Dari Menjawab Anak SMK Berujung PKS Kritik Jokowi Tak Perlu Retorika & Koreksi Grasi untuk Koruptor
Wacana ini muncul saat Presiden menjawab pertanyaan siswa SMK, yang bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia
TRIBUN-MEDAN.com - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil memberikan pendapatnya mengenai pernyataan Presiden Jokowi mengenai hukuman mati untuk koruptor.
Presiden Jokowi sebelumnya menyampaikan, hukuman mati bisa diterapkan bagi pencuri uang negara atau koruptor, ketika menjawab pertanyaan siswa SMK, yang bertepatan dengan peringatan hari antikorupsi sedunia, Senin (9/12/2019) kemarin.
Saat itu Presiden Joko Widodo menghadiri pentas drama "Prestasi Tanpa Korupsi" di SMK 57 Jakarta.
Dalam kunjungannya itu, Jokowi sempat ditanya oleh Harley Hermansyah, satu di antara siswa kelas XII Jurusan Tata Boga SMK 57 mengenai hukum di Indonesia yang tak tegas untuk koruptor.
Nasir Djamil mengatakan, Presiden Jokowi keliru jika mengatakan bahwa hukuman mati berdasarkan kehendak masyarakat.
Menurutnya, ada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah mengatur hukuman bagi koruptor.
"Menurut saya Pak Jokowi itu keliru, kalau mengatakan bahwa hukuman mati berdasarkan kehendak masyarakat, karena UU Tipikor sendiri itu mengatur," ujar Nasir Djamil, dikutip dari YouTube Kompas TV, Selasa (10/12/2019).

Menurut Nasir, peraturan hukuman mati telah termuat dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Psikotropika, dan Undang-undang Tipikor.
"Hukuman mati itu ada di UU HAM, UU Psikotropika, dan UU tentang korupsi itu sendiri," jelas Nasir.
Nasir mengatakan, Presiden tidak perlu membuat retorika dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Menurutnya sebaiknya Presiden segera mengoreksi keputusan yang dibuat dalam memberikan grasi terhadap terpidana korupsi Annas Maamun.
Presiden Jokowi sebelumnya memberikan pengurangan hukuman (grasi) kepada mantan Gubenur Riau Annas Maamun yang merupakan terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan.
Annas Maamun divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor dan diperberat menjadi 7 tahun di tingkat kasasi.
Presiden Jokowi memberi pengurangan hukuman penjara selama 1 tahun, sehingga hukuman Annas menjadi 6 tahun penjara.
Setelah kabar pemberian grasi itu beredar, Jokowi angkat bicara terkait alasan pemberian grasi tersebut.
"Semua yang diajukan kepada saya, kita kabulkan, coba dicek berapa ratus yang mengajukan dalam satu tahun, yang dikabulkan berapa coba dicek," ujar Jokowi di Istana Bogor, Rabu (27/11/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Jokowi mengatakan pemberian grasi kepada Annas itu sudah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
Selain itu dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga sudah mempertimbangkannya.
"Kenapa itu diberikan, karena dari pertimbangan MA seperti itu, pertimbangan kedua dari Menkopolhukan juga seperti itu," jelas Jokowi.

Presiden juga menyampaikan alasan bahwa pemberian grasi itu berdasarkan sisi kemanusiaan.
"Ketiga, memang dari sisi kemanusiaan, ini kan umurnya sudah uzur dan sakit-sakitan terus," katanya.
Jokowi menegaskan, selain melihat dari sisi kemanusiaan, juga berdasarkan pertimbangan dari MA.
"Dari kacamata kemanusiaan itu diberikan, tapi sekali lagi ini dari pertimbangan Mahkamah Agung," lanjutnya.
Ia menilai keputusan pemberian grasi tersebut tidak perlu dipermasalahkan, karena tidak setiap hari atau setiap bulan grasi diberikan.
"Kalau setiap hari kita keluarkan grasi untuk koruptor, setiap hari atau setiap bulan, itu silakan baru dikomentari," lanjut Jokowi.
Dikutip dari laman Kompas.com, Kamis (28/11/2019), Pemberian grasi Jokowi kepada Annas Maamun itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 yang dikeluarkan pada 25 Oktober lalu.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Ade Kusmanto menyampaikan informasi tersebut melalui siaran pers, Selasa (26/11/2019).
Pemberian grasi kepada seorang narapidana korupsi itu banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak.
Banyak yang menyampaikan kekecewaannya, karena Annas mendapatkan keringanan hukuman dari negara.
Kekecewaan atas keputusan presiden itu disampaikan oleh International Corruption Watch (ICW), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Pimpinan Komisi III DPR.
Presiden Jokowi diminta untuk menjelaskan pemberian grasi tersebut kepada publik.
Mereka menilai pengurangan hukuman terhadap terpidana korupsi, dinilai hanya melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
sebelumnya, pihak Istana sempat bungkam ketika diminta untuk memberikan keterangan, dan justru meminta media untuk menanyakannya pada Menteri Hukum dan HAM.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi sempat ditanya oleh Harley Hermansyah, satu di antara siswa kelas XII Jurusan Tata Boga SMK 57 mengenai hukum di Indonesia yang tak tegas untuk koruptor.
"Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas, kenapa tidak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati," kata Harley yang dikutip dari Kompas.com.
Sesaat setelah pertanyaan tersebut terlontar, Harley mendapatkan apresiasi dari semua siswa yang hadir.
Sontak siswa-siswa tersebut langsung bertepuk tangan bersama.
Selain itu Presiden Jokowi juga ikut menanggapi dengan tertawa kecil saat mendengar pertanyaan tersebut.
Setelah itu, Jokowi langsung menjawabnya, ia menjelaskan jika undang-undang sekarang memang tidak mengatur hukuman mati.
"Ya kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati itu akan dilakukan. Tapi, di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," ujar Jokowi.
Jokowi lantas menjelaskan jika aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan.
Syaratnya adalah jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
Jokowi juga menambahkan penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai satu di antara sanksi pemidanaan.
Sanksi tersebut ada dalam Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR
Syaratnya adalah jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
Jokowi juga menambahkan penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai satu di antara sanksi pemidanaan.
Sanksi tersebut ada dalam Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi.
Menurutnya, jika ada keinginan dan dorongan kuat dari masyarakat maka DPR akan mendengarnya.
Namun Jokowi juga menekankan keinginan hukuman mati untuk koruptor juga akan kembali pada komitmen sembilan fraksi di DPR.
"Sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," lanjut Jokowi.
Sementara itu, Jokowi tak menjawab dengan tegas apakah dari pihak pemerintah akan menginisiasi hukuman tersebut.
Menurut Jokowi, hal itu kembali lagi pada kehendak masyarakat.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Luthfia Ayu Azanella)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PKS Sebut Jokowi Keliru kalau Hukuman Mati Koruptor Berdasarkan Kehendak Rakyat: UU Tipikor Mengatur