Bedah Buku Hinca Pandjaitan

Konflik TPL Vs Masyarakat Adat Sumut Seakan Dikelola, Martonggo Raja ala Hinca Akomodir Semua Pihak

Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat adat di Sumut, menjadi cerita lama yang tak kunjung berakhir.

Editor: Juang Naibaho
Dok Tribun Medan
BEDAH BUKU - Anggota Komisi III DPR RI Dr Hinca Pandjaitan XIII (tiga dari kiri) berdiskusi dengan insan pers dalam kegiatan bedah buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri, di Studio Tribun Medan, Jumat (7/11/2025). 

TRIBUN-MEDAN.com - Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat, khususnya masyarakat adat di Sumatera Utara, sudah menjadi cerita lama yang tak kunjung berakhir.

Anggota Komisi III DPR RI Dr Hinca Pandjaitan XIII menilai konflik ini tak akan berakhir jika negara tidak hadir untuk menyelesaikannya. Solusinya yakni martonggo raja. 

Apalagi, kata dia, di tanah Batak sudah ada prinsip dasar duduk berunding yakni tonggo raja. Prinsip ini yang kemudian hendak ia dorong kembali sebagai jalan tengah untuk mencari solusi bersama. 

Hal itu ia utarakan lewat bukunya berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri: Pelajaran dari Suku Sami Finlandia dan Suku Inuit Kanada untuk PT Toba Pulp Lestari Menuju Hilirisasi Serat Nusantara Dalam Semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

Konflik ini berpusat pada isu lahan dan dampak ekologis serta sosial dari operasional perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto tersebut. Konflik yang muncul, antara lain mencakup perampasan tanah adat dan perusakan lingkungan.

Pendapat Hinca tentang konflik berkepanjangan ini tak akan berakhir jika negara tidak hadir, diamini Ketua AJI Medan Tonggo Simangunsong.

Tonggo mengungkapkan, hasil penelusurannya terdapat 23 masyarakat adat yang berkonflik dengan PT TPL.

“Hasil liputan kita ada sekitar 23 komunitas masyarakat adat dengan konflik lahan sekitar 33.000 hektare. Yang menjadi persoalan adalah, ketika Indorayon pada 1980-an diberikan izin konsesi, tanpa melihat adanya posisi masyarakat. Sampai sekarang masyarakat adat masih berjuang untuk hak mereka,” katanya.

Bagi masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba yang mayoritas Batak, katanya, terdapat istilah hutanamar marga dan marga namarhuta.

“Kalau kita terjemahkan dalam konteks kearifan lokal, setiap masyarakat Batak itu memiliki tanah dan diduduki komunitas marga. Itu sebelum ada konsesi. Sebelum masuk korporasi,” paparnya.

Menurutnya, masyarakat adat menganggap bahwa kedaulatan mereka berada di atas tanah mereka. 

“Tanah bagi orang Batak adalah kedaulatan hidup. Mereka hidup dari tanah. Di situ mereka mengelola kemenyan, mengelola sumber dari air bahkan untuk ritual mereka mengambil dari sumber air alami,” lanjutnya.

Masyakat merasa ditiadakan. Padahal, mereka punya hak yang harusnya diposisikan sebagai pemegang hak ulayat di atas tanah.

“Harusnya ketika dulu perusahaan ini hadir, negara melakukan mapping. Apa yang akan diberikan kepada korporasi itu harus selesai dulu. Setelah clear, baru korporasi bisa masuk,“ lanjutnya.

Diakui Tonggo, negara butuh investasi, di mana investasi juga membutuhkan sumber daya. Meski mendatangkan pendapatan kepada negara, ia berharap jangan mengabaikan hak masyarakat adat.

Dijelaskan Tonggo, konflik akan terus terjadi sampai masyarakat mendapatkan kembali hak mereka. 

Dia mencontohkan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta yang mendapat kembali hak mereka lewat perjuangan panjang sejak 2009 sampai 2016.

“Mereka berjuang sampai pada akhirnya presiden turun tangan memberikan hak mereka. Itu juga yang terjadi pada daerah-daerah lain. Masih ada 20-an masyarakat adat lagi,” katanya.

Ketua AJI menyambut baik peluncuran buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri: Pelajaran dari Suku Sami Finlandia dan Suku Inuit Kanada untuk PT Toba Pulp Lestari Menuju Hilirisasi Serat Nusantara Dalam Semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang ditulis Hinca Pandjaitan ini.

“Kupikir Bang Hinca sudah memberikan solusi, salah satu jalan tengah. Tapi kita harus membuat catatan. Jalan tengah itu harus mengakamodir kepentingan semua orang. Artinya sama-sama sejahtera,” tegasnya.

Tonggo tak mau hanya segelintir kelompok yang mendapatkan keuntungan. “Aku salut sama Bang Hinca, karena tak semua dewan bisa nulis. Aku pikir buku ini sebuah tawaran, andai saja wakil-wakil kita yang lain pro aktif seperti ini, memberikan ide dan gagasan, akan selesai masalah,” ujarnya.

Konflik Seakan Dikelola

Praktisi Media sekaligus akademisi Sumut Dr Ramdeswati Pohan mengakui, ide martonggo raja selayaknya dijadikan wadah untuk menyelesaikan konflik masyarakat dengan PT TPL. 

“Jalan tengah ini kalau dalam bahasa mediasi win-win solution. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, sama-sama senang. Ini yang belom dicoba oleh masyarakat, elite yang ada di situ, juga korporasi,” kara Dr Ramdeswati.

Diakui Ramdeswati, pemerintah belum mengambil peran sebagai pemandu jalan tengah. “Selama ini kita lihat pemerintah hadir dalam bentuk aparat,” tegasnya.

Perempuan yang akrab disapa Desi ini bahkan menilai, konflik yang terjadi seakan-akan dikelola. 

“Karena kapan waktu dia muncul lagi. Pandangan saya sebagai jurnalis, kita tidak lagi di 5W apa, siapa, mengapa, kenapa. Sudah tahu semua tanah itu milik siapa, pemerintahnya korporasinya kita tahu siapa. Yang perlu kita cari tahu sekarang adalah bagaimana. Sekarang kita mendudukkan ini untuk ke jalan tengah sebuah tawaran. Yang saya kritik itu tadi. Kok hanya korporasi dan masyarakat, mana pemerintah,” tegasnya.

Ia lantas mengutip satu kalimat yang ditulis dalam buku Hinca.”Bhwa keberhasilan pembangunan tak bisa dibaca secara monolitik melainkan harus dilihat dalam konteks lokal dan pengalaman masyarakat. Memang betul, kita tidak boleh meninggikan ego sendiri. Mari sama-sama kita menuju jalan tengah mencari win-win solution,” tutupnya.

Miris Masyarakat Dipenjara

Jurnalis Harian Kompas Nikson Sinaga juga mengapresiasi ide dan pemikiran yang dituangkan Hinca dalam buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri.  

“Ada satu perusahaan di satu sisi dan ada masyarakat adat di sisi yang lain. Hampir tak ada  dialog dan pertemuan yang bisa mempertemukannya. Aku pikir buku ini jalan tengah. Apalagi ada tiga kata yang sangat menarik yakni alam, adat dan industrial,” kata Nikson.

Ia menyinggung pernyataan Dr Ramdeswati yang menyatakan, jalan tengah ini tak akan bisa dirumuskan atau dicapai tanpa peran pemerintah. 

“Perusahaan tak mungkin memoderasi jalan tengah, masyarakat adat juga rasanya sulit. Kita harus berkaca juga dari beberapa konflik ini memang hampir tidak ada jalan tengah. Misalnya dari 2014 sampai sekarang sebenarnya ada empat masyarakat adat yang berkonflik di area konsesi,” paparnya.

Ia menyatakan, empat masyarakat adat yang berkonflik yakni masyarakat di  Pandumaan-Sipituhuta di  Kabupaten Humbang Hasundutan dan tiga lagi di Tapanuli Utara yakni masyarakat adat Nagasaribu, masyarakat adat Bius Hutaginjang dan masyarakat adat Aek Godang Tornauli.

Empat masyarakat ada ini menempuh perjuangan panjang untuk mendapatkan peraturan daerah tentang penetapan komunitas adat.

“Sudah 15 tahun dari 2010 diajukan dan tak kunjung disahkan di DPR. Kenapa ini? 15 tahun tak kunjung disahkan RUU-nya. Sementara banyak RUU lain kalau itu kepentingan elit politik, tiga hari bisa selesai,” singgungnya.

Dia mencontohkan Presiden Jokowi pernah mengeluarkan konsesi TPL. Memberikan kepada empat komunitas adat, tapi ada dua komunitas adat di Toba yang tak bisa ditetapkan secara definitif.

“Karena belum ada payung hukumya dari kabupaten. Bupati tidak mau teken SK penetapan komunitasnya, jadi mereka tidak bisa jadi subjek hukum. Objek hukumnya sudah, tapi subjek hukumnya tidak ada,” lanjutnya.

Konflik seperti ini, lanjutnya, juga terjadi di Sihaporas sampai bentrok dan memakan korban luka. Ada Amang Sorbatua Sialagan yang harus mendekam 7 sampai 8 bulan di penjara dan pada akhirnya dibebaskan. Kita sebenarnya miris melihat rakyat harus dipenjara atas kesalahan yang tidak dia lakukan,” ungkapnya.

Menurutnya, jalan tengah yang dimaksudkan Hinca di dalam bukunya dapat menjadi solusi.

“Supaya negara hadir tidak dalam bentuk aparat, tapi hadir dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Saya pikir Pak Jokowi sudah memulai jalan tengahnya dengan mengeluarkan sebagian konsesi untuk masyarakat adat. Satu skema yang dari dulu tidak kita temukan akhirnya ditemukan dan itu harus dilanjutkan untuk masyarakat adat yang lain,” tutup Nikson.

Praktisi media sekaligus akademisi Sumut Dr Fakhrur Rozi menilai, Hinca dalam bukunya hendak membuat konstruksi baru tentang cara berpikir masyarakat dan korporasi dalam menyelesaikan konflik. 

Rozi, sapaan akrabnya, bahkan menyentil terkait konflik yang seakan dikelola. “Apakah ini dikelola? Saya tak sampaikan lagi ya, karena sudah disampaikan kak Desi. Itu yang dirasakan banyak orang. Terutama yang sudah tahu sejarah dari konflik ini bertahun-tahun,” katanya.

Rozi juga mendorong keterlibatan pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik ini.

“Kira-kira apa yang mau kita kasih sebagai penyelesaian. Apakah jalan tengah yang disampaikan Bang Hinca ini atau mungkin ada jalan lain yang mungkin sama-sama membawa dua sisi ini ke tengah untuk mendiskusikannya,” jelas Rozi. (*/tribunmedan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved