Tribun Ramadan
Bulan Puasa 60 Tahun Lalu
Yang sangat istimewa adalah bulan puasa telah menjadi bulan yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak sekolah saat itu karena pada bulanpuasa semua anak...
Baju baru bagi saya dan kakak saya dijahit sendiri oleh ibu saya. Saya masih ingat ibu selalu membuat patroon (pola ukuran baju) terlebih dahulu dengan menggunakan kertas koran bekas. Dengan patroon itulah, kemudian ibu memotong bahan yang akan dibuat menjadi celana dan baju lebaran. Setiap Lebaran, saya dan kakak saya mendapat baju baru hasil jahitan ibu sendiri.
Di bulan puasa itu, saya dan kakak saya harus membantu banyak hal untuk persiapan Lebaran. Ibu antara lain selalu membuat kacang bawang, yang prosesnya kacang tanah direndam air mendidih dan setelah agak dingin menjadi tugas saya dan kakak saya mengupas kulitnya untuk kemudian di goreng menjadi kacang bawang.
Ibu juga selalu membuat rendang. Nah, kala itu tidak ada yang menjual santan atau kelapa yang sudah diparut, saya dan kakak saya bertugas mengukur kelapa dengan alat yang sekarang sudah tidak ada lagi. Sebuah bangku yang agak panjang yang di ujungnya ditanam besi melengkung yang di ujungnya terdapat lengkungan bergerigi tempat kelapa dikukur.
Kelapa masih dengan batoknya dibelah dua dan masing-masing kemudian digoyang-goyang pada ujung bergerigi dari alat parut yang di bawahnya ditampung dengan baskom.
Beberapa waktu setelah itu, ada alat parut yang lebih maju, yaitu sebilah papan dengan banyak paku pada satu sisinya. Kelapa di kupas terlebih dahulu kemudian baru diparut.
Biasanya, karena ingin berhemat agar kelapa dapat diparut hingga sisa terakhirnya, tidak jarang telah menyebabkan tangan yang memegang turut terparut dan berdarah. Ada kalanya pada sisa akhir yang dianggap tidak bisa diparut lagi akan menjadi rebutan karena boleh dimakan. Tidak ada jalan lain, bila tidak memarut kelapa, maka tidak akan ada rendang untuk Lebaran.
Setiap malam takbiran, ibu saya tidak tidur menyiapkan ketupat untuk lebaran di pagi harinya. Ibu saya memasak ketupat seorang diri, saya dan kakak saya diajarkan membantu mengisi beras ke dalam bungkus ketupat yang terbuat dari daun kelapa.
Bungkus ketupat daun kelapa itu di beli di Pasar Petojo bersama dengan kebutuhan dapur lainnya menjelang Lebaran.
Saya masih ingat pelajaran mengisi beras ke dalam bungkus ketupat yang harus berisi tiga perempatnya saja karena ibu saya bilang setelah dikukus nanti beras akan membesar dan menjadi nasi ketupat yang padat dalam bungkusannya.
Demikian pula kue lebaran, ibu saya membuat sendiri dari mulai adonan untuk membuat kue kering hingga memanggangnya di oven yang masih sangat sederhana.
Oven diletakkan di atas kompor dan di atas oven ada tatakan kaleng untuk menempatkan arang yang dinyalakan agar kue yang dipanggang mendapat panas juga dari atasnya.
Arang-arang ini juga digunakan untuk menyetrika pakaian. Alat setrika di kala itu memang masih menggunakan arang.
Ketupat dikukus dengan dandang yang diisi air di dalam tempat kukusan terbuat dari anyaman bambu. Adapun rendang dibuat dalam penggorengan besar yang harus diaduk-aduk terus-menerus agar tidak gosong di bagian bawahnya.
Setengah jalan saat sudah matang akan diangkat sebagian menjadi "kelio" adonan yang masih banyak kuahnya. Sebagian lainnya terus dipanggang sambil diaduk-aduk hingga kering dan menjadi "rendang".
Nah, dalam mengaduk-aduk inilah, saya dan kakak saya bertugas bergantian dari sejak awal hingga menjelang matang dan kering menjadi rendang yang kemudian diambil alih oleh ibu saya.
Kenangan manis yang tak terlupakan dari kegiatan di bulan puasa lebih kurang 60 tahun lalu. Kegiatan yang tidak lagi dialami anak-anak sekarang yang sudah banyak dilengkapi peralatan yang serba listrik, modern dan praktis. Peralatan yang jauh lebih memudahkan sebagai hasil dari kemajuan teknologi. (*)
