Kisah Anggota PKI Tak Mempan Ditembak Saat Eksekusi, Akhirnya Tewas karena Ucapan Satu Kata Ini

Peristiwa tak masuk akal atau mistis mewarnai rangkaian penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) puluhan tahun silam.

Editor: Juang Naibaho
bbc indonesia
Belasan anggota organisasi pelajar Muslim membakar sekretariat organisasi pelajar underbow PKI. 

"Rupanya, jawaban "Tidak" dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya sehingga dia mati sesuai permintaannya…" ungkap Mayjen TNI (Purn) Rachwono yang ikut dalam Batalyon Kala Hitam saat menggulung sisa-sisa kekuatan PKI Madiun seperti dikutip dalam dokumen pribadinya.

Baca: Jokowi Umumkan Nama Menteri Usai Pelantikan, Prof LIPI Sebut 4 Nama yang Layak Dipertahankan

Baca: Walikota Diikat di Truk Lalu Diseret oleh Warga karena Ingkar Janji Kampanye

Dukun PKI Kebal Senjata dan Peluru

Kejadian tak jauh berbeda dialami pasukan Kopassus yang diterjunkan untuk menumpas salah satu simpatisan PKI yang terkenal sebagai dukun

Dikutip dari buku "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto, Kopassus terpaksa menggunakan cara kekerasan untuk menghentikan dukun PKI itu

Seperti diketahui, berkobarnya tragedi G30S/PKI yang menculik para jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.

Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.

Perburuan dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.

Saat itu pada tahun 1967, perburuan terhadap simpatisan dan anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara Cepu dan Ngawi.

Kopassus hendak menumpas simpatisan PKI yang bernama Mulyono Surodihadjo alias Mbah Suro.

Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.

Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik sebagai dukun yang mengobati orang sakit.

Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito Gunung Kendheng.

Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti dengan perubahan penampilannya seperti memelihara kumis tebal, dan rambut panjang.

Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik, dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.

Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera dan air kekebalan kepada para muridnya.

Halaman
1234
Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved