Ngopi Sore
PK dan Percakapan Tentang Tuhan
Tuhan tak perlu dibela, kata Amir Khan. Atas tiap pengingkaran terhadap diri-Nya, Ia punya kuasa yang jauh lebih hebat untuk murka.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SEHARI setelah sore yang berdarah di Paris, saat dua orang bertopeng memberondongkan peluru senjata otomatis di ruang redaksi Majalah Charlie Hebdo dan membuat 12 nyawa melayang, saya menonton PK.
Saya bukan penggemar suntuk film-film Hindustan, film yang telah hadir di ruang keluarga kami sejak ayah saya pertama kali membeli perangkat pemutar video betamax merek Sony di tahun 1988. Sejak itu pula Raj Kapoor, Hema Malini, Amitahb Bachchan, Sri Devi, Amrish Puri, singgah berganti-ganti. Mereka berbicara dengan bahasa dan logat yang sungguh enak terdengar di telinga. Mereka menyanyi-nyanyi. Mereka menari-nari. Mereka tertawa dan menangis. Mereka menyanyi dan menari sambil tertawa-tawa, seringkali sembari menangis pula. Hampir selalu tentang putih dan hitam yang kontras. Ada inspektur polisi yang gagah dan kepala bandit dengan mata mendelik-delik dan kumis melintang. Inspektur naik Jeep Willis dan kepala bandit mengendarai Fiat. Elemen dan kombinasi-kombinasi yang memukau -untuk tidak menyebutnya ajaib.
Tapi ibu saya, seorang perempuan Mandailing, yang tahan duduk berjam-jam di depan televisi untuk menuntaskan film-film itu, gagal meracuni saya. Pengalaman pertama menonton film Hindustan (secara utuh dan benar-benar serius) terjadi hampir 25 tahun kemudian, tatkala kegemaran beliau justru sudah surut. Film India sekarang, kata ibu saya, tak ada beda dengan "film barat" lagi. Perempuan-perempuannya telah mengganti Sari dengan rok mini.
Saya menonton 3 Idiots dan sama sekali tidak mempersoalkan apakah di film itu Kareena Kapoor lebih banyak mengenakan Sari atau rok mini. Saya tergerak menonton setelah seorang kawan yang saya tahu merupakan pemburu film-film idealis bikinan sutradara-sutradara setengah sinting, merekomendasikannya dengan amat bersemangat.
Kau tontonlah, desaknya. Film ini memang bukan film Hindustan terbaik yang pernah diproduksi, namun ia memiliki keistimewaan yang jarang dihadirkan oleh Bollywood. Film ini melesat jauh dari mainstream.
Tidak ada tarian dan nyanyian? Tetap ada. Sepanjang durasi dua jam lebih, terdapat dua lagu panjang dan satu lagu pendek. Sedikit untuk ukuran (normal) film-film Hindustan. Tapi memang bukan ini yang membuat 3 Idiots berbeda. Melainkan karakter tokoh, plot, setting, dan tentu saja dasar-dasar pemikiran yang melingkupinya. Film ini bergenre komedi. Bukan kekonyolan yang dipapar, ditonjolkan, dijadikan "jualan" (tak ada misalnya tokoh bertampang buruk rupa dan agak kurang pikir, yang sedikit-sedikit mengoceh 'sumpah, demi kakak ipar'), akan tetapi pergulatan psikologis tiga tokoh utamanya -Raju, Farhan, dan Rancho/Phunsuk Wangdu- dalam koridor budaya, filsafat, dan agama.
Sehari setelah tragedi di Paris, saya menonton PK, dan seperti dalam 3 Idiots, Aamir Khan dan Rajkumar Hirani, menghadirkan lesatan-lesatan gambar dan dialog "tak biasa" yang pada akhirnya tidak hanya membuat penontonnya tertawa dan menangis, tapi juga merenung.
Begitulah PK berkisah tentang mahluk asing yang turun ke bumi. Lebih tepatnya, alien yang tersesat, lantaran kekacauan "sistem navigasi". Ia mendarat di kawasan Padang Pasir Rajashtan, Mandawa, sebelah selatan India. Di tengah kebingungan dan kepanikan, PK, mahluk asing itu, mencoba berinteraksi dengan mahluk-mahluk penguasa bumi, manusia.
