Dokter Perbatasan dan IDI Buka-bukaan setelah Prabowo Sebut Gaji Dokter Kalah dari Tukang Parkir
Dokter Perbatasan dan IDI Buka-bukaan setelah Prabowo Sebut Gaji Dokter Kalah dari Tukang Parkir
TRIBUN-MEDAN.COM - Dokter Perbatasan dan IDI Buka-bukaan setelah Prabowo Sebut Gaji Dokter Kalah dari Tukang Parkir.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) Dr Daeng M Faqih buka suara terkait pidato calon presiden Prabowo Subianto yang menyinggung pendapatan dokter lebih rendah dibanding juru parkir.
Kepada Kompas.com Daeng mengaku memang tidak mengetahui berapa pastinya pendapatan yang dihasilkan juru parkir mobil.
Sebab itu, dirinya tidak dapat membandingkan dan memastikan pernyataan Prabowo tersebut.
Meski begitu, Daeng membeberkan bahwa pendapatan dokter umum yang ditugaskan di berbagai daerah masih banyak yang di bawah Rp 3 juta.
"Saya tidak tahu persis berapa pendapatan (juru) parkir. Yang saya tahu dari info yang disampaikan oleh teman-teman dokter di berbagai daerah, masih banyak dokter yang pendapatannya di bawah Rp 3 juta," kata Daeng kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Selasa (15/1/2019).
Daeng menjelaskan, dokter yang dimaksud adalah dokter umum dan merupakan PNS dengan golongan III A, atau yang masa baktinya di bawah lima sampai 10 tahun.
Pendapatan dokter golongan III A memiliki gaji pokok sekitar Rp 2,4 juta sampai Rp 2,7 juta dan ditambah jasa layanan dari kapitasi BPJS rata-rata sebesar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta.
"Jadi total Rp 2,9 juta sampai Rp 3,2 juta atau sekitar Rp 3,4 juta sampai Rp 3,7 juta," imbuhnya.
Jika tidak ada insentif dari Pemerintah Daerah, maka penghasilan dokter kurang dari Rp 3 juta.
Selain itu saat ini dokter umum semakin sulit untuk membuka praktik sore karena masyarakat banyak yang mengikuti BPJS atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Upah untuk dokter umum dengan dokter spesialis yang banyak ditemukan di perkotaan tentu saja berbeda.
Dokter spesialis memiliki penghasilan yang lebih tinggi, tapi jumlahnya pun tidak sebanyak dokter umum.
Kata dokter di daerah
Selain Daeng, salah satu dokter anonim yang pernah bekerja di Jawa Tengah juga bersedia angkat bicara terkait hal tersebut.
Menurutnya, masalah penghasilan dokter sebenarnya sangat subyektif dan tidak bisa digeneralisasi.
"Bisa saya katakan, ada dokter yang mendapat jasa medis tidak sesuai dengan yang seharusnya. Terutama (dokter) yang bekerja di klinik pratama BPJS," katanya kepada Kompas.com melalui pesan singkat Selasa (15/1/2019).
Ia mengungkapkan, umumnya gaji pokok hanya dimiliki oleh dokter yang bekerja di Rumah Sakit dan merupakan dokter full timer, atau setiap hari praktik di RS.
Sementara dokter jaga di RS dengan 15 sampai 20 shift kerja, dihitung sebagai dokter part timer dan tidak mendapat gaji pokok.
"Jadi gaji pokok biasanya ada di RS dan harus sebagai dokter full timer. Kalau di sebagian besar klinik BPJS tidak ada gaji pokoknya, setidaknya saya belum pernah menemukan klinik pratama BPJS yang menerapkan gaji pokok," imbuhnya.
Lantas, dari mana seorang dokter mendapatkan penghasilan? Ia mengatakan, penghasilan dokter berdasarkan dua hal yakni, jumlah pasien dan kebijakan RS atau klinik untuk jasa dokter per-pasien.
Ia menceritakan, beberapa klinik di Karanganyar, Jawa Tengah, dokter akan mendapat jasa Rp 3.000 untuk satu pasien yang datang.
"Ini saya temukan di tiga klinik berbeda di Karanganyar," ujarnya.
Ia melanjutkan, setiap shift atau biasa dijuluki uang duduk rata-rata dokter akan mendapat Rp 80 ribu.
Satu kali shift lamanya tujuh sampai sepuluh jam.
"Jadi memang teman sejawat yang bekerja di lini pertama BPJS terutama di klinik sering menyampaikan aspirasinya. Jasa medis dokter biasanya yang menentukan kebijakan masing-masing klinik, sehingga berbeda satu dengan yang lain. Tapi sebagian besar yang saya temukan rata-rata jasa dokter untuk satu pasien BPJS yang diperiksa adalah Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu," ungkapnya.
"Kalau di RS mungkin akan berbeda jasa medis per pasiennya, tapi tidak terlalu jauh berbeda. Biasanya Rp 15 ribu per pasien UGD."
Kepada Kompas.com, ada satu lagi dokter yang tidak mau disebutkan namanya bercerita tentang kisah pengabdiannya di daerah perbatasan.
"Sebenarnya tidak lebih kecil dari tukang parkir mobil juga. Hanya saja mungkin apresiasinya yang masih kurang," kata dokter tersebut mengawali kisahnya kepada Kompas.com, Selasa (15/1/2019).
Sama seperti dokter lainnya, narasumber Kompas.com tersebut juga menjalani Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) yang harus dilakukan semua lulusan kedokteran umum.
Ini merupakan program pemandirian dokter baru lulus (sudah lulus S1 dan lulus profesi, sudah memiliki gelar dokter) yang bertujuan untuk menyelaraskan hasil pendidikan di bangku kuliah dengan kondisi di lapangan.
"Kalau tidak (dilakukan) maka STR (Surat Tanda Registrasi) kami tidak bisa keluar," ujarnya.
STR dokter merupakan dokumen hukum atau tanda bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis bahwa yang bersangkutan telah mendaftarkan diri dan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia.
Baginya, PIDI sangat bagus untuk pemerataan tenaga dokter di berbagai wilayah.
"Hanya saja apresianya kurang. Semua dokter internsip hanya mendapat bantuan hidup dasar (BHD), yang mungkin nominalnya pada 2016 sekitar Rp 2,1 juta di pulau Jawa dan sekitar Rp 2,5 juta dari Kemenkes apabila ditempatkan di daerah terpencil atau sangat terpencil," ucapnya.
"Kami tidak wajib mendapat jasa di luar BHD, sehingga terkadang saudara sejawat kami ya hanya bergantung dari BHD itu saja," sambungnya.
Ia menuturkan, mungkin beban itu tidak terlalu menjadi masalah jika seorang dokter menjalani PIDI masih di pulau Jawa. Yang menjadi masalah adalah apabila ditempatkan di daerah terpencil dan hanya mendapat BHD.
Pasalnya, harga kebutuhan pokok di daerah luar pulau Jawa tidak selalu sama dengan di pulau Jawa.
Narasumber Kompas.com bercerita, saat PIDI ia ditempatkan di Kalimantan. Memang tiket perjalanan menuju tempat pengabdian disediakan oleh Kemenkes, namun setelah itu semua harus diupayakan sendiri, termasuk tempat tinggal.
"Mungkin ini sepele, tapi benar terasa kami seperti sendiri di sana. Sempat BHD belum datang di tiga bulan awal di kalimantan, (artinya) tiga bulan awal tanpa gaji. Ini bagi fresh graduate yang suddah tidak terima dana dari orangtua bisa jadi masalah, kita memang ada tabungan, tetapi itu sudah terpakai untuk modal awal cari rumah kontrakan sendiri, perabotan, dan lain lain," katanya.
"Pada akhirnya saya harus hutang sana sini hanya untuk makan, akhirnya semuanya dibayarkan rapel di bulan selanjutnya."
Beruntung, rumah sakit tempatnya bertugas memberi jasa di luar BHD yang menurutnya lebih dari cukup.
"Mengingat anggota PIDI tidak diwajibkan mendapat bantuan di luar BHD, bisa dibayangkan apabila gaji tiga bulan telat dan hanya bergantung pada BHD, ditambah mungkin dokter internsip bukan berasal dari keluarga kaya," ceritanya.
"Paradigma sebagian masyarakat bahwa dokter pasti dari kalangan orang kaya mungkin bisa menjadi masalah yang cukup serius," sambungnya.
Ia kembali menegaskan bahwa dirinya mendukung program internsip dari pemerintah untuk pemerataan tenaga dokter.
Namun ia berharap, hal tersebut lebih diapresiasi terutama kepada dokter yang bersedia ditempatkan di wilayah yang tidak diinginkan kebanyakan orang.
Hal ini tidak lain agar pemerataan tenaga dokter bisa terealisasi di seluruh wilayah Indonesia suatu saat nanti.
"Sekali lagi itu hanya gambaran pengalaman pribadi saya selama menjadi dokter dan belum tentu menggambarkan semua dokter," katanya.
"Saya tidak bermaksud menyalahkan pihak tertentu, saya mengerti sepenuhnya bahwa tenaga dokter sangat diperlukan, sehingga saya coba menjalaninya dengan baik, dengan apresiasi yang ada sekarang. Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi, salam saya dari perbatasan," tutupnya.
Harapan Ketua IDI terkait BPJS
Terkait BPJS dan JKN, Daeng mengungkapkan perlu adanya pembenahan.
Dalam hal ini dia memberikan dua usulan penting, yakni:
- Ada standar kompensasi atau reward yang layak dan bermartabat untuk dokter dan tenaga kesehatan lain.
- Revisi besaran kapitasi dan sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) JKN sesuai dengan nilai perekonomian.
Prabowo menyinggung masalah gaji dokter saat menyampaikan pidato bertajuk "Indonesia Menang" di JCC Senayan, Jakarta, pada Senin malam (14/1/2019).
Dalam kesempatan itu Prabowo juga berjanji akan memperbaiki keadaan tersebut jika nantinya memenangi Pilpres 2019.
Prabowo meyakini, dengan menaikkan gaji dokter dan tenaga kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia akan menjadi lebih baik.
"Dokter-dokter kita harus dapat penghasilan layak," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Prabowo Sebut Gaji Dokter Minim, IDI dan Dokter Daerah Angkat Suara"dan "Kisah Dokter di Perbatasan, Wajib Mengabdi Minim Apresiasi"
Penulis : Gloria Setyvani Putri