Viral Medsos

OTK Rusak dan Bakar Sejumlah Nisan Kayu Salib Makam di Sleman Yogyakarta, Begini Respon Polisi

perusakan dan pembakaran salib makam oleh orang tak dikenal di kompleks Bethesda Mrican, Jalan Gejayan, Sleman, Yogyakarta

Editor: AbdiTumanggor
KOMPAS.com/WIJAYA KUSUMA
2 Hari setelah Instruksi Pencegahan Diskriminasi Sultan Jogja, Salib Nisan Makan di Sleman Dibakar. Nisan kayu di salah satu makam di area Pemakaman RS Bethesda dalam keadaan hangus. 

TRIBUN-MEDAN.com-  Telah terjadi perusakan dan pembakaran salib makam oleh orang tak dikenal di kompleks Bethesda Mrican, Jalan Gejayan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (6/4/2019).

Ditemukan nisan kayu salib tercabut dari makamnya, bahkan ada beberapa di antaranya ditemukan dalam kondisi hangus terbakar.

Hari Yuniarto (57) ,bagian rumah tangga RS Bethesda yang mengurusi makam Mrican, saat ditemui di lokasi kejadian membenarkan hal tersebut.

Ia mendapat telepon dari ahli waris sekitar pukul 15.30 wib.

"Saya mendapat telepon dari keluarga ahli waris, dia mengatakan di sini ada pencabutan nisan dan dibakar. Saya langsung ke sini dan ternyata benar," ujarnya yang dikutip dari TribunJogja.com.

Makam RS Bethesda Mrican Diduga Dirusak Orang Tak Dikenal, Sejumlah Nisan Dicabut dan Dibakar
Pengurus makam menunjukan nisan kayu yang dirusak.|Tribun Jogja/ Santo Ari

Ia menuturkan nisan yang dicabut rata-rata masih dalam keadaan bagus, dan lokasi nisan yang dicabut dari makamnya terbilang acak.

Sementara dari perhitungannya, setidaknya ada delapan nisan yang dicabut dan tiga nisan ditemukan terbakar dengan kertas berserakan di sekitarnya.

Dua di antara delapan nisan yang dicabut sudah dipasang di makamnya semula.

Seluruh kayu salib itu dikumpulkan dalam satu titik. "Ada dua atau tiga yang terbakar, lainnya masih utuh lalu saya simpan," kata Hari Yuniarto.

Ia mengatakan, selama sepuluh tahun terakhir mengurus makam, kejadian ini baru kali pertama terjadi.

Apalagi, lokasi makam ini berada di simpang jalan area lingkungan Kampus Sanata Dharma dan Universitas Negeri Yogyakarta yang tak pernah sepi dan dekat pos polisi.

Makam itu, kata Hari, selalu ditutup meski tidak dikunci.

Gembok pintu tidak lagi dipasang lantaran beberapa kali digergaji orang tak dikenal.

Mendapat laporan tersebut, kepolisian langsung melakukan olah TKP dengan mendatangkang tim inavis Polres Sleman.

Kapolres Sleman KBP Rizky Ferdiansyah ditemui di lokasi kejadian mengatakan, setelah mendapat keterangan dari pengurus makam memang ada pengerusakan dan diduga dilakukan oleh orang tidak dikenal.

"Keterangan pengurus makam ada satu orang yang sempat tinggal di sini, tapi setelah kita telusuri dia sudah tidak ada," paparnya.

Ada satu cungkup yang nisannya ia pakai untuk alas tidur.

Di atap cungkup tersebut juga ditemukan jelaga bekas bakaran.

"Informasinya yang bersangkutan tidur di situ dan ada lokasi tempat dia menghangatkan tubuh."

"Tim identifikasi yang akan melakukan pengujian untuk membuktikan itu, secepatnya akan kami informasikan hasilnya," terang Kapolres.

"Perusakan makam ini belum bisa diketahui motifnya apa, yang jelas ada fakta perusakan dan kami akan dalami," lanjutnya.

/////

Diskriminasi Melanda Yogayakarta

Sebelumnya, di Dusun Karet terjadi polemik karena kedatangan Slamet Jumiarto (42), warga pindahan dari Desa Mancasan, Pendowoharjo, Bantul, yang mengontrak rumah sederhana di Dusun Karet, Jumat (29/3/2019).

Awalnya, ayah dua orang anak tersebut diterima baik pemilik rumah. Bahkan, dirinya menyebut, pemilik rumah tidak mempermasalahkan agama yang dianutnya.

Setelah merapikan rumah kontrakan yang terletak di gang kecil di Pedukuhan Karet, RT 008 pada Minggu (31/3/2019), sebagai warga baru, pria yang berprofesi sebagi pelukis ini melapor ke ketua RT.

Di sana, ia memberikan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah. Namun, saat diperiksa, diketahui dirinya beragama Katolik, dan ditolak untuk tinggal.

Demikian pula saat melapor ke kepala kampung. Ternyata, penolakan ini berdasar pada aturan di dusun setempat bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015.

Dalam aturan itu, pendatang non-Muslim tak diizinkan tinggal. "Paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun juga ditolak, kemudian saya ingin ketemu pak dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya, belum tahu namanya," ucap Slamet, saat ditemui di kontrakannya Selasa (2/4/2019).

Dirinya kemudian merekam curhatan hatinya, dan dikirimkan ke beberapa pihak, termasuk sekretaris Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kemudian diarahkan ke Sekda DIY, dan diteruskan ke Sekda Bantul.

Bahkan, curhatan kurang lebih 4 menit itu tersebar di sejumlah masyarakat melalui pesan singkat.

Pada Senin (1/4/2019), dirinya dipanggil untuk mediasi oleh Pemkab Bantul, di Kantor Sekda Kabupaten Bantul.

Saat itu, hadir pula kepala dukuh, lurah dan RT setempat. Belum adanya titik temu, pertemuan itu dilanjutkan malam hari.

Beberapa sesepuh warga menurutnya telah memperbolehkan dirinya tinggal di situ. Kemudian, ketua RT lantas memberikan opsi agar dirinya bisa tinggal di Karet selama 6 bulan.

"Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama saja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh, kalau enggak ya enggak, gitu saja," ucap dia.

Setelah berdiskusi, akhirnya dirinya bersedia untuk pindah, namun dengan catatan mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. Selain itu, peraturan diskriminasi tersebut harus dibatalkan.

Selama mempersiapkan diri menempati rumah, dia sudah mengeluarkan uang Rp 4 juta untuk mengontrak satu tahun, Rp 800.000 untuk renovasi rumah, plus Rp 400.000 untuk transpor renovasi.

"Semalam (Senin, 1/4/2018) ada kesepakatan peraturan itu dicabut," ujar dia.

"Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal," ucap dia.

Slamet bercerita, pasca-viralnya kasus tersebut, banyak kolega menawarkan rumah untuk ditinggali.

Namun, warga asli Semarang, Jawa Tengah, ini masih akan berpikir apakah tetap tinggal ataupun pindah ke lokasi lainnya.

"Tetangga di sini baik semua, bahkan yang tidak kenal, setelah peristiwa ini ramai dibicarakan, menyapa dan jadi mengenal saya," ucap dia.

Saat Kompas.com berbincang dengan Slamet, rombongan Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mendatangi rumanya. Tak lama, Kepala Dukuh Karet, Iswanto, ikut datang.

Awal larangan warga non-Muslim tinggal

Iswanto mengatakan, pembuatan peraturan tersebut disahkan oleh dirinya bersama sekitar 30-an tokoh masyarakat dan agama pada tahun 2015 lalu.

Dasar peraturannya untuk mengantisipasi adanya campur makam antara Muslim dan agama lain.

Setelah dibahas, disepakati aturan pelarangan adanya pembelian tanah dan bertempat tinggalnya warga non-Muslim di Dusun Karet.

"Mulai hari ini sudah dicabut. Karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan tersebut kami dicabut, dan permasalahan dengan Pak Slamet tidak ada permasalahan lagi," kata dia.

Ke depannya, warga tidak akan lagi mempermasalahkan latar belakang agama maupun suku. Pihaknya ingin semuanya hidup rukun.

Dia mengungkapkan, dari sekitar 540 KK, ada 1 KK yang non-Muslim tinggal sejak lama, dan selama ini tidak ada permasalahan. "Nantinya kami mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ucap dia.

Iswanto mengaku, tidak mempermasalahkan jika keluarga Slamet akan tinggal di dusunnya. Namun, pihaknya menyerahkan kepada keluarga tersebut.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA

Bupati Bantul, Suharsono mengatakan, komitmennya untuk tidak ada diskriminasi di wilayahnya. Dirinya pun sudah bertemu dengan perangkat Desa Pleret.

Menurut dia, perangkat desa pembuat aturan penolakan warga non-Muslim sudah minta maaf. "Enggak boleh ada larangan," ujar dia.

Aturan yang dikeluarkan oleh warga dusun tersebut dinilainya mencederai NKRI, yang mengedepankan ke-Bhinekaan.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA. Ia memastikan, warga non-Muslim boleh tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, dan Bantul pada umumnya.

Ia meminta, masyarakat Bantul bisa saling menghormati sesama bangsa Indonesia meski berbeda suku dan agama.

Bagi dusun atau desa yang hendak membuat aturan, lebih baik berkonsultasi dengan bagian hukum Pemkab Bantul.

"Kalau tak ada dasar hukumnya, (aturan itu) melanggar hukum. Yang penting dirembug. Warga bisa di situ, yang penting tidak mengganggu," ujar dia.

Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mengatakan, jika kasus ini sudah selesai, dan peraturan tersebut juga sudah dicabut.

"Aturan itu sudah tidak berlaku dan dicabut. Ke depan saya berharap kita di sini toleransi agama. Saya yakin di Jogja tidak ada intoleransi, semuanya toleransi. Kita lihat di sini tadi menjaga hubungan masyarakat," ucap dia. (TribunJogja.com/ Kompas.com) 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved