Akhirnya KPK Angkat Bicara terkait Dokumen Resmi UU KPK Revisi, PKS Singgung Jokowi soal Perppu KPK
Akhirnya KPK Angkat Bicara terkait Dokumen Resmi UU KPK Revisi, PKS Singgung Jokowi soal Perppu KPK
Akhirnya KPK Angkat Bicara terkait Dokumen Resmi UU KPK Revisi, PKS Singgung Jokowi soal Perppu KPK
TRIBUin-MEDAN.com - Akhirnya KPK Angkat Bicara terkait Dokumen Resmi UU KPK Revisi, PKS Singgung Jokowi soal Perppu.
//
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pihaknya belum mendapatkan dokumen resmi UU KPK hasil revisi yang sudah dicatat oleh Kemenkumham sebagai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Baca: Ternyata Wali Kota Medan saat di Jepang Perpanjang Tinggal Luar Dinas, Kronologi dan Tagihan Travel
Sebelumnya, UU KPK lama adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dokumen UU 19 Tahun 2019 tersebut belum kami dapatkan sampai saat ini," kata Febri dalam keterangan tertulis, Jumat (18/10/2019).
Baca: Ajudan Wali Kota yang Nyaris Tabrak Petugas KPK saat OTT Nongol di Kantor Wali Kota Medan
Baca: Buronan Polri Veronica Koman Galang Dukungan Politisi Australia agar Intervensi Penanganan Papua
"Kami baru dapat informasinya pagi ini. Nanti akan dilihat apa isi UU tersebut. Jika sudah didapatkan segera dibahas untuk memutuskan tindak lanjut berikutnya," kata dia.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pimpinan KPK sudah bertemu dengan jajaran struktural internal untuk menyusun peraturan teknis sesuai dengan UU KPK hasil revisi.
"Tadi siang, kami sudah melakukan pertemuan dengan jajaran struktural di KPK walaupun sebelumnya kita sudah ada pertemuan. Ini untuk mengantisipasi hal yang akan dihadapi KPK (setelah UU KPK hasil revisi diberlakukan)," kata Agus dalam konferensi pers, Rabu (16/10/2019) malam.
"Yang sangat krusial, yang menyangkut banyak orang, itu terkait transisi SDM. Itu yang kita juga bicarakan jauh-jauh hari," ujar dia.
Salah satu contoh lainnya adalah mengenai status pimpinan KPK. Pada UU KPK lama menyebut, pimpinan KPK adalah pejabat negara, penyidik dan penuntut umum serta bersifat kolektif kolegial. Sementara pada UU KPK hasil revisi tidak.
Dalam Pasal 21 UU KPK hasil revisi, pimpinan KPK hanya disebut sebagai pejabat negara dan bersifat kolektif kolegial.
Baca: Ternyata Wali Kota Medan saat di Jepang Perpanjang Tinggal Luar Dinas, Kronologi dan Tagihan Travel
Baca: KPK Datangi Lagi Pemko Medan, Periksa Beberapa Ruang Pejabat, akan Ada Tersangka Tambahan?
"Misalnya di dalam perkom itu kita menyiapkan in case misalkan itu diundangkan, yang tanda tangan surat perintah penyidikan misalnya siapa, itu tadi kita tentukan, seperti Deputi Penindakan, ada di dalam perkom itu," kata Agus.
Agus sekaligus menegaskan bahwa jajaran di KPK tetap akan bekerja seperti biasa.
Politisi PKS
TRIBU'N-MEDAN.com - PERPPU KPK, Jokowi Dianggap Ragu tak Berkutik di Hadapan Parppol Pendukung, Pendapat Politisi PKS.
//
Ketua Departemen Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian menilai, Presiden Joko Widodo ragu untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi.
Baca: Akhirnya Putri Amien Rais Hanum Rais Angkat Bicara terkait Postingan dan Berujung Dipolisikan
Baca: 2 Profesor Bongkar Persoalan Awal Draf UU KPK Melemahkan, Pakar Hukum: Pasal yang Sengaja Diselipkan
Padahal, berbagai elemen masyarakat sipil memandang bahwa UU KPK hasil revisi justru berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Keraguan itu, menurut Pipin, menimbulkan kesan bahwa Presiden Jokowi enggan mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan keinginan pimpinan parpol pendukungnya.
"Beliau seperti tidak berkutik di hadapan para elite partai politik pendukung pemerintahannya," ujar Pipin saat menjadi pembicara dalam peluncuran hasil survei Parameter Politik Indonesia, di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019).
Baca: Dzulmi Eldin, Fakta Tour and Travel Tagih Dana Perjalanan Wali Kota Medan ke Jepang, Dibalik OTT KPK
Baca juga: Aksi Mahasiswa Tuntut Perppu KPK, Hanya 2,5 Jam dan Tak Bisa Sampai ke Depan Istana
Pipin kemudian menyinggung soal pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengenai peluang pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Jokowi jika menerbitkan Perppu KPK.
Ia berpendapat, seorang presiden tidak dapat dimakzulkan hanya karena menerbitkan Perppu.
Lantas, Pipin menuturkan salah satu syarat pengajuan impeachment dapat dikabulkan, yakni apabila presiden terlibat tindak pidana misalnya kasus korupsi.
"Jadi, ini pernyataan luar biasa. Di luar dugaan dan saya kira terlalu jauh untuk menghubungkan antara Perppu dengan impeachment presiden," kata Pipin.
Baca: BAHAYA Gorengan dan Penyakit Kardiovaskular, Jarang Diketahui Risiko Mengerikan Mengintai Anda
"Kalau misalnya Pak Jokowi terlibaf kasus korupsi, itu bisa kita ajukan impeachment," lanjut dia.
Sementara itu, hasil survei Paramater Politik Indonesia (PPI) menunjukkan, mayoritas responden ingin Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Baca juga: Ditanya soal Perppu KPK, Moeldoko: Tunggu Saja, Sabar Sedikit Kenapa Sih
Saat ditanya soal urgensi penerbitan Perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan setuju.
Sedangkan 39,3 persen responden menyatakan Presiden Jokowi tidak perlu menerbitkan Perppu KPK dan sisanya tidak menjawab.
"Memang banyak masyarakat yang ingin Presiden Jokowi menerbitkan Perppu. Perppu dianggap jadi solusi dari kekisruhan yang ada," ujar Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno saat memaparkan hasil survei.
Masih berdasarkan hasil survei, mayoritas responden juga menolak pengesahan UU KPK hasil revisi.
Sebanyak 44,4 persen responden menyatakan tidak setuju langkah DPR dan Presiden Joko Widodo mengesahkan UU KPK yang baru. Sedangkan 23,2 persen responden menyatakan setuju dan sisanya tidak menjawab.
Menurut Adi, masyarakat yang tidak setuju khawatir UU KPK hasil revisi justru akan menghambat kinerja pemberantasan korupsi.
Baca: Dzulmi Eldin, Fakta Tour and Travel Tagih Dana Perjalanan Wali Kota Medan ke Jepang, Dibalik OTT KPK
Baca: Akhirnya Putri Amien Rais Hanum Rais Angkat Bicara terkait Postingan dan Berujung Dipolisikan
Selain itu, masyarakat menganggap UU tersebut akan melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.
Sebanyak 39,7 persen responden setuju dengan argumen bahwa UU KPK hasil revisi akan melemahkan kewenangan lembaga antirasuah itu.
Sementara 25,2 persen menyatakan tidak setuju dan sisanya tidak menjawab.
"Mayoritas masyarakat juga berpendapat bahwa UU KPK yang baru akan melemahkan KPK dalam memberantas korupsi," kata Adi.
Nasib KPK Terkini setelah UU KPK Hasil Revisi Sah Berlaku, Penjelasan 2 Pakar Hukum
Pakar Tata Hukum Negara, Mahfud MD dan Refly Harun menjelaskan nasib Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) sekarang.
Baca: Viral Postingan Adik Mencari Jodoh untuk Kakaknya yang Sudah Berusia 30 Tahun, Dibanjiri Pesan Masuk
Baca: JOKOWI TERKINI - Janji Jokowi Perkuat KPK Ditagih lewat Perppu KPK, ICW: Jangan Lupa Janjinya Dulu
Sedangkan sebagaimana diketahui, Undang-undang KPK hasil revisi mulai berlaku pada Kamis (17/10/2019).
Dilansir oleh Tribu'nWow.com melalui channel YouTube tvOneNews, Mahfud MD menjelaskan kini KPK masih bekerja seperti biasa sebelum 19 Desember 2019.
Namun, perubahan bisa saja lebih cepat terjadi jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Dewan Pengawas KPK sebelum tanggal tersebut.
"Sampai dengan tanggal 19 Desember atau kalau lebih cepat itu dari itu kalau misalnya sebelum itu presiden membentuk Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangannya maka KPK seperti yang ada sekarang ini masih terus bisa melaksanakan tugasnya." jelas Mahfud MD.
Baca: 2 Profesor Bongkar Persoalan Awal Draf UU KPK Melemahkan, Pakar Hukum: Pasal yang Sengaja Diselipkan
Meski undang-undang hasil revisi telah berlaku, namun KPK masih bisa bekerja seperti biasa karena Dewan Pengawas belum dibentuk presiden.
Hal itu sesuai dengan Undang-undang Pasal 69 d.
"Artinya sekarang Undang-undang berlaku tapi sesuai dengan Pasal 69 d, sebelum presiden membentuk Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangannya maka Komisi Pemberantasan Korupsi di situ disebut Pasal 69 d komisi pemberantasan korupsi artinya bukan hanya komisionernya."
"Komisi Pemberantasan Korupsi tetap melaksanakan tugas berdasarkan undang-undang yang ada sebelumnya," papar Mahfud MD.
Baca: VIRAL Kisah Seorang Pria Akui Perbuatan Jahatnya Memacari Adik, Sebar Chat WhatsApp Usai Jadi Mantan
KPK kini masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan seperti biasa, termasuk Operasi Tangkap Tangan (OTT) hingga penggeledahan.
Apalagi, pimpinan baru KPK juga belum dilantik.
"Jadi tidak ada masalah sampai dengan 18 Desember hari terkahir, sehingga 19 Desember kalau presiden sudah mengeluarkan Kepres tentang Dewan Pengawas bersamaan dengan Pelantikan atau pengangkatan atau pimpinan yang baru maka tidak ada masalah KPK melakukan kegiatan seperti selama ini."
"Termasuk melakukan OTT, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya," jelas Mantan Menkumham ini.
Sementara itu, Pakar Tata Hukum Negara, Refly Harun yang juga menjadi narasumber dalam acara itu, setuju dengan pernyataan Mahfud MD.
Sebelum Dewan Pengawas dibentuk, KPK masih bisa bekerja seperti biasanya.
d
"Begini, kelazimannya memang kalau belum ada Dewan Pengawas maka kemudian jalan sebagaimana sebelummya terbentuknya Dewan Pengawas, setelah adanya Dewan Pengawas maka ketentuan-ketentuan izin itu berlaku," kata Refly Harun.
Namun, Refly Harun menyorot izin penyadapan oleh Dewan Pengawas.
"Maka saya sangat menggarisbawahi izin penyadapan, di situ dikatakan untuk melakukan penyadapan izin Dewan Pengawas tapi ternyata tidak hanya izin Dewan Pengawas," kata Refly Harun.
Pakar Tata Hukum Negara ini lantas mengatakan bahwa izin penyadapan tidak hanya semata-mata izin pada Dewan Pengawas.
KPK harus membuat gelar perkara sedangkan gelar perkara bisa dilakukan jika ada sejumlah bukti terlebih dahulu ditemukan.
Sehingga, OTT yang baru akan sulit dilakukan tanpa melakukan penyadapan terlebih dahulu.
"Dewan Pengawas baru bisa bisa diberikan itu dalam pasal penjelasannya setelah gelar perkara di depan Dewan Pengawas, artinya kita tidak bisa berharap kasus-kasus baru di OTT."
"Karena kasus yang di OTT dengan penyadapan itu satu paket," tegas Refly Harun.
Baca: Gara-gara Beda Pilihan Pilkades, Pernikahan Anak Janda Diboikot Satu RT, Kursi Kosong Melompong
Baca: INILAH Sosok dan Foto-foto Penampilan Rita Maharani, Istri Wali Kota Medan Dzulmi Eldin
Menurut keterangan pakar tata hukum asal UGM ini, OTT juga tidak bisa dilakukan tanpa adanya penyadapan terlebih dahulu.
Bagaimana KPK bisa mengOTT orang tanpa mendapat buktinya terlebih dahulu.
"Tidak mungkin mengOTT orang tanpa terlebih dahulu menyadapnya, karena kita tidak tahu konteksnya," lanjutnya.
Penyadapan baru bisa dilakukan oleh KPK setelah melakukan gelar perkara.
Sedangkan, gelar perkara baru bisa diadakan setelah KPK menemukan sejumlah bukti maupun menemukan tersangkanya.
"Nah nanti kalau ada kasus baru tidak mungkin diberikan izin oleh Dewan Pengawas karena belum gelar perkara."
Padahal gelar perkara kita tahu kalau sudah ada alat bukti minimal untuk ditingkatkan menjadi tahap penyidikan kalau sudah ada tersangkanya," jelas Refly Harun.
Sehingga, Refly Harun merasa undang-undang KPK hasil revisi itu jelas melemahkan KPK.
Lihat videonya sejak menit awal:
(*)
Baca: Tersebar Video Wanita Berpakaian Pramugari Beradegan Panas di Toilet, Simak Fakta-fakta Lainnya
Baca: Kisah Sekeluarga Ayah dan 5 Anaknya Menunggu Hari Kiamat Bersembunyi di Bawah Tanah Selama 9 Tahun
Baca: Dewan Pengawas KPK Hambat Pemberantasan Korupsi? Pakar Hukum Refly Harun: Materinya Dewan Perizinan
Artikel ini dikutip dari tribu'nwow, Kompas.com, dan KPK Belum Terima Dokumen . . .
Akhirnya KPK Angkat Bicara terkait Dokumen Resmi UU KPK Revisi, PKS Singgung Jokowi soal Perppu
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/kpk-terkini-setelah-janji-jokowi-sinyal-keluarkan-perppu-uu-kpk-febri-diansyah-jawab-posisi-kpk.jpg)