Catatan Sepakbola
PSMS dalam Kenangan
Mamek menendang ke pojok kanan gawang Sobur. Bola gantung setinggi dada dan Sobur bergerak ke arah yang salah. Gol! Senayan bergemuruh seakan runtuh.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SAYA cuma ingin bercerita tentang satu kenangan yang tiba-tiba bangkit dari bilik ingatan. Kenangan menyangkut PSMS. Seorang kawan di Facebook menulis, tepatnya mengingatkan, betapa pada 23 Februari 32 tahun silam, PSMS menekuk Persib di babak final Kompetisi Divisi Utama Perserikatan.
Maka begitulah. Dengan cepat kenangan tersebut menyusun adegan demi adegan yang dimulai ruang keluarga rumah saya. Ayah saya duduk di depan televisi yang sedang menayangkan pertandingan sepakbola. Beliau begitu bersemangat. Berteriak-teriak. Kadang melompat-lompat. Bahkan sesekali menghardik seraya menuding-nuding pemain salah satu klub yang bertanding, yang mengenakan kostum berwarna biru.
Saya heran. Ayah saya bukan penggila sepakbola. Beliau menyukai sepakbola, namun kadar kesukaannya terhadap olahraga ini masih di bawah bulutangkis. Sepanjang yang saya tahu sampai saat itu, beliau selalu menonton pertandingan sepakbola dengan kalem. Paling-paling cuma berdecak kagum, paling-paling cuma tertawa, atau bertepuk tangan.
Berbeda dibanding saat menonton bulutangkis. Beliau pernah memaki-maki Lim Swie King yang dianggapnya gegabah lantaran tidak memanfaatkan dua kesempatan deuce saat menghadapi Luan Jin di final Piala Thomas 1986 di Jakarta. Akibatnya, Indonesia kalah dari China.
Namun hari itu saya melihat hal yang berbeda. Ada apa? "Ini PSMS," kata ayah saya. Lalu darinya melesat cerita-cerita tentang PSMS. Tentang nama-nama yang asing di telinga saya: Ramli Yatim, Ramlan Yatim, Jusuf Siregar, Parlin Siagian, dan juga satu nama yang disebutnya dengan nada suara girang. Nama yang kalau dibaca dari arah belakang pun akan tetap sama, Nobon.
"Ini bek yang hebat. Main keras. Bola boleh lewat, orangnya tidak," kata ayah saya.
Melulu karena tertarik pada cerita ayah saya ikut menonton. Alamakjang, baru saya sadari betapa penonton laga ini banyak betul. Sampai meluber ke pinggir lapangan. Persis pertandingan yang sering saya lihat di lapangan sepakbola Desa Puyung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, tempat saya tinggal waktu itu.
Lucu sekali. Sebab pertandingan yang disiarkan di televisi tersebut adalah pertandingan final kompetisi level tertinggi sepakbola nasional. Belakangan saya tahu, jumlah penonton mencapai 125 ribu orang. Bahkan ada yang menyebut 150 ribu orang. Jumlah yang hanya kalah dari penonton pertandingan final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Brasil.

Pertandingan ternyata seru. Bahkan sangat seru. Dan teriakan-teriakan ayah saya, juga ibu saya yang ikut menonton, membuat saya jadi terbawa-bawa tegang. PSMS yang telah unggul 2-0 lewat dua gol M Sidik dipaksa memainkan laga yang lebih panjang karena Persib menyamakan skor melalui lesakan Iwan Sunarya dan mega bintang mereka, Adjat Sudrajat.
Dan apa boleh buat, pemenang pun mesti ditentukan dengan adu penalti. Drama yang berulang. Dua tahun sebelumnya, PSMS melawan Persib di final kompetisi yang sama juga mesti diakhiri dengan adu penalti. PSMS, kata ayah saya, menang lantaran dua alasan: ketidaksiapan pemain-pemain Persib dan kepiawaian Ponirin Meka, kiper PSMS, membaca arah tendangan penalti.
Kiper PSMS sore itu masih Ponirin. Sejumlah penendang penalti di kedua kubu juga masih sama. Terutama di kubu Persib. Empat pemain yang merupakan pemain-pemain nasional: Adjat Sudrajat, Adeng Hudaya, Iwan Sunarya, dan Robby Darwis, disiapkan sebagai algojo. Satu pemain lagi saya tidak ingat. Antara Dede Iskandar atau Sukowiyono. Mungkin juga Kosasih.
Pastinya, dari PSMS, para penendang tidak ada yang benar-benar meyakinkan. Setidaknya begitu pendapat ayah saya. M Sidik, pencetak dua gol, justru ditarik keluar di babak perpanjangan waktu, digantikan pemain bernama Mamek Sudiono. Ayah saya tidak tahu siapa dia. Maklum, Pulau Lombok jauh dari Medan. Dan Harian Kompas, satu-satunya surat kabar yang masuk ke NTB di masa itu, jarang-jarang memuat berita tentang PSMS kecuali hasil-hasil pertandingannya.

Skor 3-3 setelah tiga penendang Persib dan dua penendang PSMS gagal mencetak gol. Ponirin menahan penalti Robby Darwis, Iwan Sunarya, dan Adeng Hudaya. Sedangkan cocoran Sunardi B dihempang Sobur dan tendangan Amrustian, kapten kesebelasan, melambung di atas mistar. Satu gol Persib dan PSMS masing-masing dicetak Adjat Sudrajat dan Musimin.
Penendang keempat PSMS adalah Mamek Sudiono. Jika berhasil mengatasi Sobur, PSMS menang. Stadion Utama Senayan mencekam. Ribuan suporter Persib mencoba memprovokasi. Ribuan suporter PSMS cemas. Tidak sedikit yang menutup matanya. Sebagian barangkali tak yakin. Termasuk satu orang yang menyaksikan laga itu di layar televisi di Desa Puyung, Pulau Lombok, ribuan kilometer dari Jakarta.
Mamek menendang ke pojok kanan gawang Sobur. Bola gantung setinggi dada dan Sobur bergerak ke arah yang salah. Gol! Senayan bergemuruh seakan runtuh. Saya ingat betul waktu itu melihat bagaimana ayah saya bersorak-sorak, lalu menangis, dan saya menganggapnya konyol sekali. Cuma begitu saja, kok, ya, sampai menangis segala, pikir saya. Ada-ada saja.