TRIBUN-MEDAN-WIKI: Menelisik Suku Simalungun yang Ada di Sumut
Terkait sejarah asal muasal dan leluhur beberapa suku yang ada di Indonesia, masih menimbulkan perdebatan di antara akedemisi dan peneliti sejarah.
Di samping itu ada lagi upacara adat yang lain seperti memasuki rumah baru, member makan orang tua yang sudah lanjut usia, serta bebagai upacara adat lain yang sepatutnya dilangsungkan sebagai masyarakat Simalungun.
Sementara unutk sistem kepercayaan suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantra-mantra, baik dari "Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata.
Di antaranya yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna hitam).
Tiga warna yang mewakili dewa-dewa tersebut (putih, merah dan hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun. Baik dari pakaian sampai hiasan rumahnya.
Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda seperti alat-alat dapur dan sebagainya. Sehingga benda-benda tersebut harus disembah.
Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan. Sehingga, mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.
Ajaran Hindu dan Budha juga pernah memengaruhi kehidupan di Simalungun.
Hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun.
Hal yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (budha).
Namun, saat ini mayoritas suku Simalungun memeluk ajaran Kristen sekitar 65% (90% Protestan, dan 10% Katolik), dan pemeluk agama Islam berkisar 34%, dan sekitar 1% masih memeluk sistem kepeercayaan tradisional.
Sistem mata pencaharian orang Simalungun sebagian besar bercocok tanam padi dan jagung.
Karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi.
Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek Simalungun.
Pada era kolonialisme Belanda, suku tersebut terbagi dalam tujuh daerah. Yakni, empat daerah kerajaan dan tiga daerah Partuanan.
Empat daerah kerajaan tersebut yakni Siantar, Panei, Dolok Silou dan Tanoh Djawa.