Mengagetkan, Politisi Maruarar Sirait Sebut Jokowi Memang 'Boneka' tapi Bukan 'Boneka' PDIP
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Maruarar Sirait menegaskan, Presiden Joko Widodo bukan lah boneka partainya.
TRIBUN-MEDAN.com - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Maruarar Sirait menegaskan, Presiden Joko Widodo bukan lah boneka partainya.
Hal ini disampaikan Maruarar menjawab survei yang dirilis oleh Indobarometer.
Baca: Anak Diculik Untuk Dijual Organ Tubuhnya? Ini Pengakuan Pelaku yang Tertangkap
Baca: Luar Biasa Edan, Para Pemuda Bejat Ini Siarkan Langsung Pemerkosaan via Facebook Gadis 15 Tahun
Baca: Aming Ngotot Cerai tapi Masih Cium Istri, Kuasa Hukum Evelyn: Lucu, Sudah Talak Masih Ciuman
Berdasarkan survei yang dirilis Rabu (22/3/2017) itu, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo selama 2,5 tahun memimpin sebesar 66,4 persen.
Baca: Hakim Tanya ke Anggota Dewan Wanita Ini: Sekolah Dulu Mengarang Dapat 10 Ya? Bagus Benar
Baca: Ahaii, Beredar Foto Nikita Willy Dalam Pangkuan Indra Priawan, Apa Cerita Nih?
Baca: Misteri Terkuak, Alasan di Balik Bunga Zainal Tutupi Wajah Suami, Ada Hubungannya Pindah Agama?
Sebanyak 32 persen menyatakan belum puas kinerja pemerintah. Sebanyak 12,3 persen publik yang tak puas menilai kebijakan Jokowi hanya menguntungkan pihak tertentu. Sebanyak 9,9 persen lainnya merasa tidak puas karena menganggap Jokowi sebagai boneka PDI-P.
Namun Maruarar mengatakan, Jokowi lebih pantas disebut boneka rakyat karena hanya taat pada konstituen dan konstitusi.
“Pak Jokowi dibebaskan menjalin hubungan dengan siapa saja dan negara manapun tanpa terikat pada satu negara tertentu. Tidak ada kekuatan dominan. Keseimbangan tetap terjaga," kata Maruarar kepada Kompas.com, Kamis (23/3/2017) malam.
Baca: Jadwal Lengkap MotoGP 2017 dan Ini Pembalap yang Diprediksi Bakal Menang
Baca: 6 Fakta Mengejutkan Sidang Korupsi e-KTP, Anggota DPR Menangis dan Arahan Suap Setya Novanto
Maruarar mengatakan, banyak contoh kebijakan yang menunjukkan Jokowi tidak bisa diintervensi oleh pihak luar. Misalnya, dalam pergantian Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Mulai dari Presiden Abdurrahman Wahid sampai ke Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di TNI selalu dipilih secara bergiliran di antara matra yang ada.
Pada era SBY, Panglima TNI adalah Jenderal Moeldoko dari TNI Angkatan Darat. Sesuai tradisi, harusnya Panglima TNI yang dipilih Jokowi adalah dari matra Angkatan Udara.
Namun, Presiden Jokowi lebih mempertimbangkan kapasitas dan memilih Gatot Nurmantyo yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dari TNI AD.
"Pak Gatot bagus kepercayaan publiknya,” katanya.
Menurut Maruarar, hal yang sama juga terjadi saat Jokowi memilih Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Jokowi tidak memilih berdasarkan senioritas angkatan seperti tradisi selama ini.
Jokowi memilih berdasarkan kapasitas dan menunjuk Tito Karnavian. Sebab, Tito dianggap berprestasi selama menjabat Kepala Detasemen Khusus (Desus) 88 Antiteror, Kapolda Papua, dan Kapolda Metro Jaya.
"Kalau Pak Jokowi salah pilih, kepercayaan publik enggak akan setinggi ini," ucap Anggota Fraksi PDI-P di DPR ini.
(Kompas.com/Ihsanuddin)
***