginya, ketidakjelasan penegakan hukum justru melukai kepercayaan publik.

Mahfud juga menilai pola komunikasi pemerintah perlu diperbaiki.

Pidato-pidato yang terkesan tinggi dan penuh optimisme, menurutnya, sering kali tidak diikuti dengan kepekaan terhadap realitas masyarakat.

Ia menegaskan, penyelesaian sementara seperti membatalkan kenaikan tunjangan DPR atau menjanjikan penindakan hukum memang bisa meredam gejolak. 

Namun tanpa perombakan kebijakan yang menyentuh akar masalah, kondisi rawan bisa kembali muncul sewaktu-waktu.

Mahfud menyebut protes besar yang terjadi adalah organik, lahir dari keresahan nyata rakyat. 

Namun, ia juga tidak menampik ada pihak lain yang kemudian menunggangi situasi.

Karena itu, ia menekankan agar pemerintah tidak berhenti pada langkah-langkah instan, melainkan mengambil langkah strategis, transparan, dan berpihak pada rakyat. 

Dengan begitu, "api dalam sekam" yang ia maksud tidak lagi menjadi ancaman di masa mendatang. 

Desakan Para Guru Besar

Sebelumnya, ratusan guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Peduli Indonesia turut menyoroti aksi demonstrasi yang terjadi nyaris di seluruh Tanah Air.

Satu di antaranya adalah sorotan terhadap kabinet "jumbo" Presiden Prabowo Subianto saat ini.

Para guru besar mendesak agar adanya perampingan kabinet sehingga bisa mengurangi beban keuangan negara.

Kabinet Merah Putih Prabowo saat ini diisi 48 menteri, 8 pejabat setingkat menteri, dan 55 wakil menteri. Selain itu, masih ada Staf Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, dan Penasihat Khusus Presiden.

Koordinator Aliansi Akademisi Peduli Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan, gerakan masyarakat sipil dan mahasiswa saat ini bertujuan murni menyampaikan realitas.

Namun menurut Sulistyowati, kebutuhan rakyat direspon berlebihan dalam bentuk tindakan represif, diberi label sebagai anarkis, dan didanai asing.

"Dalam hal ini harus dibedakan secara tegas mana demonstran yang sungguh memperjuangkan suara rakyat, dan penyusup yang memprovokasi terjadinya tindakan anarkis dan pengrusakan," kata Sulistyowati dalam konferensi pers secara daring, Senin (1/9/2025), dilansir Kompas.com.

Para guru besar, kata Sulis, juga melihat jurang yang lebar antara para elite penyelenggara negara dan rakyatnya. 

Hal itu dilihat dari sisi sebagai negara hukum penyelenggara negara harus tunduk pada hukum, namun yang terjadi adalah para elite justru semakin memperkuat kekuasaan dengan mengubah hukum.

Serta merumuskan berbagai kebijakan dan alokasi anggaran serta realokasi anggaran negara untuk kepentingan kekuasaan.

"Semuanya dibuat tanpa dasar ilmiah dan data berbasis bukti, juga tidak mengakomodasi realitas, pengalaman dan kebutuhan rakyat," ujarnya. 

"Terbukti dari banyaknya program yang salah sasaran, rawan penyimpangan dan beberapa cenderung bisa ditafsirkan sebagai power buil-up, dan karenanya mendapat penolakan rakyat terhadapnya," ucap dia.

Akibatnya, lanjut Sulis, pilar-pilar negara hukum melemah antara lain keruntuhan demokrasi, akibat partisipasi publik tidak terakomodasi. 

Kemudian melemahnya prinsip moral, keadilan dan hak asasi manusia serta keadilan ekologis dalam substansi berbagai instrument hukum dan kebijakan Serta melemahnya mekanisme kontrol ketika lembaga pengadilan gagal mempertahankan independensinya. 

"Padahal ketiga pilar negara hukum itu dimaksudkan sebagai payung agar warganegara dapat dilindungi dari kesewenang-wenangan penyelenggara negara," ungkapnya. 

Melihat kondisi tersebut, Aliansi Akademisi Peduli Indonesia mendesak pemerintah melakukan beberapa hal berikut: 

1. Merestukturisasi kabinet dan pejabat lembaga pemerintahan agar ramping, efisien, dan tidak memberatkan keuangan negara. 

Termasuk meninjau kembali pengangkatan para pejabat negara yang tidak didasarkan pada kompetensi, profesionalisme, dan integritas tinggi, demi memperkuat dan memperluas kekuasaan semata. 

2. Meninjau kembali kebijakan politik anggaran yang salah sasaran, dan tidak didasarkan pada rasionalitas ilmiah dan data yang valid.

Beberapa di antaranya adalah sumber daya dan keuangan negara seharusnya didapatkan dari perampasan aset koruptor, para pengusaha sumber daya alam, dan mereka yang sudah mendapat fasilitas negara secara menguntungkan dan bukan dibebankan kepada pajak dan berbagai pungutan kepada rakyat. 

Alokasi anggaran negara (dan daerah) seharusnya didasarkan pada kebutuhan rakyat terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan, terutama bagi kelompok rentan, miskin, perempuan dan anak. 

Sudah waktunya kebijakan anggaran didasarkan pada pemenuhan hak-hak kesejahteraan (welfare benefits), bukan sebagai charity (amal).

Tinjau ulang gaji dan fasilitas berlebihan kepada anggota legislatif yang masih aktif maupun pensiun seumur hidup kepada anggota legislatif yang purna tugas.

Selain itu penggajian direksi dan komisaris BUMN yang mencapai miliaran rupiah per bulan jelas melukai rasa keadilan dan harus ditinjau ulang. 

3. Meninjau kembali berbagai instrument hukum dan kebijakan yang dibuat secara instan, bermuatan kepentingan kekuasaan, dan berdampak merugikan secara ekonomik sosial, dan merusak alam, menakutkan warga negara dan menyebabkan hilangnya percayaan publik. 

Prioritaskan pengesahan Rancangan Undang-Undang yang mendesak dibutuhkan publik, seperti RUU Perampasan Aset. 

4. Berantas korupsi, gratifikasi dan berbagai bentuk kecurangan dalam lingkup kejahatan luar biasa, karena telah mengurangi kesempatan rakyat untuk menikmati hak dasarnya dalam bidang kecukupan pangan, terpenuhinya akses pendidikan, kesehatan dan berbagai layanan publik lain.

5. Tidak memberlakukan darurat militer atau sipil yang berakibat tindakan represif terhadap gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan rakyat.

Tindakan tegas hanya ditujukan secara selektif hanya kepada penyusup yang memprovokasi tindakan anarkis dan pengrusakan. 

6. Menghentikan upaya menyesatkan sejarah bangsa, dan tidak mereduksi simbol keagungan dan kehormatan negara dengan secara murah memberi penghargaan secara masif kepada kelompok di sekitar kekuasaan. 

7. Mencegah berbagai bentuk tindakan diskriminasi rasial dan kekerasan berbasis gender. (*/tribunmedan.com)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dan  Kompas.com

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved