Ngopi Sore
Menjadi Satria Baja Hitam: Nekat Bersaing dengan Jurus Mendadak
Pemerintah kita telah melakukan hal-hal besar untuk menyambut MEA, namun alpa terhadap perkara-perkara yang terkesan sepele.
SIAPAPUN yang menjalani masa kanak-kanak di akhir 1990an tentu tak asing dengan kata ini. "Berubah!", dan sosok lelaki tampan itu pun menjelma sosok superhero yang hampir-hampir tak terkalahkan, Kamen Rider.
Masih merasa asing? Tentu saja, karena nama Kamen Rider tidak pernah muncul di Indonesia. Stasiun televisi yang menayangkannya, barangkali lantaran semangat nasionalisme, mengalihbahasakannya menjadi Satria Baja Hitam.
Saya tidak bermaksud membahas secara mendetail perihal superhero Jepang ini. Hanya saja, bagaimana proses penjelmaannya yang demikian sekonyong-konyong, demikian mendadak, belakangan banyak dikaitpautkan dengan proses-proses kehidupan negara dan bernegara. Termasuk di antaranya dalam menyikapi program-program raksasa, salah satunya ASEAN Ekonomic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN atau sering disingkat MEA, yang direncanakan "meluncur" akhir 2015 mendatang.
MEA mulai digagas sejak Desember 1997. Saat itu, dalam penyelenggaraan KTT ASEAN di Kuala Lumpur, para pemimpin negara-negara ASEAN memutuskan untuk mengubah wajah kawasan ini menjadi lebih stabil, makmur, dan kompetitif dalam menghadapi perkembangan ekonomi global secara adil merata. Konkretnya, langkah ini diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi di ASEAN.
Rencana awalnya MEA akan diberlangsungkan mulai 2020. Namun pada perkembangannya, tepatnya pada pertemuan menteri ekonomi ASEAN di bulan Agustus 2006, disepakati untuk memajukan jadwal tersebut. MEA dianggap sudah sangat mendesak. Hingga jika tetap berpegang pada rencana semula, ASEAN akan semakin tertinggal dari kawasan-kawasan lain.
Pertanyaannya, siapkah Indonesia? Saya tentu tidak punya kapasitas untuk memberi jawaban secara eksplisit. Namun secara umum, kita punya masalah besar. Masalah mendasar yang nyaris tidak mungkin diubah dengan proses penjelmaan Satria Baja Hitam. Yakni Sumber Daya Manusia (SDM).
Saya pernah mempunyai pengalaman empiris yang agak mengenaskan. Beberapa pekan lalu saya mendatangi Danau Toba. Di Parapat, saya membeli buah tangan berupa buah mangga. Saat menanyakan harga, alangkah terperanjatnya saya mendengar harga yang ditawarkan si pedagang.
Memang, adalah wajar apabila harga-harga barang dagangan di lokasi wisata lebih mahal dari harga pasaran. Namun tentu saja tetap tidak dapat dimaklumi apabila harga tersebut melesat sangat jauh dari harga yang semestinya.
Keterkejutan saya belum selesai. Tatkala kawan saya menawar harga tersebut, dengan menggunakan bahasa daerah, harga dari si pedagang langsung menukik turun.
Saya kemudian bertanya-tanya, jika saya yang membeli dengan menggunakan bahasa Indonesia saja ditekan begitu rupa, bagaimana dengan turis-turis mancanegara?
Orang-orang yang berpikiran seperti pedagang buah di Parapat ini tidak sedikit. Tersebar bukan cuma di kawasan Danau Toba dan sekitarnya, tidak cuma di Sumatera Utara, tapi di seluruh Indonesia. Mereka yang masih berpikiran kuno, yang tidak sadar bahwa zaman sudah bergeser ke era digital dan jejaring sosial. Keberengsekan seperti ini dengan mudah menyebar ke berbagai penjuru dunia dan menjadi promosi yang buruk bagi Indonesia.
Pemerintah kita telah melakukan hal-hal besar untuk menyambut MEA dan berkecimpung di dalamnya. Namun alpa terhadap perkara-perkara seperti ini. Perkara yang terkesan sepele tapi sungguh penting dan akan berakibat fatal apabila tetap diacuhkan.
MEA memerlukan kebijakan-kebijakan spesifik yang setidaknya mencakup lima poin, yakni competition policy, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, E-Commerce, dan consumer protection. Empat yang pertama, seperti saya sebut sebelumnya, barangkali sudah direncanakan terperinci. Tapi tidak yang terakhir. Bagaimana costumer merasa terlindungi jika yang mereka hadapi justru ketidaksantunan dan ketidakjujuran?
Kesantunan dan kejujuran melahirkan trust, kepercayaan. Jika tidak, sehebat apapun upaya pemerintah hanya akan berakhir pada kesia-siaan.
Nah, yang jadi persoalan adalah, mengubah padigma ini sangat tidak mudah. Dan juga butuh waktu yang tak singkat. Tidak bisa melalui proses penjelmaan yang jurus sekonyong-konyong, yang serba mendadak. Jika pemerintah kita tetap acuh, tetap berjalan dan yakin tidak ada ganjalan, itu namanya nekat. Sungguh nekat.
Twitter: @ryanjuskal