Semua Masyarakat Dipaksa Masuk BPJS tapi Kok Tega Mempersulit, Tak Ada Sensitivitas Kemanusiaan

Kecewa atas rencana kebijakan BPJS tidak lagi menanggung pengobatan atau mengurangi jadwal terapi.

bpjs-kesehatan.go.id
BPJS Kesehatan. (bpjs-kesehatan.go.id) 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Pasien peserta kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini nasibnya semakin tidak jelas.

Penderita penyakit gawat, semacam stroke yang tengah menjalani pemulihan di instalansi rehabilitasi medik di berbagai rumah sakit, misalnya, hanya dapat pasrah.

Mereka kecewa atas rencana kebijakan BPJS tidak lagi menanggung pengobatan atau mengurangi jadwal terapi.

"Hanya bisa pasrah kehendak Tuhan. Binggung ya. Kecewa juga. Liat nanti saja," ujar seorang pria yang sedang menjalani pemeriksaan di Rehabilitasi Medik RSU Pirngadi Medan.

Beberapa hari lalu, Harian Tribun Medan/Tribun-Medan.com mengunjungi ruang Rehabilitasi Medik RSU Pirngadi Medan.

Tampak lengang ruang itu, hanya ada beberapa pasien stroke menjalani perawatan terapi pemulihan tubuh.

Baca: Pamer Penginapannya di Yunani, Tasya Kamila Mengaku Vilanya Terlalu Besar untuk Mereka Berdua

Baca: Bernostalgia dengan Masa Lalu, Ini Dia 5 Handphone Jadul yang Pernah Jadi Idola di Zamannya

Baca: Indra J Piliang Bereaksi soal Jenderal Kardus, Berikan Data TPS dan Anggaran yang Digunakan

Baca: Viral, Foto-foto Pernikahan Beda Usia 30 Tahun di Sulawesi, Sang Kakek Beri Mahar Rp 1 Miliar

Baca: Tanpa Perawatan Dokter, Anda Bisa Kurangi Bintik Hitam di Wajah dengan 4 Bahan Sederhana Ini

Baca: Hotman Paris Terpaksa Tinggalkan Syahrini demi Hadiri Launching Produk Gibran Putra Jokowi

Perawat tampak sigap melakukan pengobatan.

Keluarga pasien menunggu di ruang yang disediakan.

Tapi, pasien yang berobat hanya hitungan jari, tidak banyak.

Umumnya pasien mendapatkan perawatan terapi sinar laser.

"Selalu rutin berobat di sini usai stroke supaya badan kayak dulu (fit). Tapi sudah mulai berkurang kunjungan dari satu pekan tiga kali, jadi dua kali. Cuma masih dilayani BPJS Kesehatan," kata pria yang sedang duduk di bangsal.

Usai melihat ruang untuk pengobatan atau terapi penyembuhan stroke, kemudian, Tribun Medan/Tribun-Msdan.com, melihat ruang terapi bicara yang sunyi.

Ada beberapa pasien anak-anak terlambat bicara diterapi.

Kemudian, orangtua paruh baya yang dilatih berbicara sembari baca koran.

Selanjutnya, melihat ruang tumbuh kembang anak kosong melompong.

Beberapa alat medis serta matras tegal tersusun rapi. Meskipun demikian, semua ruangan rehabilitasi medik di RSUD Pirngadi rapi serta bersih.

Baca: Al Ghazali Masuk Rumah Sakit, Republik Cinta Management Bantah Kabar Overdosis yang Beredar

Baca: Prabowo-Sandiaga Uno Menang Telak di Polling Twitter, Faizal Assegaf Sebut Ada Mobilisasi Voting

Baca: Ratna Sarumpaet Sebut Kiai Maruf Amin Sudah Uzur dan Sakit, Politisi PDI:Serangan yang Keji

Baca: Partai Gerindra Akhirnya Wanti-wanti Wakil Sekjen Partai Demokrat soal Mahar Politik Rp 500 Miliar

Baca: Menilik Rumah Mewah Sandiaga Uno, Cawapres Prabowo yang Disebut-sebut Beri Mahar Rp 500 M

Baca: Via Vallen Kembali Aktifkan Akun Instagram, Begini Postingan Pertamanya

Kebijakan baru yang dikeluarkan Direktur BPJS Kesehatan mengenai pembatasan operasi katarak, persalinan ibu dengan bayi lahir sehat serta rehabilitasi medik menuai kontroversi.

Untuk katarak BPJS Kesehatan hanya mau membiayai pasien dengan gangguan penglihatan sedang atau parah.

Bila gangguan penglihatan ringan, maka biaya pengobatan tak ditanggung BPJS.

Perubahan lainnya, layanan persalinan ibu dengan bayi lahir sehat di mana hanya biaya kesehatan ibu yang ditanggung.

Tidak bagi anak termasuk di dalam pembiayaan dokter anak.

Untuk layanan rehabilitasi medik, sudah dibatasi dari satu pekan tiga kali menjadi dua kali.

Catatan lainnya, rumah sakit harus punya spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik (SpKFR).

Jika tidak punya, rumah sakit tidak dibolehkan mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan.

Alhasil, kebijakan ini mengakibatkan beberapa rumah sakit jadi lengang.

Baca: Menilik Potret Cantiknya Via Vallen saat Saksikan Laga Final Piala AFF U-16

Baca: Mengulik 10 Fakta tentang Isabela Moner, Pemeran Dora The Explorer Di Film Layar Lebar

Baca: Menyasar Tudingan Mahar Politik Rp 500 Miliar, Rustam Ibrahim Beri Saran Menohok pada Andi Arief

Baca: Mengulik 5 Fakta Mengenai Momo Challenge yang Sedang Viral dan Bisa Sebabkan Kematian

Baca: Umumkan Jadian, Jessica Iskandar Sebut Sosok Ini yang Jadi Mak Comblangnya dengan Richard Kyle

Baca: Idul Adha, Beginilah Hukum Berkurban untuk Orang yang Telah Meninggal Dunia

Baca: Terkuak Motif Yenik Sofariana Buang Bayinya dan Bersandiwara, Tonton Videonya

Para pasien di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Adam Malik merasa waswas rencana BPJS Kesehatan yang tidak menanggung perawatan.

Bahkan, mereka sudah mendengar pengurangan jadwal kunjungan.

"Gila BPJS Kesehatan. Semua masyarakat dipaksa harus masuk BPJS Kesehatan namun dipersulit. Cemana (bagaimana) sebenarnya pengelolaan dananya. Jangan pula sekarang dipersulit," ujar Yuniar Pardosi, keluarga pasien.

Ia menceritakan, sejak beberapa tahun lalu, rutin membawa Siti Lumbanraja (88), ibundanya, untuk fisioterapi di Rehabilitasi Medik RSUP Adam Malik.

Karena itu, dia telah merasakan manfaat kemudahan gunakan BPJS Kesehatan.

Selain itu, banyak keluarga pasien tak setuju atau menolak kebijakan Direktur BPJS Kesehatan yang tidak menanggung tiga pelayanan medik.

Seperti operasi katarak, persalinan bayi yang lahir sehat dan rehabilitasi medik.

Warga Indonesia tidak gratis alias bayar iuran BPJS Kesehatan sehingga negara harus berikan pelayanan apik.

Apalagi sektor kesehatan sangat penting bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

"Sudah lama orangtua di fisioterapi dan kami pasien lama. Hampir semua petugas medis sudah kenal. Kaki orangtua sakit, tidak bergerak sehingga harus mobilisasi alias tak boleh tidur saja," kata Yuniar

Dalam sepekan, dua kali membawa orangtuanya terapi medik.

Ia berulangkali menyebutkan BPJS Kesehatan tak punya sensitivitas kemanusiaan lantaran tega memangkas pelayanan kesehatan.

"Aduh gila. BPJS gila dan tega. Rugi mereka, kami yang terlantar. BPJS Kesehatan itu apa? Bagaimana mau berobat untuk makan saja sulit," ujarnya.

Kebutuhan Khusus

Yuniar berujar, paling menyedihkan bila melihat anak-anak berkebutuhan khusus tak lagi mendapatkan pengobatan di instalasi rehabilitasi medik.

Selanjutnya, rencana pengurangan jadwal terapi.

"Kalau orangtua saya memang sudah tua jadi sepekan dua kali. Tapi bagaimana orang-orang yang butuh pelayanan sepekan tiga kali seperti orang yang baru keluar operasi?" katanya.

Seorang pegawai di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Adam Malik yang menolak identitasnya dipublikasi menyebutkan BPJS Kesehatan tidak menanggung pelayanan medis di rumah sakit yang enggak punya dokter spesialis rehabilitasi medik.

"Bagi rumah sakit yang memiliki dokter spesialis rehabilitasi medik tidak dicabut pelayanannya. Tapi rumah sakit yang tak punya dokter spesialis sama sekali tidak boleh memberikan pelayanan," ujarnya.

Menurutnya bila kebijakan itu tidak ditinjau ulang, maka banyak rumah sakit milik pemerintah atau swasta di kabupaten/kota di Sumut tidak lagi punya instalasi rehabilitasi medik.

Pasalnya, dokter spesialis rehabilitasi medik teramat minim.

Meskipun demikian, kebijakan baru dari Direktur BPJS Kesehatan semakin memberatkan karena adanya pembatasan pasien yang melakukan rehabilitasi medik.

Dahulu dalam sepekan pasien tiga kali terapi tapi kini hanya dua kali.

"Rumah sakit milik pemerintah maupun swasta banyak juga yang tidak punya dokter spesialis rehabilitasi medik terkhusus di daerah. Sehingga distop sama sekali. Misalnya rumah sakit di Nias atau berbagai kabupaten/kota lainnya," katanya.

Pasien Menurun

Kepala Instalansi Rehabilitasi Medik, RSU Pirngadi Medan, dr Natalia Tianusa mengatakan, dalam sehari instalansi rehabilitasi medik melayani 40 sampai 60 pasien.

Jumlah itu berkurang dibanding beberapa tahun lalu yang mencapai 70 sampai 80 orang.

"Pasien terbesar adalah stroke. Kemudian berkurangnya jumlah pasien beberapa rumah sakit swasta telah melayani rehabilitasi medik," ujarnya.

Ia berpendapat berkurangnya jumlah kunjungan pasien rahabilitasi medik disebabkan adanya peraturan yang telah membatasi jumlah kunjungan terapi.

Dahulu dalam sepekan pasien bisa tiga kali terapi namun sekarang hanya dua kali dalam seminggu.

Kemudian, adanya peraturan dari pusat yang menegaskan satu instalansi medik di bawah dokter spesialis yang bertanggungjawab.

Oleh sebab itu, bila bekerja disatu institusi harus mengikuti peraturan yang telah diberlakukan.

Walaupun begitu, harus diakui dokter spesialis rehabilitasi medik masih sedikit di Sumut.

Selama ini tenaga dokter spesialis rehabilitasi medik masih tersebar merata di Pulau Jawa. Sedangkan, di Sumatera masih terbatas.

"Momentum ini untuk pemetaan kembali jumlah dokter spesialis rehabilitasi medik sesuai rumah sakit yang membutuhkan," katanya.

Instalansi Rehabilitasi Medik RSU Pirngadi juga memiliki pelayanan tumbuh kembang anak.

Jadi anak-anak kebutuhan khusus perlu penanganan yang komprehensif.

Gangguan yang dialami anak bervariasi seperti gangguan bicara.

"Dan terkadang ada gangguan merancang atau pengerjaan satu aktivitas yang dibutuhkan itu okupasi terapi. Sehingga, membantu satu aktivitas pekerjaaan. Seperti melatih makan yang butuh satu gerakan dan tidak ada di fisioterapi. Sehingga rahabilitasi medik kerja tim," ujarnya.

Selanjutnya, perlu juga psikolog untuk membantu motivasi dari keluarga maupun orangtua agar memahami gangguan perkembangan anak tak mudah.

Jadi butuh kerja sama antara tim di rumah sakit dengan tim keluarga di rumah.

Ia menjelaskan, terapi untuk anak berkebutuhan khusus di rumah sakit hanya butuh waktu satu jam. Sedangkan, 23 jam lagi dihabiskan di rumah bersama keluarga. Oleh sebab itu, proses tumbuh kembang anak terus dievaluasi.

Bila seorang anak mengalami gangguan ringan dengan tingkat kecerdasan anak yang cukup bagus terapi tak butuh waktu lama.

Tapi semua dilakukan penilaian ketika pra sekolah.

Jika memungkinkan masuk ke pra sekolah dan pihak sekolah menerima. Lalu pelan-pelan bisa masuk untuk lingkungan.

"Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus dipersiapkan hidup normal di lingkungan masyarakat. Tapi adapula sampai 9 atau 10 tahun pulihnya jadi tergantung kecerdasan anak. Kalau kita anggap sudah maksimal dan keluarga telah disiapkan untuk memberikan edukasi selanjutnya apa yang ingin dicapai? Ya misalnya tiga bulan sekali harus dievaluasi perkembangan di rumahnya," ungkapnya.

Wakil Direktur I Rumah Sakit Umum, Djasamen Saragih Siantar, dr Harlen Saragih mengaku banyak pengunjung yang terkejut dengan pemberlakuan aturan baru BPJS Kesehatan.

Ia merasa kasihan karena tidak sedikit pasien mengeluhkan kebijakan baru tersebut.

"Kita prinsipnya sebagai rumah sakit tetap melayani. Meskipun tidak lagi ditanggung BPJS," ujarnya, Senin (13/8).
Harlen mencontohkan seperti pasien yang melahirkan. Seluruh pasien BPJS yang biasanya dirujuk, kini sudah tidak lagi. Begitu juga dengan pasien fisioterapi. "Kalau yang bersalin ini biasanya rujukan dari Puskesmas, rumah sakit tipe C lalu ke kami. Nah, karena sudah tidak BPJS lagi, tidak dirujuk ke mari lagilah,"ujarnya.

Ia juga menyinggung soal defisit anggaran yang terjadi di keuangan BPJS. Menurutnya, perlu ada perubahan peraturan.

Misalnya, keluarga yang menghasilkan Rp 5 juta ke atas harus tetap menggunakan premi kelas dua.

"Ini kan subsidi silang. Kok orang kaya bayar premi kelas tiga,"tambahnya.

(tio/tom/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved