Putri Atikah Asah Nalar Kritis Dari Ruang Kelas

Saat ini, ia merasa khawatir dengan dunia pendidikan sebab budaya intelektual semakin rendah di lembaga pendidikan

Tribun Medan
Putri Atikah 

TRIBUN-MEDAN.com-Di era saat ini, kecakapan multiliterasi dari multiteks harus dikembangkan sehingga mahasiswa menjadi literat dan kritis terhadap fenomena sosial dan ragam informasi. Lebih lanjut, menumbuhkan berpikir kritis dilakukan dari ruang kelas.

Puteri Atikah, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri sekaligus Pelaksanaan Harian Yayasan PAUD Atikah menumbuhkan literasi mahasiswa dari ruang kelas. Ia menuntut mahasiswa untuk aktif berikan argumentasi.

“Sebagai akademisi, di kampus, saya selalu menuntut mahasiswa untuk aktif bertanya dan berargumentasi di ruang kelas. Hal ini dilakukan untuk mengasah kemampuan mereka untuk berpikir kritis,” ujarnya saat berbincang-bincang pada Tribun Medan/Tribun-Medan.com, Kamis (21/3/2019).

Meski begitu, argumentasi yang disampaikan mahasiswa harus berdasarkan fakta dan data. Metode ini, ia terapkan supaya ruang kelas bisa menjadi ajang kontestasi ide dan pemikiran, namun tetap berdasarkan azas-azas ilmiah.

“Azas-azas ilmiah yang menjadi ciri khas kaum intelektual,” katanya.

Saat ini, ia merasa khawatir dengan dunia pendidikan sebab budaya intelektual semakin rendah di lembaga pendidikan. Bahkan, diberbagai kampus, kelompok diskusi, club buku serta kegiatan akademisi makin minim.

Gambar mungkin berisi: 1 orang, tersenyum

Tapi, yang bermunculan di kampus malah organisasi yang berbasis etnis, agama,ras dan asal- usul daerah.

Lalu bagaimana kedekatan akademisi dengan data, fakta dan hasil penelitian ilmiah? Bila akademisi tak merujuk atau bahkan tidak percaya dengan data dan hasil penelitian ilmiah malah percaya hoaks dan mitos, pertanyaannya apakah lembaga pendidikan masih jadi sarang kaum intelektual.

“Sebagai pemilik sekolah saya berusaha membangun budaya literasi pada anak-anak di usia dini. Jadi, di sekolah saya, terdapat Kelompok Baca Keluarga. Di situ, orangtua didorong dan diajarkan untuk membacakan buku pada anak,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyusun setiap program dan kegiatan sekaligus menjalin hubungan baik dengan pihak keluarga siswa-siswinya.

"Saya punya kesempatan besar untuk memberi masukan kepada orangtua dari siswa-siswi TK tentang literasi. Orangtua harus membangun budaya literasi di rumah. Jadi orangtua seharusnya tidak hanya memaksa anak untuk dapat membaca di usia dini, tapi orangtua juga harus dapat membangun budaya membaca”.

Menurutnya, budaya literasi merupakan salah satu aspek penting dalam membangun budaya intelektual. Selanjutnya, kemajuan teknologi semakin memudahkan untuk bangun literasi.

Kemajuan tekonologi tidak perlu dibenturkan dengan budaya literasi. Malahan, teknologi dapat mendorong budaya literasi. Karena dengan adanya tekonologi kita bisa lebih mudah mengakses buku elektronik, jurnal ilmiah, bahkan hasil jurnalistik investigasi. Jadi teknologi harus digunakan untuk kepentingan yang produktif bukan hanya konsumtif.

Apakah gender sebagai perempuan cocok dengan dunia pendidikan? Tanya Tribun-Medan/Tribun-Medan.com? Ia menjelaskan, budaya patriaki, dan memandang perempuan sebagai mahluk irasional yang mengutamakan sisi emosional.

“Adakah hasil penelitian menunjukkan perempuan tidak mampu berpikir rasional seperti laki-laki ? Kalau tidak terbukti itu, maka anggapan itu hanya mitos bukan fakta. Nyatanya banyak ilmuan-ilmuan sukses berjenis kelamin perempuan. Artinya, jenis kelamin tidak dapat menghalangi orang untuk berpikir rasional,” katanya.

Ia berpendapat, kamampuan seseorang tidak datang dari lahir, tapi diasah melalui pengalaman hidup dan lingkungan sosialnya. Sedari kecil, ia kerap dibawa ke toko buku dan dibiarkan memilih sendiri majalah serta buku-buku.

“Apalagi, orangtua saya adalah dosen, jadi orangtua saya, secara tidak langsung mengajarkan berpikir kritis dan logis, sehingga dari kecil, diajarkan untuk tidak mudah percaya pada mitos dan tahayul yang tak jelas kebenarannya. Jadi saat saya dewasa, hal itu tanpa disadari menjadi sebuah kebiasaan untuk berpikir kritis, bertanya, dan mengecek kebenaran informasi,” ujarnya. 

Rasa Ingin Tahu Tinggi

Gambar mungkin berisi: 1 orang, tersenyum, duduk dan dekat

Puteri Atikah menyampaikan, dari kecil bukan siswi yang berprestasi serta rajin mengejarkan tugas di rumah. Bahkan, ia lebih banyak bermain di sekolah dan bersosialisasi. Namun sejak kecil, ia punya rasa ingin tahu yang tinggi.

“Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, biasanya saya membaca buku, dan kemudian menonton berita di televisi. Dalam arti, prestasi yang dinilai secara kuantitatif, tidak selamanya mencerminkan kualitas seseorang,”katanya.

Sebagai dosen pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, lanjut dia, saat ini nasionalisme tidak bisa lagi di pandang secara sempit dan tertutup. “Di era globalisasi di mana batas-batas negara secara fisik dan budaya semakin kabur, nasionalis harus dilihat lebih terbuka,”ujarnya.

Menurutnya, nasionalisme saat ini harus dipandang sebagai ajang warga negara berkontribusi secara positif bagi lingkungan sekitarnya. Misalnya, bagaimana membawa manfaat bagi lingkungan terdekat seperti keluarga, tetangga, dan teman.

“Bila setiap orang memiliki kepedulian, dan mau bekontribusi bagi kepentingan bersama, ke depan ini akan membawa kemajuan bagi masyarakat luas. Nasionalisme inilah yang harus kita bangun bukan nasionalisme tertutup yang fasis dan intoleran,” katanya. (tribun-medan.com/nat)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved