Breaking News

Ngopi Sore

Send In The Clowns: Bagaimana Seorang Bandit Lahir

Dalam kondisi-kondisi tertentu, dalam kemarahan dan kesedihan dan kesakitan yang sudah tak lagi tertahankan, Arthur lepas kendali.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
www.indiatoday.in
THE JOKER 

Pola terpenting dalam bangunan komedi adalah pemutarbalikan kelaziman.

Filsuf berkebangsaan Jerman, Sigmund Freud, dalam esai berjudul Humour yang terbit di International Journal of Psychoanalysis tahun 1927, bilang bahwa lelucon bersumber dari keganjilan atau perasaan superioritas, hingga orang bisa terbahak-bahak saat mendapati orang lain mengalami nasib sial, bahkan menderita.

Andre Breton lebih dahsyat. Melakukan telaah selama kurang lebih 24 tahun sejak tahun 1916, Brenton menerbitkan buku berjudul Anthologie de L'Humour Noir (edisi bahasa Inggris Anthology of Dark Humor).

Breton menajamkan komedi ke sisinya yang lebih gelap, lalu membagi ke dalam lima klasifikasi tema besar: kekerasan dan kematian, diskriminasi, penyakit, perilaku seksual, dan agama.

Premisnya sama, yakni pemutarbalikan kelaziman. Kontradiksi; kecenderungan yang berlawanan, pertentangan, yang dengan perlakuan tertentu, menghadirkan kelucuan.

Seperti sajak 'Luka' Sutardji Calzoum Bachri yang hanya berisi sepotong kata: ha-ha.

Tatkala liang luka begitu dalam dan lebar menganga, dan perihnya sudah tiada lagi dapat tertahankan, maka yang mencuat bukan lagi tangis dan ringis, melainkan tawa.

Tak ada lagi aduh. Ia menjadi komedi. Persis suara patah hati dalam dangdut.

Namun pada situasi-situasi tertentu, kontradiksi dapat berbalik arah kembali.

Kelucuan malah melesatkan tangis. Mencuatkan derita. Charlie Chaplin bilang, "ketika dilihat dari dekat hidup adalah tragedi, tapi dari jauh ia komedi."

Keterbalik-balikan seperti inilah yang disodorkan Todd Phillips dan Scott Silver dalam Joker, film produksi DC yang tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 2 Oktober 2019.

Siapa pun yang di antara hari-hari hidupnya pernah membaca atau menonton film Batman, tentulah tahu siapa Joker.

Iya, Joker adalah antagonis dalam kisah pahlawan kegelapan; The Dark Knight, Pangeran Kelelawar penjaga Kota Gotham itu. Seorang kawan masa kecil saya selalu menyebut Joker sebagai 'bandit Batman'.

Di antara bandit-bandit Batman, musuh-musuhnya, Joker merupakan yang terjahat.

Bukan yang terkuat, bukan pula yang "tersakti", tetapi diakui (dan disepakati oleh para pembaca dan penonton Batman di seluruh penjuru dunia) sebagai yang paling jahanam.

Sejak pertama kali digambar Bob Kane dan Bill Finger tahun 1939, setidaknya ada 100 bandit mewarnai riwayat kepahlawanan Batman.

Mulai yang berwajah buruk dengan tongkrongan serba menakutkan semacam Bane, Penguin, Professor Pyg, Clayface, Scarecrow, Two-Face, Hush, Mr Freeze, atau Solomon Gundy.

Kemudian yang dingin dan misterius semisal Ra's Al Ghul, Riddler, dan Holiday. Atau yang manis manja tetapi menyimpan racun mematikan sebangsa Poison Ivy, Catwoman, Harvey Quinn, Red Claw, dan Talia Al Ghul.

Bandit-bandit ini jahat tak main-main.

Namun memang hanya Joker yang bisa benar-benar menghadirkan gidik sempurna.

Kengerian yang menjalar saat membaca komiknya mengejawantah lebih kuat saat divisualisasikan oleh Jack Nicholson (Batman, 1989), Heath Ledger (The Dark Knight, 2008), dan sekarang, Joaquin Phoenix.

Joker membunuh dengan tingkat kekejaman maksimal, di luar batas nalar, tanpa beban. Ia tersenyum saat menyaksikan korban-korbannya meronta-ronta meregang nyawa.

"Smile, because it confuses people. Smile because it's easier than explained what is killing you inside," katanya dengan intonasi tinggi rendah nada yang mengesankan, seperti berpuisi.

Bagaimana bisa ada manusia jahat begini rupa?

Todd Philips mencoba menjawabnya. Menurut dia, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab suci, tidak seorang manusia pun dilahirkan sebagai penjahat. Tiap manusia lahir suci. Lahir bersih.

Tak ada kejahatan yang sungguh-sungguh berangkat dari dalam diri manusia. Kejahatan datang dari luar; dari lingkungan, dari realitas sosial.

Sebelum penahbisannya sebagai Joker, Arthur Fleck adalah seorang laki-laki biasa saja. Lelaki yang mengampu cita-cita menjadi penghibur panggung. Persisnya pelawak --lebih khusus lagi pelawak tunggal (komika).

Cita-cita yang nyaris tercapai. Iya, nyaris, jika saja ia tidak dihadapkan pada dua perkara yang pada akhirnya membuat kesabaran dan kepasrahannya terhadap nasib buruk berakhir.

Padahal Arthur sudah lama belajar berkompromi. Belajar menerima berbagai kenyataan pahit.

Sedari bocah ia berulangkali dihadapkan pada kekerasan-kekerasan dan siksaan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar.

Kawan sepermainan. Orang-orang yang lebih tua. Termasuk dari Sophie Dumond, ibunya. Arthur juga mengidap penyakit saraf.

Kompilasi siksaan fisik dan mental ini sedikit banyak mengganggu perkembangan jiwanya. Dalam kondisi-kondisi tertentu, dalam kemarahan dan kesedihan dan kesakitan yang sudah tak lagi tertahankan, Arthur lepas kendali. Dan ia akan tertawa seliar-liarnya, segila-gilanya.

Satu hari, satu momentum yang disangka Arthur akan mengubah hidupnya, justru memelantingkannya ke dalam kubang kemarahan, kesedihan, dan kesakitan, yang paripurna.

Seketika, cara pandang Arthur terhadap hidup dan kehidupan yang ia jalani berubah. Tidak ada lagi kesabaran. Tidak ada lagi kepasrahan.

Arthur sampai pada titik kesadaran betapa kesabaran dan kepasrahannya selama ini hanya menempatkannya pada posisi tertindas dan terhina.

Arthur Fleck alias Joker dalam satu scene film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix
Arthur Fleck alias Joker dalam satu scene film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix (Warner Bros/www.deseret.com)

Bahkan ironis, para penindas dan penghina ini justru datang dari dekat-dekat dia. Randall, rekannya sesama komika. Juga Murray Franklin, presenter acara komedi yang dipuja Arthur sebagai idola. Juga ibunya tentu saja.

Arthur pun secara sadar mengubah diri jadi represif. Tawanya subversif. Sikapnya berubah jadi teror. Dari sosok humoris yang menderita dan menyimpan nestapa, sosok yang tak pernah tega menyakiti orang lain, Arthur menjelma Joker dan jadi ancaman bagi siapapun.

Ia membekap ibunya dengan bantal sampai kehabisan nafas.

Ia menusuk mata Randall dengan gunting lantas menghantamkan kepalanya ke tembok. Arthur tertawa saat darah dari kepala Randall yang pecah muncrat membasahi wajah dan tubuhnya.

Ia menembak Murray Franklin. Tak tanggung, Arthur menembaknya dalam acara yang dipancarluaskan secara nasional.

Tiga orang tak dikenal yang mengeroyoknya di gerbong kereta api bawah tanah juga dihabisinya dengan membabi buta.

Begitulah seorang bandit lahir dari rahim konspirasi masyarakat yang sok moralis padahal brengsek.

Seorang bandit tumbuh dari paranoia masyarakat yang menjunjung tinggi kesopansantunan padahal bajingan.

Dan saat Arthur, sebagai Joker, menarikan gerak-gerak badut dengan iringan suara Frank Sinatra yang menyanyikan 'Send In The Clowns'; lagu yang tidak berkorelasi dengan badut dalam arti sebenarnya, tiba-tiba saya teringat Wiji Thukul. Teringat sepotong larik puisinya yang kesohor itu.

Dalam artinya yang lain, "apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan", maka berhati-hatilah.

Ketertekanan; kemarahan dan kesedihan dan kesakitan, yang memuncak dirasakan rakyat akan mengubah mereka menjadi Joker, sebuah ambiguitas yang merayakan kebencian dengan caranya sendiri.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved