News Video
Mantan Kapolda Sumut 'Terjatuh' saat Bermain Bola di Pantai Hamadi Jayapura, LIHAT VIDEONYA. .
Libur lebaran turut dimanfaatkan mantan Kapolda Sumut Irjen Paulus Waterpauw berlibur bersama keluarga di Pantai Hamadi Jayapura
Penulis: Hendrik Naipospos | Editor: Hendrik Naipospos
Biasanya kami cari waimum, istilahnya.
Waimum seperti panglima perang.
Penanggung jawab.
Ia bukan pemimpin suku biasanya, tapi mereka adalah keluarga inti dari korban.
Meraka yang ada dalam penderitaan dalam duka itu sendiri.
Kita cari siapa dia dalam strata keluarga.
Ciri-ciri orang yang menjadi pelopor, apabila pemicunya masalah pribadi, dapat dilihat secara kasat mata.
Pertama, pihak keluarga yang memiliki permasalahan itu, biasanya berada di tengah kerumunan.
Ia dilindungi kelompoknya agar tidak tersentuh pihak lawan maupun aparat.
Kedua, dia itu biasanya memegang pisau yang terbuat dari tulang burung Kasuari berhias ekor.
Pihak keluarga melindungi. Keluarga rela mati demi dia.
Siapa pun, termasuk pihak aparat, tidak akan dapat menghentikan kekerasan ini.
Apalagi, jika kesedihan keluarga masih dirasakan.
Selama mereka ini bersedih dan air mata masih mengalir, kekerasan ini tidak akan pernah berhenti.
Tribun: Dalam beberapa kesempatan, sentimen terhadap rezim Orde Baru (Orba), trauma akan kekerasan TNI di Papua sering dijadikan alasan melakukan perlawanan, bahkan untuk berjuang merdeka oleh OPM. Apakah masih benar ada trauma Orba?
Paulus Warterpauw : Soal trauma mungkin iya, mungkin tidak. Saya selalu berpikir dengan sisi mereka.
Namun saya selalu mematahkan dengan cara saya.
Kalau saya bilang trauma, saya susah, sebab tidak berada pada posisi itu.
Saya lahir di Papua memang, tetapi umur 10 tahun pindah ke Jawa Timur, jadi tidak mengalami.
Kita selalu belajar dari titik ini, ke titik itu.
Nah saya selalu berhadap-hadapan dengan mereka yang berbeda pandangan.
Banyak sekali, yang sedikit ribet ya, mereka masih mengungkap latar belakang sejaraah.
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat atau referendum, Red) itu seperti apa?
Mereka selalu bilang kondisi masa lalu.
Saya tidak bisa jawab soal itu.
Kami tidak masuk di dalam sebuah periode waktu itu.
Tribun: Biasanya sindrom seperti apa yang dibicarakan warga Papua terhadap masa lalu?
Paulus Warterpauw :Kurang lebih pada kehidupan saja. Karena sindroma itu, siapa tahu ada persoalan zaman (Orba, Red) itu, masalah itu.
Janji tinggal janji, misalnya.
Mereka tidak memerlukan sebuah hasil yang signifikan untuk masyarakat lokal.
Sehingga mereka sering menghambat (investor/pengusa) itu.
Saya sering diminta, tapi saya serahkan ke pengambil keputusan, kalau bapak tidak pernah berbicara kepada mereka, pasti meraka meragukan.
Karena itu, solusinya, datang lagi yang kedua kali.
Kalau tidak mau juga mereka mengikuti arahan, datang lagi ketiga kali.
Nah ini jawaban yang dibutuhkan mereka.
Pemimpin perlu yang bersimpati dan berempati pada mereka.
Tribun: Selain di Nduga, di mana saja lagi basis kelompok bersenjata di Papua?
Paulus Warterpauw; Mereka tersebar antara lain di Puncak Jaya ada, di Nduga ada, Lani Jaya dan lainnya.
Simpul mereka sekarang Goliat Tabuni.
Sekarang membentuk kelompok-kelompok, memisahkan diri.
Dugaan saya, kejadian di Nduga berkaitan dengan 1 Desember.
1 Desember menjadi hari ulang tahun Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM).
Mungkin mereka minta jatah tapi tidak dapat.
Apalagi kalau ada yang ikut memanasi.
Tribun: Adakah irisan kekerasan ini dengan kepetingan di PT Freeport?
Paulus Warterpauw: Freeport ini kan mahkota ya.
Ini sumber kekuasaan dan harta yang kita miliki.
Kelompok ini, meminta hak mereka.
Dalilnya biasanya, ini hak adat kami.
Kita tidak pernah tahu ini sejauh mana mereka mengeksploituasi di Papua.
Jadi, mereka komplain.
Ini masuk wilayah kami.
Karena banyak berbatasan antara kabupaten karena pemekaran, ini menyulitkan juga untuk pemerintah juga. Ini mereka komplain dan meminta sebagai hak.
Tribun: Kalau begitu, kelompok ini muncul untuk meminta jatah dari Freeport?
Paulus Warterpauw: Kalau secara langsung tidak.
Biasanya melalui monen-momen.
Misalanya, inigin buat kampung.
Atau ada perusahaan yang melintasi wilayah kampung itu, nah ini yang biasanya meminta hak di situ.
Tribun: Kelompok bersenjata menyerang pekerja yang membangun Trans Papua yang dicanangkan Presiden Jokowi. Apa komentar atau imbauan kepada kelompok Egianus Kogoya dan kawan-kawan?
Paulus Warterpauw: Kita lihat, kalau melintasi daerah papua sangat sulit.
Ya masyarakat sulit berinteraksi dengan kita, memang sulit.
Membangun trans Papua harus didukung.
Di sana saya liat beliau (presiden) dengan kebijakan BBM (bahan bakar minya) satu harga (harga di pulau Jawa sama dengan di Papua, Red) dan mleihat masyarakat kita yang terpencil itu.
Kita pikir harus dukung pembangunan Papua.
Mereka (kelompok kriminalisasi bersenjata, Red) berharap kalau memang ada investasi akan membawa sebuah keuntungan.
Mereka (KKB) meminta bagian lah.
Pihak usaha, umunya sudah mengerti.
Ya oke, anggap bagian dari CSR lah.
Tetapi pemegang proyek Trans Papua, katanya hubungan biasa, baik kok.
Tribun: Bagaimana cara menangani konflik dan kekerasan di Papua, selama anda menjabat dari Kapolres Mimikan, Direktur Reskrim, Wakapolda Papua, Kapolda Papua Barat hingga Kapolda papua dalam kurun waktu 14 tahun, dari 2003 sampai2017?
Paulus Warterpauw: Sabar dan setia untuk mendampingi dan menjawab.
Mereka tidak bisa kalau sekali dua kali.
Beberapa penyelenggara negara, mengalami penghambatan.
Misalnya, datang investor, mereka (orang papua) menanyakan pertanyaan yang sensitif. Siapa dia? Untuk apa dia? Bagi siapa ia? Mereka memiliki pengalaman masa lalu. Biasanya sindroma.
Tribun: Pendekatan apa yang dilakukan saat terjadi perang suku?
Paulus Warterpauw : Biasanya kita pisahkan.
Kita jauhkan kedua pihak.
Kita buat tarik ulur.
Energi mereka juga kurangi.
Lalu kita taruh anggota untuk pendekatan melalui bahasa dan mampu.
(hen/tribun-medan.com)