Mahasiswa USU Pajang Celana Dalam, Tolak Keberadaan Dosen Asusila
Kasus ini terus merebak setelah sempat tenggelam setahun tanpa penyelesaian yang jelas.
Penulis: M.Andimaz Kahfi |
Merebaknya kasus pelecehan seksual di Kampus FISIP USU, mencoreng nama baik kampus yang sudah melahirkan banyak aktivis kelas wahid itu. Kasus ini memberikan teror baru di kalangan mahasiswa.
Mahasiswi FISIP USU, Adinda Azzahra mengatakan dalam kasus pelecehan oleh dosen, para korban kebanyakan memilih bungkam. Karena ada ketakutan yang merundung para korbannya. Baik itu dari sisi akademis atau pun takut karena dianggap mahasiswa yang tidak baik.
“Saya mahasiswa angkatan 2015. Dan saya sudah dengar rumor ini sejak saya masuk ke dalam kampus," kata Dinda.
"Saya berharap kampus bisa memberikan sanksi tegas dan membuat regulasi sebagai langkah preventif,” sambungnya.
Sementara itu, Dekan FISIP USU Muryanto Amin mengaku sudah serius menangani kasus ini. Muryanto mendorong, korban lainnya bisa membuat laporan tertulis tentang kebejatan dosen yang dialaminya.
“Kalau ada lebih dari satu korban, tolong buat laporan tertulis. Saya akan jamin kerahasiaan identitasnya,” kata Muryanto.
Menurutnya, sanksi bisa diberikan jika ada bukti pendukung untuk membuktikan kasus pelecehan seksual.
Muryanto pun memberi kesan jika sangat sulit untuk mengumpulkan bukti-bukti kasus pelecehan seksual yang dilakukan HS. Makanya dia meminta agar dibuat laporan tertulis.
Kasus ini pun juga sudah ditangani sejak 2018 lalu. Bahkan dia mengaku, kampus sudah memberikan sanksi tegas kepada dosen agar memperbaiki perilakunya dan tidak mengulangi perbuatan itu.
Sejak Mei 2018, kasus itu tidak menemukan bukti baru sebelum akhirnya kembali merebak Mei 2019.
Muryanto juga menunjukkan peraturan yang bisa menjerat pelaku untuk mendapatkan sanksi.
Dalam dua minggu terakhir, kampus kembali mulai mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut.
“Sanksi sudah ada. Karena ini masuk dalam kode etik. Untuk menegakan kode etik itu, harus ada bukti. Kalau ada bukti baru kita akan proses secara proporsional. Harus ada bukti yang kuat proses pemecatan itu. Karena mengikuti prosedur untuk pemecatan PNS," jelas Muryanto.
(mak/tribun-medan.com)