Setelah Buron 11 Tahun, Akhirnya Djoko Tjandra Diciduk, Pengacaranya juga Kini Menjadi Tersangka
Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma
Menurut Argo, pihaknya juga menyita sejumlah barang bukti.
"Jadi keseluruhan saksi ada 23. kemudian kita juga ada barang bukti sudah kita amankan yaitu surat surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19 dan juga surat rekomendasi kesehatan yang semuanya atas nama JST dan atas Anita," katanya.
Dalam kesempatan itu, Polri mesangkakan Anita Kolopaking melanggar pasal berlapis.
Yakni, pasal 263 KUHP tentang surat palsu dan pasal 223 KUHP tentang memberikan pertolongan kepada buronan negara.
Dicegah ke luar negeri
Pengacara buronan korupsi Djoko Tjandra, Anita Kolopaking mengaku tidak khawatir dengan pencekalan nama dirinya yang diterbitkan oleh Bareskrim Polri kepada Imigrasi.
Anita memastikan akan kooperatif menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik polri.
"Nggak apa-apa, itu dalam rangka pemeriksaaan buat saya wajar-wajar saja. Wajar kok gapapa gak ada yang aneh, buat saya itu semua yang dijalankan itu adalah hal yang wajar," kata Anita usai menjalani pemeriksaan di Gedung JAM Pengawasan Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Senin (27/7/2020).
Ketika disinggung apakah siap diperiksa oleh polisi, Anita mengaku tak masalah jika harus diselidiki soal keterlibatannya dalam penerbitan surat jalan dan bebas Covid-19 Djoko Tjandra.
"Siap dong, Allah kok penolong saya," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri mengirimkan surat pencekalan terhadap kuasa hukum Djoko Tjandra Anita Kolopaking ke luar negeri.
Surat tersebut dikirimkan ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandra Soekarno-Hatta.
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan surat pencekalan tersebut dikirim sejak Rabu (22/7/2020) kemarin.
"Kemarin tanggal 22 Juli 2020 dari tim penyidik Bareskrim Polri mengirimkan surat kepada Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Perihalnya adalah permohonan pencegahan keluar negeri atas nama Anita Dewi Anggraeni Kolopaking," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Argo mengatakan pencekalan tersebut menyusul penyidikan yang tengah dilakukan polri soal penerbitan surat jalan dan surat bebas Covid-19 buronan korupsi Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, terlapornya adalah mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
"Penyidik Dit Tipidum Bareskrim Polri sedang melaksanakan penyidikan dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan seseorang pejabat dengan sengaja membiarkan orang yang dirampas kemerdekaannya melarikan diri atau melepaskannya atau memberikan pertolongan pada waktu melarikan diri atau melepaskan diri," jelasnya.
"Dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan dan memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian," sambungnya.
Dia mengatakan pencekalan tersebut berlaku terhitung selama 20 hari sejak 22 Juli 2020.
"Jadi sudah kita kirimkan pencegahan keluar negeri tersebut sementara selama 20 hari ke depan mulai dari tanggal 22 Juli. Sudah kita kirimkan ke Imigrasi," pungkasnya.
Menyerat 3 jenderal
Kasus Djoko Tjandra belakangan menyeret setidaknya tiga jenderal polisi yang akhirnya dicopot dari jabatannya,
Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz bahkan mencopot Irjen Pol Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri.
Pencopotan jabatan itu tertuang dalam Surat Telegram Kapolri dengan nomor ST/2076/VII/KEP/2020 tertanggal Jumat (17/7/2020). Surat telegram tersebut diteken langsung oleh AsSDM Kapolri Irjen Pol Sutrisno Yudi.
Nantinya, Irjen Napoleon akan dimutasi menjadi analisis Kebijakan Utama Itwasum Polri.
Hal tersebut dibenarkan Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono.
"Iya betul (Pencopotan Irjen Napoleon, Red)," kata Awi kepada wartawan, Jumat (17/7/2020).
Awi mengatakan Irjen Pol Napoleon Bonaparte dimutasi karena diduga melanggar kode etik.
"Pelanggaran kode etik maka dimutasi. Kelalaian dalam pengawasan staf," katanya.
Diduga, pencopotan jabatan tersebut buntut dari adanya polemik keluarnya surat penghapusan red notice terhadap buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra.
Hingga kini, propam juga masih memeriksa sejumlah pihak yang terkait dengan polemik penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Sebelumnya 2 jenderal polisi pun dicopot dari jabatannya karena kasus Djoko Tjandra.
Mereka di antaranya Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Bakar surat jalan
Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri juga menetapkan Brigadir Jenderal (Brigjen) Prasetijo Utomo menjadi tersangka dalam kasus pembuatan surat jalan untuk buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.
Pengumuman status tersangka Prasetijo itu disampaikan langsung oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Senin (27/7/2020).
”Perkembangan penangann BJPU, sebagai bentuk transparansi kita ke publik. Jadi hari
ini telah dilaksanakan gelar perkara menetapkan tsk saudara BJPU. Berdasarkan LP
A390, Bareskrim 27 Juli,” kata Sigit.
Sigit mengatakan, penetapan tersangka ini sudah melalui gelar perkara terkait kasus ini.
Tak kurang dari 20 saksi diperiksa dalam kasus surat jalan Tjoko Tjandra.
"Dilaksanakan pukul 10 tadi. Diikuti oleh Irwasum Polri Propam Korwasidik," tambah Sigit.
”Saat ini sudah kita periksa 20 orang. Dan tim masih bekerja melakukan pendalaman.
Kemungkinan ada tersangka baru,” imbuhnya.
Brigjen Prasetijo dijerat Pasal 221, Pasal 263, dan Pasal 426 KUHP.
Atas kasus ini, Prasetijo terancam hukuman penjara maksimal 6 tahun penjara. "Ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara," ucap Sigit.
Kasus yang menjerat Prasetijo bermula dari terungkapnya surat jalan untuk Djoko
Tjandra untuk pergi dari Jakarta ke Pontianak pada akhir Juni lalu.
Dari hasil penyelidikan internal, Prasetijo dinyatakan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kakorwas Bareskrim Polri dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra.
Padahal, surat jalan hanya bisa diterbitkan oleh Kabareskrim dan Wakabareskrim untuk
kepentingan perjalanan dinas internal.
Selain menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra, Prasetijo juga diketahui
membantu pria yang dijuluki ’Joker’ itu untuk mendapatkan surat bebas Covid-19 dari
RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Saat kasus ini mulai ramai di publik, Brigjen Prasetijo juga sempat berusaha menghilangkan barang bukti berupa surat jalan tersebut.
Namun, hal itu berhasil digagalkan.
“Yang bersangkutan telah menghalangi, mempersukar penyelidikan. Menghancurkan dan hilangkan barang bukti. Hal ini dikuatkan keterangan beberapa saksi yang bersesuaian," kata Sigit.
"BJPU sebagai pejabat Polri menyuruh Kompol Joni Andrianto untuk membakar surat yang digunakan,” tambah Sigit.
Atas usaha menghilangkan barang bukti tersebut, Brigjen Prasetijo juga dijerat Pasal
221 KUHP ayat ke-2. Dalam hal ini, surat yang ingin dibakar yakni surat jalan dan surat keterangan bebas Covid-19 Djoko Tjandra.
“Selanjutnya konstruksi hukum ketiga, terkait pelanggaran 221 ayat ke 2 KUHP. Yang bersangkutan telah menghalangi mempersukar penyelidikan,” ujar Sigit.
Berikut catatan kronologis kasus hukum Djoko Tjandra:
27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.
29 September 1999-8 November 1999
Djoko ditahan oleh Kejaksaan.
9 November 1999-13 Januari 2000
Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.
14 Januari 2000-10 Februari 2000
Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.
9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
10 Februari 2000 - 10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.
6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
April 2000–Agustus 2000
Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.
Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.
28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum.
Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.
21 September 2000
Antasari Azhar , selaku JPU, mengajukan kasasi.
26 Juni 2001
Majelis hakim Agung MA melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.
19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Djoko Sarwoko, Ketua Majelis Peninjauan Kembali MA dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa.
Djoko Tjandra dihukum dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Selain itu, Imigrasi mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
16 Juni 2009
Kejaksaan memanggil Djoko Tjandra untuk dieksekusi, namun yang bersangkutan mangkir. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah Papua New Guinea telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.
Sementara dalam catatan Tribunnews disebutkan:
11 Juni 2020
Djoko Tjandra hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasus yang menimpanya.
Juli 2020
Djoko Tjandra terbang ke Pontianak dikabarkan bersama oknum pejabat Polri Prasetijo Utomo. Dari Pontianak, Djoko langsung menyeberang ke Malaysia melalui jalur darat.
30 Juli 2020
Pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking menjadi tersangka kasus surat jalan Djoko Tjandra.
Di tempat lain, Djoko Tjandra juga dikabarkan tertangkap di Malaysia, pada Kamis (30/7/2020) malam saat ini sedang dijemput di Bandara Halim Perdana Kusuma.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul BREAKING NEWS: Bareskrim Polri Tetapkan Pengacara Djoko Tjandra, Catatan Kronologis Kasus Hukum Djoko Tjandra: Mulai Jadi Tahanan Jaksa, Kabur Hingga Tertangkap Lagi, Djoko Tjandra Ditangkap, Berikut Perjalanan Kasus sang Buronan: Kerap Lolos hingga Menyeret Jenderal,