Seluruh Pengurus Suara USU Dipecat Rektorat Gara-gara Sebuah Tulisan Cerpen

Nama Yael Stefani Sinaga tiba-tiba saja booming dalam beberapa hari terakhir. Bahkan se-antero Indonesia membicarakan cerita pendek

Penulis: M.Andimaz Kahfi |
TRIBUN MEDAN/M ANDIMAZ KAHFI
Cerpen Suara USU yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Nama Yael Stefani Sinaga tiba-tiba saja booming dalam beberapa hari terakhir. Bahkan se-antero Indonesia membicarakan cerita pendek (Cerpen) hasil karyanya yang penuh pro kontra.

Yael tak menyangka jika Cerpen berjudul 'Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya' akan memutus karirnya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).

Jabatannya sebagai Pimpinan Umum Suara USU, berakhir setelah rektorat membubarkan Yael beserta jajarannya sebagai pengurus.

Para pengurus menganggap rektorat terlalu otoriter. Karena menerbitkan cerpen pro kontra tersebut.

Dimana cerpen itu dianggap para pengurus untuk menolak diskriminasi terhadap kaum minoritas. Khususnya Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Para pengurus Suara USU akhirnya dipanggil pihak rektorat pada Senin (26/3/2019) kemarin. Pada pertemuan itu, pengurus disidang karena dianggap telah berbuat salah.

Pertemuan dipimpin langsung Rektor USU Runtung Sitepu. Ada juga ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, pembina Suara USU dan jajaran rektorat.


Yael Stefani Sinaga penulis cerpen di Suara USU yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat.

"Mereka menanyakan kenapa cerpen itu bisa lolos. Setelah itu kami dimintai pendapat," kata Yael saat ditemui di salah satu Pendopo di USU, Selasa (26/3/2019).

"Kita ditanyai satu persatu, tapi selalu dipotong-potong jawaban kami. Karena kami tetap bersikukuh cerpen itu adalah sastra, isinya fiksi," sambungnya.

Yael menjelaskan pembahasan penting dalam pertemuan itu adalah redaksi cerpen yang dianggap mengandung unsur pornografi. Pengurus tetap tidak terima dan tetap bilang jika itu karya sastra.

Sebagai penulis cerpen tersebut, Yael menganggap harusnya pihak kampus membuka diskusi untuk membedah isi cerpen.

"Mereka harusnya bedah isi cerpen. Bukan malah mengambil keputusan yang seolah terkesan gegabah dengan membubarkan kepengurusan. Rektor cuma mau sepihak. Kami mau ngasi pendapat terus dipotong. Ini pengekangan bagi kami dan pembungkaman kebebasan pers," ungkap Yael.

Lebih lanjut, Yael yang merupakan mahasiswa Departemen Antropologi Sosial Fisip USU ini, menganggap sama sekali tidak ada mengkampanyekan LGBT atau bahkan mendukungnya. Bahkan cerpen itu, menurutnya bukan ajakan kepada orang lain agar masuk ke komunitas LGBT sebagai kaum minoritas.

"Dalam cerpen itu, saya hanya ingin bercerita soal kondisi sosial diskriminasi terhadap LGBT. Supaya angka diskriminasi itu bisa ditekan," katanya.

Sejauh ini, lanjut Yael kampus hanya membubarkan kepengurusan. Mereka ex pengurus tidak ada menerima sanksi akademis.

"Kemarin kami ditanyai dari fakultas mana dan jurusan apa. Nggak tahu itu ancaman atau intimidasi juga," terangnya.

Perempuan berkacamata dan berambut ikal ini menceritakan bahwa Suara USU pernah mengunggah tema cerpen serupa pada 2017 lalu. Tapi cerpen itu tak terdeteksi kampus. Malahan cerpen milik Yael yang jadi memicu kampus melakukan penelusuran terhadap karya-karya di laman suarausu.co.

"Cerpen itu yang buat mereka menganggap kami ini nggak bener. Karena mempublikasikan hal seperti itu. Rektor tidak bisa terima pendapat kami," jelas Yael.

Sampai saat ini Surat Keputusan pembubaran itu belum di terima pengurus Suara USU. Mereka diberikan waktu dua hari pascapertemuan untuk mengosongkan sekretariat Suara USU yang berada di Pintu 1, Jalan Universitas, USU.

Sementara itu, Rektor USU Runtung Sitepu membenarkan soal pembubaran. Keputusan diambil merujuk pada pertemuan mereka dengan Yael dan pengurus Suara USU.

"Tulisan itu sudah memicu reaksi publik. Polemik terjadi di kalangan mahasiswa, dosen hingga masyarakat luas. Ini kan sangat mengganggu nama baik USU. Kenapa bisa jadi begini. Ini yang saya tanyakan kepada mereka,” kata Runtung.

USU juga sudah bertanya kepada pendapat ahli sastra Haris Sutan yang ikut dalam pertemuan.

Dalam pertemuan itu, lanjut Runtung, ahli sastra juga meradang. Hasil karya sastra Yael dianggap mengandung unsur pornografi.

“Kalau dikonsumsi sendiri (cerpen) itu bisa. Tulislah cerpen seporno apapun, buat lukisan seporno apapun. Simpan dilacimu," katanya.

"Kalau kau rindu baca itu bisa. Tapi jika diumumkan ke publik bertentangan dengan hak cipta apalagi dengan sekarang ini ada Undang-undang Pornografi,” tegas Runtung.

Masih kata Runtung, karena pengurus tidak mengakui karya itu adalah sebuah kesalahan sehingga dibubarkan. Runtung khawatir perbuatan itu bisa terulang kembali dan merusak nama baik kampus.

“Bagi saya tidak mungkin saya pertahankan mereka menjadi pengelola Suara USU," tuturnya.

Lebih lanjut, Runtung juga sudah memerintahkan jajarannya untuk merekrut kepengurusan yang baru. Pengurus dipilih dari mahasiswa yang sudah mengikuti pelatihan jurnalistik. Nantinya ada 36 nama yang dipilih. Lalu Runtung sendiri yang akan memilih 18 di antaranya sebagai pengurus Suara USU yang baru. Sekretariat Suara USU juga akan direnovasi.

“SK pemberhentian mereka akan saya tandatangani hari ini,” ujar Runtung.

Menurut Runtung, Suara USU harus tetap eksis. Karena Selama ini, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang telah berdiri sejak Juli 1995 silam, banyak melahirkan jurnalis yang andal berkiprah di media nasional.

“Kabar Suara USU dibubarkan itu tidak benar. Kepengurusannya saja yang dibubarkan,” terang Runtung.

Untuk diketahui, laman suarausu.co sempat disuspensi oleh penyedia server yang merupakan alumni dari Suara USU sendiri. Pengurus Suara USU terpaksa menarik seluruh kontrak dan berpindah ke hosting lain. Kini suarausu.co sudah kembali aktif.

Dalam perjalanannya, Pers Mahasiswa Suara USU dulunya terbit dalam produk cetak Tabloid Suara USU. Tabloid terakhir kali terbit dengan edisi ke 109.

Sedangkan majalah sampai edisi ke 7 di 2016 lalu. Sejak 2017 suara USU sepenuhnya berbentuk daring. Bahkan Suara USU yang dikenal kritis, pernah dibreidel di era reformasi.

(mak/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved