RAMOS HORTA Eks Pemimpin Timor Timur Angkat Bicara soal Papua hingga Seruan Frans Magnis pada OPM
''Sudah hampir 60 tahun Papua dan Papua Barat selalu jadi bagian di bawah pemerintah Indonesia kok tetap belum damai?" lanjut Franz Magnis.
#RAMOS HORTA Eks Pemimpin Timor Timur Angkat Bicara soal Papua hingga Seruan Frans Magnis pada OPM
TRIBUN-MEDAN.COM - Kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) kerap menjadikan lepasnya Timor Timur dari NKRI sebagai inspirasi aksi mereka.
Bahkan dalam aksi demo massal di Papua Barat dan Papua, memprotes ucapan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya, seruan referendum seperti yang ditempuh Timor Timur mencuat.
Namun rohaniawan Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa Papua tidak sama dengan Timor Timur (kini bernama Timor Leste) yang merdeka pada 2002.
Hal tersebut disampaikan Franz Magnis dalam konferensi pers tentang Papua dari Gerakan Suluh Kebangsaan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Jumat (23/8/2019).
Franz Magnis yang semula merupakan warga negara Jerman dan sudah berstatus sebagai WNI sejak tahun 1977 itu menyerukan agar Organisasi Papua Merdeka (OPM) menghentikan pendekatan bersenjata mereka.
Baca: Kasatpol PP yang Diancam Tembak Kombes Iwan Eka Ternyata Alumni Akabri 87, Leting Kapolri dan Kasad
Baca: Detik-detik Perampok Toko Emas di Magetan Dilumpuhkan Warga, KO Kena Tendangan Kungfu, Ini Videonya
Baca: Video Detik-detik Pertempuran KKB Papua dengan TNI di Pasar Wamena, 1 Anggota Egianus Kogoya Tewas
Menurut dia, hal tersebut tidak mempunyai masa depan dan hanya akan menambah pembunuhan serta kematian yang merugikan Papua.
"Papua bagian sah dari Indonesia tetap akan jadi bagian sah dari Indonesia. Jangan kira Papua sama dengan Timor Timur," ujar Franz Magnis.
Franz Magnis mengatakan, Papua adalah bagian dari Indonesia, sehingga jika ada persoalan seperti saat ini, harus dicari jalan keluar demi persatuan.
OPM merupakan gerakan separatis yang mengedepankan kekerasan dan berupaya agar Papua bisa merdeka dari Indonesia.
"Papua juga bisa diberikan perlakuan-perlakuan yang diharapkan," kata dia.
Baca: Papua Bergejolak hingga Terjadi Pembakaran Fasilitas Umum, Jenderal Bintang 2 Kelahiran Papua Kecewa
Baca: Detik-detik Satpam Tewas Dipatuk Ular, Iskandar Sempat Bercanda dengan Pegang Kepala Weling Bite
"Bagi saya yang jadi pertanyaan, sudah hampir 60 tahun Papua dan Papua Barat selalu jadi bagian di bawah pemerintah Indonesia kok tetap belum damai?" lanjut Franz Magnis.
Menurut Franz Magnis, masyarakat Papua merasa tak dianggap sehingga insiden rasisme yang terjadi di Surabaya berujung pada kerusuhan.
"Mereka sering merasa tidak dianggap dan itu terlihat dalam security approach.
Kalau ada kerusuhan di Papua, selalu banyak orang tewas daripada di tempat lain.
Mereka merasa bahwa mereka tak dianggap," ujar Franz Magnis.
Baca: Dina Erviana Hembus Nafas Terakhir di Pelukan Kekasih Agus Triyono, Kronologi dan Penjelasan Polisi
Baca: LINK Live Streaming MotoGP Inggris : Jadwal Hari Ini, Valentino Rossi Bangkit, Marquez Pole Position
Adapun dalam konferensi pers tentang Papua dari Gerakan Suluh Kebangsaan tersebut, dihadiri sejumlah tokoh bangsa.
Mereka antara lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Cendekiawan Muslim Quraish Shihab, mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Rektor UIII Komarudin Hidayat, putri Presiden Keempat RI Gus Dur Alisa Wahid, Achmad Suaedy, Simon Morin, Romo Beny Susetyo dan Romo Franz Magnis Suseno, hingga istri Gus Dur Shinta Nuriyah Wahid.
Bagaimana respons José Manuel Ramos-Horta, mantan presiden Timor Leste sekaligus penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996, menanggapi kerusuhan di Papua baru-baru ini?
Dalam wawancara dengan Deutsche Welle, masalah Papua juga ikut ditanyakan dan beginilah jawaban Ramos Horta.
Deutsche Welle: Anda ikut berperan dalam proses panjang independensi Timor Leste. Bagaimana keadaan negara Anda kini?
Ramos Horta: Timor Leste kini sangat damai.
Tidak ada kekerasan politik, sama sekali nol.
Negara ini sangat damai dalam hal tersebut.
Bahkan tingkat kriminalitas biasa pun sangat rendah.
Tidak ada kejahatan terorganisir.
Tetapi kami masih memiliki beberapa tantangan serius dalam mengatasi kemiskinan, kekurangan gizi.
Kami belum berhasil di bidang ketahanan pangan, tetapi negara ini berkembang sangat pesat dalam 15 tahun terakhir.
Sekarang aliran listrik di negara kami 24 jam.
Dalam waktu dekat kami akan memiliki kabel bawah laut yang didatangkan dari Australia untuk meningkatkan konektivitas.
Kami akan menikmati konektivitas abad ke-21.
Kami telah memiliki cyber optic di seluruh negeri, sekarang tinggal menunggu kabel bawah laut.
José Manuel Ramos-Horta: pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan mantan presiden Timor Leste/DW/Ayu Purwaningsih
Selain itu ada sebuah penelitian oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), yang mengatakan bahwa pada tahun 2018, Timor Leste tidak memiliki lagi kasus malaria, jadi sudah mencapai target pengentasan penyakit malaria, yang selama berabad-abad membunuh begitu banyak orang.
Pada tahun 2002, kami hanya memiliki 19 dokter.
Sekarang kami memiliki lebih dari 1.000 dokter.
Situasi politik secara keseluruhan, seperti diketahui kami negara demokrasi, kami bangga akan hal itu, meski tidak selalu berjalan lancar.
Kadang ada ketegangan di parlemen, antara parlemen dan presiden, pemerintah dan presiden, demikian sebaliknya, tetapi itulah demokrasi.
Jika kita tidak menginginkan ketegangan, jika tidak menyukai ketegangan politik, bisa jadi mungkin seperti menyalin model Korea Utara, di mana semua orang selalu harus setuju dengan pemimpinnya.
Kami memiliki demokrasi yang sangat dinamis, masyarakat sipil sangat aktif, kami memiliki banyak media, media sosial merajalela, kami tidak mencoba mengendalikan disiplin ilmu atau menyensor media sosial, di sisi lain, mayoritas Timor Leste adalah Katolik, yakni 98%, ada juga minoritas Protestan dan komunitas Muslim, dan ketiga agama ini hidup berdampingan secara damai.
Deutsche Welle: Bagaimana hubungan Timor Leste dengan Indonesia?
Kami memiliki hubungan terbaik dengan Indonesia.
Dan saya kenal semua negara-negara di Asia.
Saya tahu konflik dan ketegangan di Asia.
Saya tahu hubungan antara beberapa negara Asia dengan negara-negara tetangganya, misalnya: Korea dan Cina, Bangladesh dan Pakistan, Pakistan dan India, dll.
Namun izinkan saya memberi tahu Anda, tidak ada dua negara di Asia yang memiliki hubungan yang lebih baik daripada Timor Leste dan Indonesia.
Ini bukan hanya sekadar hubungan resmi, antara pemimpin, tetapi bahkan orang ke orang.
Mahasiswa Timor Leste misalnya.
Banyak dari mereka yang sekolah di Indonesia.
Jika Anda melihat statistik imigrasi Indonesia, kunjungan Indonesia, puluhan ribu orang dari Timor Leste pergi ke Indonesia, setiap bulannya.
Jika Anda pergi ke Timor Leste, Anda juga akan melihat ribuan orang Indonesia, bekerja dan tinggal di sana.
Kami mengimpor 70% barang kami dari Indonesia. Itu adalah hubungan yang baik dan ini juga tak lepas dari keberhasilan kepemimpinan politik kita.
Kami mempromosikan rekonsiliasi di antara orang-orang Timor Leste, yang terbagi di masa lalu.
Kemudian normalisasi dan rekonsiliasi dengan Indonesia.
Deutsche Welle: Bagaimana soal semakin meningkatnya intoleransi di Indonesia?
Saya mengenal Indonesia dengan sangat baik.
Saya berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1974, ke Jakarta.
Saya bepergian di Jakarta sendirian dengan becak dan skuter.
Kemajuan Indonesia luar biasa.
Terlepas dari meningkatnya radikalisme, Indonesia tetap menjadi negara mayoritas Muslim inklusif paling terbuka.
Indonesia tetap menjadi negara paling demokratis dan terbuka di Asia Tenggara.
Dalam pemilu baru-baru ini, beberapa pemimpin politik telah memanipulasi situasi.
Ada beberapa ekstremis yang mencoba 'mencuri' pemilu.
Tetapi pada akhirnya, ketika Mahkamah Agung memutuskan Presiden Joko Widodo memenangkan pemilu, Jenderal Prabowo Subianto sebagai penantang menerimanya.
Dalam konteks pemilu, bisa saya katakan, demokrasi menang. Jadi saya bisa melihat pemilu di Indonesia sebagai hal yang positif.
Ada konfrontasi, ada ketakutan, tetapi demokrasi dan toleransi tetap berlaku di Indonesia.
Mereka harus melanjutkan dialog agama, mereka harus mengatasi ketegangan di masyarakat, harus menjaganya dari pengaruh Jamaah Islamiyah, ISIS. Namun secara keseluruhan, Indonesia tetap sebagai negara demokrasi yang berhasil.
Deutsche Welle: Bagaimana opini Anda atas ketegangan di Papua?
Saya mengenal Presiden Joko Widodo dengan sangat baik.
Dia manusia luar biasa.
Saya tahu dia akan menangani masalah ini.
Namun saya bisa bilang, bahwa di mana pun juga di dunia, kita sebaiknya tidak menggunakan kekuatan militer atau uang dalam mengatasi konflik.
Masalah mereka berasal dari hati, pikiran dan perasaan atau jiwa.
Papua memiliki masalah berkaitan dengan perasaan, pikiran dan jiwa, jadi bukan ekonomi yang menjadi permasalahan.
Namun Indonesia juga merupakan negara spiritual.
Saya rasa Jokowi ingin mengatasi masalah di Papua dalam masa jabatannya.
Meski ia sudah mengunjungi Papua berkali-kali, masih belum ada kemajuan dalam mengatasi masalah ini.
Deutsche Welle: Apakah Anda memiliki rencana untuk mengunjungi Indonesia?
Saya mengunjungi Indonesia berkali-kali.
Saya kenal Presiden Jokowi, dan wakil presiden Jusuf Kalla, mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, dan banyak orang di pemerintahan dan media.
Saya kenal banyak jurnalis dan saya adalah teman baik aktris Indonesia Christine Hakim, dia adalah aktris hebat.
Saya ingin berkunjung ke Indonesia sesering mungkin.
(*)
#RAMOS HORTA Eks Pemimpin Timor Timur Angkat Bicara soal Papua hingga Seruan Frans Magnis pada OPM
Artikel ini dikompilasi dari Kompas.com dengan judul "Franz Magnis: Jangan Kira Papua Sama dengan Timor Timur"dan dw indonesia berjudul: Bagaimana Timor Leste Kini Setelah Berpisah dengan Indonesia?