Kelucuan-kelucuan pun mengalir, sampai kemudian Khan, dan Hirani yang menyutradarai film ini, menyentak lewat pemikiran perihal India dan Pakistan, Hindi dan Islam, tentang Tuhan dan Ketuhanan.
"Bagaimana saya bisa bertemu Tuhan?" tanya sang alien pada seorang pedagang perlengkapan sembahyang.
"Belilah ini dan berdoalah," kata pedagang tersebut sembari menyodorkan sebentuk patung berukuran kecil. "Lima belas rupee."
Kelucuan pun mengalir kembali. Mulai dari "doa yang terkabul" hingga dugaan "Tuhan" yang kehilangan fungsi karena daya baterainya habis. Dan alien itu, oleh pedagang patung yang mendongkol, disebut Peekay -PK (orang mabuk). Namun tidak seperti sebelumnya, kelucuan-kelucuan yang kali ini hadir terasa mencekam, sebab Khan menyerempet-nyerempet hal yang bukan hanya sensitif, tapi juga tabu -bagi pemeluk Hindu (dan Sikh) di India.
Saya menonton PK, dan dua jam 33 menit kemudian, ingatan saya tidak hanya melayang ke Paris, ke kantor redaksi Charlie Hebdo yang penuh lubang bekas peluru dan lantainya digenangi darah itu, tapi juga ke berbagai peristiwa terkaitpaut upaya pembelaan terhadap Tuhan, Ketuhanan, serta agama dan tiap prinsipnya, di dekat-dekat kita. Kaum-kaum yang mengangkat diri sebagai pembela Tuhan dan penyelamat agama. Kaum yang kerapkali dengan ringan menuding pihak lain sebagai pendosa seolah-olah mereka sendiri sudah menjadi Tuhan.
Di bioskop-bioskop di seluruh India, PK, oleh kaum pembela Tuhan, dipaksa turun layar. Rakyat India menolak. PK jadi film laris. Dibiayai 13 juta dolar, sejak naik layar 19 Desember 2014 lalu, film ini telah meraup pendapatan 96 juta dolar. Khan bilang, India tidak akan dikutuk Tuhan hanya karena menonton film.
Sementara 12 (orang yang dituding sebagai) pendosa itu telah terkapar di Paris. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan lainnya di kolong langit mengalami nasib serupa. Sebagian warga dunia menyambut riuh aksi "pembalasan" ini: para pendosa memang harus mati! Sebagian lain, termasuk di Indonesia, mengecam. Dan menggugat. Haruskah para penggambar kartun cabul membayar kedunguannya dengan nyawa? Haruskah eksekusi dilakukan dengan meneriakkan nama Tuhan?
Pihak-pihak yang mengecam aksi "pembalasan" pada umumnya berhenti pada titik ini. Mereka menutup mata pada fakta, tidak mempertimbangkan bahwa penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi Allah, Muhammad SAW, dalam bentuk apapun, bagi umat Islam, tak dapat ditolerir. Toleransi dalam Islam, terkait hal ini, tidak dapat dipaksakan untuk sebanding dan senafas dengan toleransi "barat", dengan demokrasi. Kebebasan ada batasnya dan apa yang dilakukan Charlie Hebdo, telah berada di luar batas itu.
Apakah karenanya pembunuhan jadi termaklumkan? Tentu saja tidak. Manusia, siapapun dia, tak memiliki hak untuk mencabut nyawa manusia lainnya. Jika pun darah ternyata bisa jadi halal, itu dikarenakan segala kemungkiman, seluruh jalan, untuk menyelesaikan persoalan secara damai, memang sudah betul-betul tertutup. Apakah Charlie Habdo sudah benar-benar kelewat dungu hingga tak dapat lagi diingatkan dan dituntut ke arah yang lebih terang? Bisa jadi demikian. Tapi bisa saja tidak.
Tuhan tak perlu dibantu dan dibela, kata Aamir Khan. Atas tiap-tiap pengingkaran, terhadap diri-Nya, terhadap ajaran dan mahluk-mahluk pilihan-Nya, Ia punya kuasa yang jauh lebih hebat untuk murka.@aguskhaidir
