Guru Agama SD Negeri Denda Muridnya Rp 30 Ribu Karena Nonton Cap Go Meh

Murid SDN 43 yg masih lugu di Sagatani, Singkawang Selatan ini nonton Cap gomeh ( tradisi cina / akhir imlek ) didenda Rp 30.000.

Facebook
Ilustrasi Cap Go Meh dan Guru yang melarang siswanya menonton Cap Go Meh 

Kebudayaan Tionghoa dan Dayak berakulturasi membuat kota ini mendapat julukan sebagai "Kota Seribu Kelenteng".

Singkawang merupakan kota yang tenang, namun semua berubah ketika Cap Go Meh hadir di tengah penduduknya.

Festival yang merupakan hari ke-15 sekaligus penghujung perayaan Tahun Baru Imlek ini adalah highlight yang tidak boleh dilewatkan saat Anda berlibur ke Singkawang.

Perayaan Cap Go Meh semakin menarik karena ada atraksi Tatung (manusia dirasuki dewa-dewa China). Para Tatung ini dalam keadaan trance atau tidak sadar.

Perayaan di Cap Go Meh di Singkawang ini dihadiri oleh 700 tatung lebih yang datang dari penjuru nusantara.

Berikut adalah lima fakta seputar Cap Go Meh seperti dilansir dari Kompas.com:

Rangkaian atraksi tatung dalam puncak perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Jumat (10/2/2017). Sebanyak 567 tatung turut berpartisipasi dalam perayaan budaya terbesar masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang.
Rangkaian atraksi tatung dalam puncak perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Jumat (10/2/2017). Sebanyak 567 tatung turut berpartisipasi dalam perayaan budaya terbesar masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang. (KOMPAS.com/YOHANES KURNIA IRAWAN)

1. Arti Nama Cap Go Meh

Kata 'Cap Go Meh' diserap dari Bahasa Hokkian.

'Cap' berarti sepuluh, 'Go' berarti lima, sedangkan 'Meh' berarti malam.

Penyebutan ini merujuk pada waktu penyelenggaraan acara yang memang diselenggarakan pada penanggalan 15 kalender China.

Di China nama perayaan ini adalah Yuan Xiao atau Shang Yuan.

Di Barat festival ini disebut Lantern Festival (Festival Lampion) atau Chinese Valentine's Day (hari Kasih Sayang versi China).

2. Sejarah Cap Go Meh

Cap Go Meh diprediksi sudah dirayakan sejak 2.000 tahun lalu.

Sejak zaman Dinasti Han (206 Sebelum Masehi- 25 Masehi) ketika biksu Budha harus membawa lentera untuk ritual indah.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved