MUI Tegas Menolak Ide Sistem Khilafah Diterapkan di Indonesia
"Kalau mau konsisten, tidak ada masalah dengan NKRI. Jangan lupa, NKRI itu yang menggagas adalah tokoh agama dan ulama,"
TRIBUN-MEDAN.com - Sejumlah kalangan menolak cara-cara yang ingin diwujudkan oleh Hizbut Tahir Indonesia (HTI) untuk melakukan perebutan kekuasaan demi pembentukan sistem Khilafah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, mereka tidak sependapat dengan HTI karena berniat untuk melakukan pembentukan sistem khilafah tersebut.
Sebagaimana yang disuarakan oleh ormas HTI.
Baca: Terkuak, Miryam Membagikan ke Semua Anggota Komisi II DPR usai Terima Uang Suap 1,2 Miliar
Baca: Juventus Segera Lepas Leonardo Bonucci Jika Ada Tawaran Menarik
Namun demikian, MUI mengakui bahwa penegakan syariat Islam sangat baik untuk kepentingan Umat Islam.
"Ormas Islam, MUI, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain sudah sepakat, syariat Islam itu baik bagi umat Islam," kata Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Misbahul Munir dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema "Keberadaan HTI dan NKRI", yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Penyuluh DKI dan MUI DKI Jakarta di kantor MUI Jakarta Utara, Kamis (22/6/2017).
Tetapi, kata Misbahul, sistem khilafah yang digagas dengan cara merebut kekuasaan, tidak bisa diterima.
"Upaya ini yang dianggap akan menjadikan adanya perbedaan pandangan terutama di kalangan ulama dan tokoh-tokoh masyarakat, sehingga ditolak," katanya.
KH Misbahul Munir juga mengatakan, munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan buah gagasan dari para tokoh agama dan juga ulama.
"Kalau mau konsisten, tidak ada masalah dengan NKRI. Jangan lupa, NKRI itu yang menggagas adalah tokoh agama dan ulama," katanya.
Sementara itu, Ketua MUI Jakarta Utara, KH Ibnu Abidin mengatakan, dirinya pesimis bahwa sistem Khilafah akan diterima masyarakat Muslim di Indonesia.
"Apakah Khilafah bisa diterima oleh khalayak banyak? Indonesia merdeka itu adalah hasil kesepakatan bersama, bukan (dari) agama Islam saja, tapi hasil kesepakatan dengan agama yang lain," katanya.
Warta Kota/ Gede Moenanto Soekowati