Masjid Raya Sultan Basyaruddin: Pernah Jadi Markas Belanda hingga Simpan Bedug Berusia 166 Tahun

Masjid Raya Sultan Basyaruddin merupakan peninggalan dari Sultan Serdang ke IV, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah.

TRIBUN MEDAN/HO
DOKUMENTASI Masjid Basyaruddin yang dibangun sejak tahun 1854 yang terletak di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Pantai Labu, Deliserdang. 

TRI BUN-MEDAN.com, MEDAN - Kota Medan identik dengan ikon masjid bersejarah yang sudah berusia 110 tahun yang dikenal dengan Masjid Raya Al Mashun.

Namun, jauh dari pusat kota, ada sebuah masjid yang telah berdiri sejak tahun 1854 atau kini berusia 166 tahun yaitu Masjid Raya Sultan Basyaruddin.

Masjid Raya Sultan Basyaruddin yang terletak di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deliserdang ini merupakan peninggalan dari Sultan Serdang ke IV, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah.

Bentuk bangunan dari Masjid ini begitu unik dengan memadukan gaya arsitektur Eropa dan ciri khas Melayu.

Hal ini dapat terlihat dari dinding dan bata beton yang masih dipertahankan hingga saat ini yang erat dengan gaya khas Eropa sedangkan untuk bentuk atap dan ornamen Masjid sangat kental dengan nuansa tradisional Indonesia khususnya terhadap khas Melayu.

Pengalaman Fadhil Ginting Ramadan di Swiss, Bukber Keliling Masjid Santap Menu Khas Berbagai Negara

Pengurus Masjid Raya Sultan Basyaruddin, Damuri (68) mengungkapkan, masjid ini dulunya dibangun oleh Sultan Basyaruddin dengan melarang masyarakat untuk berinfaq dana membangun masjid tersebut.

"Dulu orang dari luar memang tidak dikasih untuk menyumbang sebab ini pribadi milik kerajaan punya. Saat ini, benda peninggalan kerajaan seperti bedug dan mimbar yang khas melayu," ungkap Damuri, Kamis (7/5/2020).

Damuri menuturkan bahwa posisi masjid dulu tidak seperti saat ini.

Dulunya, belakang masjid ini bersebrangan dengan Istana Sultan Serdang Rantau Panjang.

"Dulu posisi masjid tidak seperti sekarang. Dulu belakang ini menjadi bagian depan. Masjid ini punya punya sumur yang luas dan bersejarah sebelum adanya sumur bor," ujar Damuri.

Saat ini, Masjid Raya Sultan Basyaruddin sudah ditutupi dengan keramik putih.

Damuri menuturkan walau ada beberapa perbaikan, namun nuansa khas melayu begitu terasa ketika memasuki masjid tersebut.

"Kalau dulu jendela tidak ada. Semuanya berbentuk pintu kayu dan di atasnya itu ada bentuk gaya khas melayu. Namun, karena dinilai rasa gelap, jadi dibuatlah jendela. Kalau aslinya dia pintu kayu seperti ini (sambil menunjukkan pintu kayu di tengah masjid)," kata Damuri.

Lezatnya Bubur Sup India, Menu Favorit Berbuka Puasa di Masjid Ghaudiyah Medan

Berdiri sejak tahun 1854, masjid ini memiliki sejarah dengan tentara Belanda dan Jepang. Damuri yang mendengar cerita dari leluhur terdahulu mengungkapkan bahwa dulunya Masjid Sultan Basyaruddin sempat menjadi persembunyian sementara tentara Belanda.

"Dulu sempat masjid ini jadi persembunyian tentara belanda. Namun hanya sebentar saja. Ini waktu penyerangan tentara Belanda ke Kesultanan Serdang di tahun 1865 yang jadi markas Belanda. Masyarakat sekitar ya tidak terima, namun tidak berani brontak karena mereka punya senjata," ungkapnya.

Selain Belanda, Masjid ini juga punya sejarah dengan tentara Belanda. Menurut cerita Damuri, dulunya di belakang masjid ini ada parit besar yang dibangun oleh tentara Jepang untuk mengalirkan air menuju perkebunan kelapa sawit yang ada di daerah Serdang.

"Ketika masuk Jepang, belakang sumur ini dibuat parit besar yang mengalirkan air langsung ke Serdang menuju kebun sawit milik Jepang," kata Damuri.

DOKUMENTASI bedug milik Masjid Raya  Sultan Basyaruddin yang telah ada sejak masjid ini pertama kali dibangun.
DOKUMENTASI bedug milik Masjid Raya Sultan Basyaruddin yang telah ada sejak masjid ini pertama kali dibangun. (TRIBUN MEDAN/HO)

Ornamen khas Melayu sudah dapat dilihat dari pintu masuk dengan dilengkapi lubang angin berbentuk busur dan ornamen bunga khas Melayu.

Di dalam masjid, bangunan dan benda lainnya masih asli tanpa diubah, diantaranya ada mimbar yang sudah ada sejak tahun 1854.

"Mimbar ini merupakan sejarah peninggalan Sultan Serdang. Kalau untuk detailnya ini masih asli belum ada dirombak dan selain itu disini juga ada bedug yang dari awal berdiri masjid sudah ada sejak berdirinya masjid ini lebih dari 100 tahun yang lalu, namun saat ini sudah sangat jarang kita gunakan," ujar Damuri.

Andi, seorang Jama'ah Masjid Raya Sultan Basyaruddin mengungkapkan, dirinya rutin salat di masjid tersebut karena suasana sejuk dan tradisional yang masih dipertahankan masjid tersebut.

"Suka salat  disini karena memang masjid ini bersejarah, terus juga nyaman. Sejuk suasananya ketika salat disini kebetulan juga dekat dengan rumah. Bangunan zaman dulunya masih terasa walau udah ratusan tahun," ungkap Andi.

Arsitektur dalam bangunan ini masih asli, mulai dari platform atas masjid hingga bentuk di dalam masjid tersebut. Selain itu, para jamaah dan pengunjung masjid akan disuguhkan lukisan foto yang terdapat di atas dua pintu masuk yang berada di belakang yang menggambarkan suasana istana yang berada di seberang masjid.

Tiap Ramadan, Masjid Raya Sultan Basyaruddin ini juga rutin untuk mengadakan kegiatan selama Ramadan.

Hal ini diungkapkan oleh Damuri.

"Masjid ini pada bulan bulan puasa ada mengadakan kegiatan tadarus tiap malamnya dan kalau untuk ibu-ibu dilaksanakan ketika saat Subuh. Namun dengan kondisi pandemi Covid saat ini sudah tidak ada lagi untuk sementara waktu," pungkas Damuri.(cr13/tri bun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved