Berita Viral

Dedi Mulyadi Bongkar 3 Persoalan Utama MBG Tak Layak Disantap Siswa Imbas Keracunan

Tujuannya jelas, agar kasus keracunan makanan yang menimpa ribuan siswa di Jabar tidak lagi terulang.

Istimewa
SISWA KERACUNAN MBG - Dedi Mulyadi bereaksi usai keracunan MBG di Bandung. Korban keracunan menu MBG terus berdatangan di GOR Kecamatan Cipongkor Bandung Barat, Senin (22/9/2025) malam. 

TRIBUN-MEDAN.com - Blak-blakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyoroti tiga hal penting yang menurutnya harus segera dievaluasi dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis, atau MBG, di wilayahnya. 

Tujuannya jelas, agar kasus keracunan makanan yang menimpa ribuan siswa di Jabar tidak lagi terulang.

Dedi menyebut, ada tiga persoalan utama yang membuat makanan dalam program MBG berisiko tidak layak disantap.

Ia menegaskan, meski sejauh ini kasus keracunan MBG belum menimbulkan korban jiwa, namun trauma pada siswa jelas nyata.

Hal yang perlu dievaluasi, yakni soal kualitas menu makanan yang disajikan serta kemampuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai vendor pelaksana kegiatan. 

"Pertama gini loh, penyelenggara kegiatannya mampu atau tidak. Yang kedua, makanan yang disajikan sesuai dengan harga atau tidak," ungkap Dedi saat ditemui di Bale Pakuan, Kota Bogor, Rabu (24/9/2025). 

"Kedua hal itu yang akan menjadi objek penyelidikan saya. Artinya, saya akan mengevaluasi dalam dua hal itu," sambungnya. 

Dedi mengaku bahwa dirinya akan bertemu dengan pengelola SPPG di Jawa Barat pada pekan ini. 

Hal itu dilakukan untuk melihat serta memastikan unsur kelayakan pelayanan.

Jika ditemukan adanya pengelola SPPG yang tidak memenuhi standar pelayanan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat akan mengambil tindakan tegas berupa penggantian. 

"Kalau ternyata tidak mampu dan angka keracunan tetap tinggi, tentu harus ada evaluasi. Vendor pelaksana yang tidak sesuai dengan harapan harus diganti," sebutnya. 

Sejauh ini, lanjut Dedi, kasus keracunan yang terjadi diakibatkan karena ketimpangan antara jumlah peserta penerima MBG dengan jumlah pelayan di SPPG. 

Selain itu, faktor jarak distribusi dan pola penyajian makanan yang tidak sesuai turut memperburuk keadaan. 

"Misalnya, masaknya jam 1 malam, tapi disajikan jam 12 siang. Jarak waktunya terlalu lama, itu perlu dievaluasi. Kalau penyelenggara tidak mampu, ya harus diganti dengan yang lebih mampu," imbuh dia. 

Untuk diketahui, jumlah kasus keracunan MBG saat ini tengah menjadi sorotan publik. 

Ratusan siswa di 16 provinsi mengalami keracunan usai menyantap menu MBG dengan total mencapai 5.626 kasus. 

Dari 5.000-an kasus keracunan MBG, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus keracunan terbanyak di Indonesia sebanyak 2.051 kasus.

Siswa Alami Trauma

Ia khawatir insiden tersebut dapat menimbulkan trauma psikologis bagi anak-anak, yang berpotensi menghambat mereka untuk mengonsumsi menu MBG kembali.

"Itu menimbulkan trauma, traumanya adalah anak yang harusnya mendapat asupan gizi, itu kan menjadi keracunan, kan menjadi trauma. Traumanya nanti mereka tidak mau makan lagi terhadap makanan yang disajikan, sedangkan makanan (MBG) yang disajikan itu kan tiap hari dilakukan," tambah Dedi saat ditemui di Bale Pakuan, Bogor, Rabu (24/9/2025). 

Dedi juga menyoroti buruknya manajemen penyelenggaraan yang menyebabkan maraknya kasus keracunan MBG.

"Ini disebabkan karena ada ketidakseimbangan antara jumlah penerima layanan dengan tenaga atau pelayan yang tersedia, ditambah manajemen penyajian makanan yang kurang tepat," jelasnya. 

Contohnya, makanan sering kali dimasak pada tengah malam dan baru disajikan dalam jumlah besar keesokan harinya.

"Yang dilayaninya sekian ribu orang, kemudian jumlah yang melayaninya hanya sedikit, ditambah lagi jarak yang ditempuh jauh, kemudian ditambah lagi juga ingin memberikan layanan secara sekaligus. Misalnya, masaknya jam 1 malam atau masaknya jam 12 malam, disajikannya jam 12 siang, kan jarak waktunya lama," ungkapnya.

Sebagai langkah responsif, Dedi segera memanggil pengelola MBG di Jabar pada pekan depan. Evaluasi akan difokuskan pada dua hal, yaitu kemampuan penyelenggara dalam melaksanakan kegiatan serta kesesuaian kualitas makanan dengan harga yang ditetapkan pemerintah.

"Kalau penyelenggara tidak mampu, atau vendor tidak punya kemampuan, ya harus diganti," ucapnya.

Meskipun kasus keracunan tidak menimbulkan korban jiwa, Dedi menekankan, fakta bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak sudah cukup menjadi alasan kuat untuk melakukan evaluasi besar-besaran.

Menanggapi wacana moratorium program MBG akibat maraknya kasus keracunan, Dedi menegaskan perlunya evaluasi terlebih dahulu terhadap penyelenggara.

"Kalau ternyata tidak mampu dan kualitasnya menurun, ya harus dievaluasi. Orang yang memegang amanah tapi tidak sesuai harapan harus diganti," tegasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

(*/ Tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved