Korupsi Massal, KPK Tetapkan 41 dari 45 Anggota DPRD Malang sebagai Tersangka Suap
Sebanyak 22 orang yang ditetapkan tersangka diduga menerima fee berkisar antara Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta
"Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, dan barang elektronik (terkait dugaan tersebut),"
TRIBUN-MEDAN.com - Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang berstatus tersangka suap.
Mereka ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, uang suap dialirkan ke DPRD agar penetapan rancangan peraturan daerah Kota Malang tentang APBD-P Tahun Anggaran 2015 disetujui.
Sebanyak 22 orang yang ditetapkan tersangka diduga menerima fee berkisar antara Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton.
"Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, dan barang elektronik (terkait dugaan tersebut)," ujar Basaria, Senin (3/9/2018).
Baca: Ahok bakal Menikahi Polwan Dikabarkan Media Asing Asian Times, Prioritas setelah Bebas dari Penjara
Baca: Mahfud MD Terus Terang Menjawab Pertanyaan Pilih Jokowi atau Prabowo di Pilpres 2019
Baca: Kronologi Lengkap Tewasnya 3 Pelajar Perempuan di Perairan Danau Toba, Nanda Putri Selamat
Baca: Hotman Paris Menyasar Anies Baswedan, Curiga Ada Lobi Bos Taksi Pelat Kuning soal Ganjil Genap
Baca: Mahfud MD Blak-blakan Menyasar Mantan Ketua MK yang Sebut Gerakan 2019 Ganti Presiden Makar
Baca: Wanita Ini Unggah Foto saat Ayahnya Menemaninya ke Bar, Kisahnya Jadi Viral dan Bikin Iri
Baca: Menyasar Kicauan SBY, Sudjiwo Tedjo: Seandainya Kita Tahu Diri, Jangan Utang Saja Diingat
Mengkhawatirkan
Basaria menuturkan, kasus ini mengkhawatirkan dan menjadi cerminan kejahatan korupsi dilakukan secara massal.
Pasalnya, selain anggota DPRD sebagai pihak legislatif, kepala daerah dan pejabat pemerintahan daerah selaku eksekutif ikut terlibat.
"Pelaksanaan tugas di satu fungsi legislatif, misalnya atau untuk mengamankan kepentingan eksekutif justru membuka peluang adanya persengkongkolan para pihak mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi atau kelompok," ujar Basaria.
Menurut dia, situasi ini membuat peranan anggota legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, anggaran dan regulasi tidak berjalan maksimal.
Baca: Hotman Paris Lontar Pujian pada Perwira Polisi Kombes Herry yang Berani Tangkap Anak Konglomerat
Baca: Kamu Sering Mengonsumsi Minuman Bersoda? Ini 7 Bahaya yang Bakal Terjadi di Tubuhmu
Baca: Aksi Tengil Kevin Sanjaya di Final Bulutangkis Lawan China Bukan Tanpa Alasan
Baca: Kamu Sering Membiarkan Televisi Menyala saat Tidur? Waspada Bahaya Kesehatan yang Mengintaimu
Baca: Jawaban Menohok Via Vallen seusai Dibully lantaran Lip Sync Nyanyikan Theme Song Asian Games
Baca: Muridku Suamiku Guruku Istriku, Kisah Cinta Pengajar Fisika dengan Anak Didik Berujung di Pelaminan
Peristiwa ini juga membuat khawatr Wali Kota Malang terpilih, Sutiaji.
Sutiaji yang kini menjabat sebagai Plt Wali Kota Malang menyampaikan kegelisahannya itu kepada penyidik KPK di sela pemeriksaan dirinya di Aula Bhayangkari Mapolres Kota Malang, Jumat (31/8/2018) lalu.
"Saya menyinggung gini di luar pemeriksaan, ini nanti gimana kalau sudah enggak ada DPRD-nya. Ke depan ini dilantik, terus saya nyambut gaene model koyok opo (saya kerjanya kayak apa). APBD-nya 2018, berarti banyak hal yang perlu kami pikirkan," kata Sutiaji usai pemeriksaan.
Payung hukum
Menyikapi situasi itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan menggunakan diskresi untuk menjamin keberlangsungan roda pemerintahan di Kota Malang.
Menurut Tjahjo, akibat banyak anggota DPRD Kota Malang yang ditahan, maka rapat-rapat paripurna di lembaga perwakilan itu bersama pemerintah kota tak bisa terlaksana.
Baca: Resmi Jadi Pasangan Suami Istri, Ini Dia 7 Fakta Hubungan Kimberly Ryder dan Edward Akbar
Baca: Dewi Perssik Mulanya Berhonor Rp 250 Ribu saban Manggung, Sekarang Segini Besaran Tarifnya
Baca: PNS Setor Uang pada Mantan Istrinya dengan Uang Koin, Diharuskan Bayar Mutah Rp 178 Juta
Baca: Hotman Paris Blak-blakan soal Hubungan Terlarang 6 Tahun, Ada 6 Hal Terenak Bareng Artis
Baca: Ruhut Sitompul Lontar Komentar Menohok terkait Pengusiran Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet
Baca: Prabowo Beberkan Alasan Kenapa Mau Berpelukan dengan Jokowi dan Pesilat Hanifan
Baca: Ulik 10 Fakta Dua Mahasiswa Berhubungan Intim di Kelas hingga Membunuh Bayi dan Terciduk
Sebab, rapat paripurna tak memenuhi kuorum.
"Jadi, untuk mengatasi persoalan pemerintahan dan agar tidak terjadi stagnasi pemerintahan, akan ada diskresi Mendagri," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/9/2018).
Tjahjo menjelaskan, kewenangan Mendagri menggunakan diskresi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tjahjo akan menugaskan jajarannya dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah untuk bertolak ke Malang.
Opsi lainnya adalah mengundang sekretaris DPRD dan sekretaris daerah Kota Malang ke Jakarta.
“Saya sudah perintahkan membuat payung hukum agar pemda berjalan," kata dia.
Potensi korupsi berjamaah
Di sisi lain, Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai peristiwa ini menandakan praktik korupsi di daerah semakin menjadi persoalan tersendiri.
"Terlebih di kasus Malang, korupsi melibatkan kepala daerah dan puluhan anggota DPRD," kata Almas dalam pesan singkat, Senin.
Kasus ini menunjukkan tingginya potensi korupsi massal di daerah.
Ia juga melihat kasus ini cerminan kegagalan fungsi DPRD dalam menjalankan perannya, khususnya pada konteks pembahasan APBD.
Ia berharap peristiwa semacam ini jadi catatan utama bagi seluruh pihak, khususnya pembuat kebijakan untuk menutup celah-celah korupsi dalam pembahasan APBD antara eksekutif dan legislatif di daerah.
Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan melihat praktik semacam ini seharusnya bisa dicegah jika kepala daerah konsisten menggunakan sistem elektronik dalam perencanaan hingga penganggaran keuangan daerah.
Selain itu, kepala daerah juga harus proaktif melaporkan setiap proses penganggaran, khususnya jika ada hambatan-hambatan dalam pengesahan RAPBD di DPRD.
Pahala menyatakan, KPK siap membantu memfasilitasi proses itu agar berjalan lancar.
Sebab, kata dia, anggota DPRD bisa menyalahgunakan wewenangnya dengan menggunakan instrumen biaya ketuk palu yang dibebankan kepada kepala daerah apabila RAPBD itu ingin disahkan.
"Jadi, DPRD mengancam akan menahan APBD. Jika kepala daerah tidak kuat, keluar yang namanya uang ketuk," ujar Pahala dilansirHarian Kompas, Senin. (*)