Ngopi Sore
Send In The Clowns: Bagaimana Seorang Bandit Lahir
Dalam kondisi-kondisi tertentu, dalam kemarahan dan kesedihan dan kesakitan yang sudah tak lagi tertahankan, Arthur lepas kendali.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Sejak pertama kali digambar Bob Kane dan Bill Finger tahun 1939, setidaknya ada 100 bandit mewarnai riwayat kepahlawanan Batman.
Mulai yang berwajah buruk dengan tongkrongan serba menakutkan semacam Bane, Penguin, Professor Pyg, Clayface, Scarecrow, Two-Face, Hush, Mr Freeze, atau Solomon Gundy.
Kemudian yang dingin dan misterius semisal Ra's Al Ghul, Riddler, dan Holiday. Atau yang manis manja tetapi menyimpan racun mematikan sebangsa Poison Ivy, Catwoman, Harvey Quinn, Red Claw, dan Talia Al Ghul.
Bandit-bandit ini jahat tak main-main.
Namun memang hanya Joker yang bisa benar-benar menghadirkan gidik sempurna.
Kengerian yang menjalar saat membaca komiknya mengejawantah lebih kuat saat divisualisasikan oleh Jack Nicholson (Batman, 1989), Heath Ledger (The Dark Knight, 2008), dan sekarang, Joaquin Phoenix.
Joker membunuh dengan tingkat kekejaman maksimal, di luar batas nalar, tanpa beban. Ia tersenyum saat menyaksikan korban-korbannya meronta-ronta meregang nyawa.
"Smile, because it confuses people. Smile because it's easier than explained what is killing you inside," katanya dengan intonasi tinggi rendah nada yang mengesankan, seperti berpuisi.
Bagaimana bisa ada manusia jahat begini rupa?
Todd Philips mencoba menjawabnya. Menurut dia, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab suci, tidak seorang manusia pun dilahirkan sebagai penjahat. Tiap manusia lahir suci. Lahir bersih.
Tak ada kejahatan yang sungguh-sungguh berangkat dari dalam diri manusia. Kejahatan datang dari luar; dari lingkungan, dari realitas sosial.
Sebelum penahbisannya sebagai Joker, Arthur Fleck adalah seorang laki-laki biasa saja. Lelaki yang mengampu cita-cita menjadi penghibur panggung. Persisnya pelawak --lebih khusus lagi pelawak tunggal (komika).
Cita-cita yang nyaris tercapai. Iya, nyaris, jika saja ia tidak dihadapkan pada dua perkara yang pada akhirnya membuat kesabaran dan kepasrahannya terhadap nasib buruk berakhir.
Padahal Arthur sudah lama belajar berkompromi. Belajar menerima berbagai kenyataan pahit.
Sedari bocah ia berulangkali dihadapkan pada kekerasan-kekerasan dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar.